From Zooey Deschanel to Minerva McGonagall
Pernah membayangkan Zooey Deschanel menjadi Minerva McGonagall dalam Harry Potter?
Mungkin begitulah aku, si Quirky yang anehnya kok bisa menjadi guru!
***
Teringat perkenalan awal sekitar tiga tahun lalu. Saya berdiri di depan kelas dan mengawali karier saya sebagai seorang guru. Mengenang hal itu membuat saya terharu. Setelah membahas nama dan latar belakang pendidikan, menceritakan sedikit kehidupan keluarga dan juga membicarakan hobi, salah seorang siswa menanyakan―entah serius atau candaan, mengenai status saya.
Maksud hati menjawab dalam nada canda dengan status ‘terverifikasi’ tapi dengan lantang saya mengatakan “Saya single…” yang diikuti dengan siulan dan keriuhan. Mencoba bersikap santai, saya memberi waktu mereka untuk menggaduh, tapi tak lama saya melanjutkan kalimat “…yeah single mom” dan mereka terdiam.
Kenapa saya menyebutkan diri saya single mom? Yeah saya belum menikah alias tanpa pasangan tapi harus dipanggil ibu. Saat itu usia saya 22 tahun. “Panggilan Bu Guru” nampaknya terlampau serius untuk gadis yang hanya lima tahun lebih tua dari sebagian besar siswanya yang waktu itu rata-rata berusia 17 tahun.
Saya mengajar di SMA Negeri 1 Seteluk (Sebuah kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat, NTB) saat itu kami hanya punya tiga rombongan belajar dengan siswa yang kurang dari 25 orang di setiap kelasnya. Kabar kurang memprihatinkannya, sekolah kami masih menumpang di SMP dan kami masuk siang. Saat itu, saya mengajar untuk dua mata pelajaran, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (sesuai dengan latar belakang pendidikan saya) dan Sosiologi (karena sekolah kami tak memiliki guru berlatar belakang ilmu tersebut, tapi saya adalah pecinta cabang ilmu satu ini).
Sejujurnya saya mencintai pekerjaan saya, dan dalam mencintai atau untuk melakukan sesuatu disukai seakan sudah menjadi hukum alam bahwa kami harus mengorbankan hal lainnya―bukannya mengeluh, tapi saya harus berada jauh dari pusat kehidupan saya; keluarga, sahabat, dan hal-hal menyenangkan yang harus saya lepaskan demi pengabdian saya pada negara dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Beberapa teman pernah bertanya “Kok mau sih jadi guru?” dan jawaban saya “being a teacher is the most worthy thing a person can be” (Persis seperti ucapan Lola di Film Confession of Teenage Drama Queen, film jaman saya SMA, dan ternyata kalimatnya saya gunakan bertahun-tahun kemudian) tanggapan mereka dari angkat bahu, menggeleng-gelengkan kepala hingga memutar bola mata.
Agak mengherankan juga karena…yang mereka kenal, saya adalah cewek quirky bukan tipikal seorang yang bisa digugu dan ditiru. Dengan mudah bila membayangkan Zooey Deschanel harus memerankan karakter Minerva McGonagall dalam film Harry Potter. Bayangkanlah, saya dengan tinggi 145 cm dengan suara kekanak-kanakan harus mengajarkan sekumpulan remaja, mengajar? Saya tidak bercanda ini serius!
Dan ternyata saya dihadapkan pada realita tentang tugas seorang guru, yang bukan hanya mengajar. Menjadikan siswa dari tidak tahu menjadi tahu, tapi tugas guru jauh lebih kompleks dari itu, karena ada tugas guru yang jauh lebih penting yaitu mendidik―baik di dalam maupun luar kelas, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah atau luar sekolah dengan tugas professional, tugas manusiawi, dan kemasyarakatan (Mengutip pendapat Daoed Yoesof). Apakah saya mampu? Apakah saya bisa?
Beberapa kali sempat berpikir ingin menyerah saja, tapi…manusia yang benar-benar manusia tidak pernah menyerah bukan? Salah seorang teman pernah mengingatkan tentang “Jika kamu tidak bisa mencintai sesuatu maka tinggalkan, dan jika kamu tidak bisa meninggalkan, maka cintailah!” ya ampun saya mencintai pekerjaan saya dan itu sungguh-sungguh. Namun, ada satu hal yang saya lupakan, bahwa cinta bukan berarti hanya menikmati, menyukai, atau menyayangi, tapi di lain waktu cinta itu adalah masalah konsekuensi. Bagaimana seseorang bisa mempertahankan cintanya dalam kondisi kritis sekalipun!
Siapa Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Itu? Bukan Saya! Saya Hanya Mencoba Menjadi Ibu Yang Luar Biasa!
Kata pahlawan tanpa tanda jasa itu artinya sungguh luar biasa, dan saya yakin saya tidak pantas untuk gelar itu. Selama ini yang saya lakukan― bisa dikatakan memang sesuai dengan aturan apa yang seorang guru harus lakukan. namun, dipikiran saya seorang guru hanya manusia biasa bukan pahlawan sepenuhnya. Kemampuan mereka terbatas, atau mungkin itu hanya berlaku bagi guru seperti saya, ya?