Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 18 September 2014

Pemberontakan Sheila


Sheila merasa takdir tengah mempermainkannya. Sheila seperti tengah berada dalam gulungan Tornado kemarahan, kekesalan, kebencian dan kekecewaan. Kedua orang tua Sheila baru saja berpisah, dan sebagai anak tunggal Sheila merasa cobaan ini terlalu berat buatnya. Sheila terpaksa memilih untuk entah ikut mama atau papanya. Kadang Sheila berpikir seandainya dia adalah manusia yang memiliki kemampuan membelah diri seperti Amoeba, maka Sheila takkan nelangsa seperti ini. Maka Sheila akan memiliki satu jiwa dengan dua fisik yang bisa dia bagi untuk mama dan papanya.
Perpisahan menurut Sheila adalah hal yang menakutkan. Ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah, Sheila dengan otak bijaksana yang didapatnya melalui bacaan dan film-film bertema berat bertanya-tanya; bagaimana mungkin mereka yang dulunya saling mencintai bisa menyerah begitu saja? Tidak ingatkah mereka bagaimana mereka memulai kisah asmara mereka?
Tapi gadis enam belas tahun bisa apa? Masalah semakin rumit sekarang, Sheila pikir bagian tak menyenangkannya adalah episode-episode canggung delapan bulan terakhir ketika papanya memilih tidur di lantai kamarnya atau mamanya yang tidur bersamanya. Juga ketika Sheila kebingungan memilih masakan sehat mamanya atau makanan cepat saji kesukaannya yang selalu membuatnya merasa bersalah tapi sangat dia sukai yang selalu dibawakan papanya.
Ada yang lebih buruk dari itu semua. Bukan ketika papanya mengalah untuk keluar dari rumahnya dan Sheila harus tegar mengangkat kepala dan menahan air mata saat mengucapkan kata “Sampai jumpa di akhir pekan.” Juga bukan ketika melihat bahwa di jari manis kedua orang tuanya tak lagi melingkar cincin yang nyaris serupa. Sheila tahu di sana ada kenangan tersamar yang kini meninggalkan tanda yang menyerupai halo. Sheila berharap tanda mungil itu memiliki kekuatan magis yang akan mempengaruhi pikiran kedua orang tuanya, kekuatan yang membuat memori otak mama papanya kembali memutar kenangan indah mereka dan alasan-alasan bahwa mereka sebenarnya ditakdirkan bersama.
“Sadar Sheil, mama papamu bukanlah pasangan penuh toleransi seperti Edward dan Bella di drama Twilight,” Ada gadis yang menyerupainya tengah menggeleng lalu menghembuskan nafas dan berekspresi sok dewasa dari dalam cermin. Gadis itu sekarang memelototi Sheila yang juga balas memelototinya.
“Hey, seandainya kamu bisa keluar dari cermin maka kamu bisa bersamaku melakukan suatu hal bodoh tapi menyenangkan di luar sana.” Sheila berbicara seolah dia bukan berbicara pada bayangannya, Sheila kadang sangat tak masuk akal.
“Apa kamu begitu kuper-nya sampai tak punya teman yang bisa kamu ajak untuk… yeah sekedar hang out dan curhat?” Sheila berbicara sendiri tapi seolah-olah si gadis dalam cerminlah yang berbicara.
“Tragis sekali ya?” Sheila memaksa diri untuk tersenyum. Senyumannya jelek sekali, kedua bibir Sheila terlalu kaku untuk membentuk lengkungan menyenangkan. Bahkan kedua lesungnya enggan nampak dan dagunya yang belah sekarang terlihat sebagai cacat jelek di wajah cantiknya.
Sheila berpikir, seharusnya dia bisa hang out dan makan ice cream di café dekat sekolah mereka. Atau mungkin bersepeda ke taman dan main layang-layang dengan Bima… aaaah nggak bisa. Bima dan Sheila takkan lagi bisa seperti sebelumnya, sebelum Bima bilang suka. Seharusnya mereka sahabat selamanya. Sahabat sejak kecil karena mereka bertentangga̶̶̶― mereka seharusnya seperti saudara. Sheila memang menyayangi Bima, tapi Sheila merasa belum bisa terjebak dalam kisah indah yang… dia masih terlalu muda untuk itu.
“Aku takut,” Sheila berbicara pada diriya sendiri. “Sebenarnya aku tak ingin teman-temanku tahu bahwa … orang-orang akan berpikir seorang anak korban perceraian akan menjadi anak yang sulit. Prestasi di sekolahnya akan buruk dan melakukan hal-hal bodoh dan ketika dimintai pertanggung jawaban aku cuma akan bilang ‘Itu hanya bentuk protes agar mendapat perhatian dari orang tuaku.’ dan orang-orang paling hanya memaklumi walau dalam hati akan berkata ‘nggak heran, produk broken home. Aku nggak mau seperti anak-anak korban broken home kebanyakan.”
Dan Sheila antara menangis dan tertawa berbicara lagi “Mama papa bego ya, mereka menyuruh aku ketemu terapisku beberapa kali dalam seminggu dan mereka membayar mahal untuk itu. Padahal aku cuma mau kita bertiga mengelilingi meja makan sambil menikmati makanan enak mama dan ngobrol  juga tertawa, setelahnya kita akan duduk di sofa depan televisi sambil berpelukan dan bercanda seperti saat semuanya masih baik-baik saja.”
“Kenapa mama egois? Kenapa papa mudah menyerah? Dan kenapa aku bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja?” Sheila terus saja berbicara seolah dia memiliki seseorang yang akan mendengarnya. “Seandainya boleh marah,” bibir Sheila tertawa tapi matanya mengalirkan tetesan air mata. Kedua tangannya buru-buru meraih tissue di meja depannya untuk menghapus tangisannya. Sheila mencoba tersenyum.
“Sheil!” suara papanya terdengar di lantai bawah dan inilah saatnya, liburan ayah-anak hadiah kenaikan kelasnya. Mereka akan ke sebuah pulau yang kata papanya akan membuat Sheila jatuh cinta karena pulau itu seindah surga. Semoga saja.
“Semoga liburannya menyenangkan,” kata si ‘bayangan’ kepada dirinya. Sheila memaksa diri tersenyum.