Feat : Mbak Kakaknyah Sekar Mayang
Semuanya
berubah, tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh oleh waktu
***
Ni Luh Sari
Matahari sudah hampir menghilang di horizon sebelah barat
dan daganganku baru laku sedikit. Sepertinya aku bakal merugi lagi hari ini.
Tapi paling tidak, aku harus bertahan sebentar lagi. Masih banyak orang di
pantai ini dan aku masih bisa menawari mereka untuk membeli lumpia gunting
daganganku.
Namaku Luh Sari dan aku seorang
pedagang lumpia gunting di Pantai Mertasari. Itu bukan sebuah pekerjaan yang
layak untuk anak seumurku. Aku terpaksa melakukan itu karena ibuku yang
mewariskan pekerjaan itu sebelum ia pergi meninggalkanku begitu saja lima bulan
yang lalu. Entah apa yang ada di pikiran ibuku hingga ia tega meninggalkan anaknya yang baru berumur
dua belas tahun sendirian. Andai saja ayahku masih hidup, tentu aku masih bisa
bersekolah. Ya, setidaknya, itu harapan yang masuk akal.
Aku masih menyusuri pasir Pantai
Mertasari ini. Kerumunan manusia sudah mulai menipis. Masih ada beberapa turis
asing yang menikmati pemandangan pantai. Biasanya para turis asing ini tidak
tertarik dengan penganan lumpia gunting. Tapi apa salahnya aku mencoba sedikit
peruntungan itu.
“Lumpia, Mister?!”
Hanya beberapa kata dalam bahasa
Inggris yang aku mengerti. Seorang teman yang mengajarkannya padaku. Salah
satunya ya yang baru saja kuucapkan itu.
Aku menawarkan kepada seorang pria
turis asing yang nampaknya sedang berlibur dengan anak perempuannya. Anak
perempuan itu sebaya aku, dan parasnya sungguh cantik.
Pria turis asing itu menjawab
tawaranku. Dia bicara dalam bahasa Inggris yang aneh. Mungkin logatnya lain,
aku tidak paham, tapi aku tahu itu masih bahasa Inggris. Meskipun aku tahu,
tetap saja aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku hanya mengerti ketika ia
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku. Ia mau dua porsi.
Langsung saja kubuatkan dua porsi
lumpia gunting untuk pria itu dan anaknya. Kulihat mereka sangat menikmati
penganan murah ini. Mereka minta tambah.
Aku senang. Walaupun daganganku masih
tersisa amat banyak, tapi aku senang masih diberi kesempatan untuk hidup sampai
senja ini.
Lima tahun kemudian….
Aku masih Luh Sari yang sama. Tidak
berubah sedikitpun. Aku masih seorang pedagang lumpia gunting di Pantai
Mertasari. Aku menyaksikan banyak perubahan di sini, termasuk para pedagangnya.
Nampaknya hanya aku pedagang terlawas di pantai ini.
Sore ini aku agak lelah. Sedari subuh
aku membantu seorang tetangga membuat jaja
banten untuk dijual di pasar. Hasilnya lumayan untuk menghidupiku beberapa
hari ke depan.
Aku menumpang duduk di kursi pedagang mie ayam di dekat
tempat parkir mobil. Tak jauh dari tempatku duduk, seorang pria baru saja turun
dari mobil. Pria setengah baya itu mengenakan celana panjang dan kaos Polo.
Ah…. Entah mengapa, aku merasa
mengenal pria itu. Agak berlebihan, memang. Bisa jadi, aku hanya mengira –
ngira pria itu sama dengan orang lain yang beberapa hari aku lihat di pantai.
Tapi tetap saja, ada hal yang menarik dari pria itu. Dan aku tak tahu apa itu.
Aku terkejut ketika ternyata, pria itu
sudah ada dua langkah di hadapanku. Aku hanya bisa menatap wajah sendunya yang
mulai memerah terkena sengatan matahari sore.
“You….
I know you….”
“I’m
sorry, Mister. I don’t understand what you’re talking about.”
Bahasa Inggrisku sudah lebih baik
sekarang. Aku belajar di sini, di pantai ini.
“Come
with me.”
Pria itu sepertinya mengajakku untuk
kembali ke bibir pantai. Hmm…. Apa salahnya kuikuti dia? Dia tak tampak seperti
orang jahat bagiku.
Timon Hahn
Kembali lagi ke tempat yang pernah kudatangi lima tahun
silam, segalanya berubah, duniaku, tapi entah mengapa tidak dengan tempat ini.
Salah! semuanya berubah, tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh oleh waktu,
lihatlah gadis yang kini di sampingku, dia telah tumbuh, beranjak dewasa dengan
wajah cantik mempesona khas wanita tropisnya, dan lihatlah aku hanya sendiri,
tanpa gadis kecilku yang cantik, duniaku berubah bersama dengan kepergiannya.
Sekarang aku di sini, di tempat ini di pantai
ini, menikmati penganan nikmat yang asing dilidah, tapi kunikmati, demi sebuah
kenangan indah yang menyakitkan, Sejujurnya aku hanya ingin memandang lepas ke
arah lautan, tapi mataku tak ingin berhenti menatap gadis disisiku. Memandang
gadis kecil sederhana yang duduk di sisiku, dengan penganan nikmat yang
disajikannya membuatku terkenang lagi dengan gadis kecilku, Catherine, mein Cathy Cat, lima tahun berlalu sejak
liburan terakhirku dengan putriku.
Aku
tak ingin lagi mengenangnya, sungguh begitu menyakitkan, tapi bagaimanapun,
mengapa aku di sini dan menikmati segar angin laut yang beraroma garam serta
memandang matahari terbenam, sungguh ini semua karenanya, bagaimanapun aku
ingin melupakannya ternyata takkan pernah bisa.
“Where your daughter, mister?” Gadis itu
bertanya malu-malu, aku tau dia masih mengingatku dan juga putriku.
“Heaven” aku ingin menjawabnya begitu,
tapi lidahku kelu, karena rasa pedas ataukah karena pertanyaan tentang putriku
selalu membuat lidahku kebas.
Oh
Cathy Cat, seandainya bisa membawamu kembali lagi kesini. Dulu, kau bilang kau
akan sembuh setelah kau mengunjungi tempat impianmu, tempat yang kau tunjukkan
padaku dari guntingan majalah wisata yang kau jadikan kliping. Mein schatz, kenapa aku tak bisa
menikmati indahnya Bali denganmu lagi.
Oh Cathy Cat, Mein tochter, usiamu
begitu muda, tapi Tuhan memanggilmu begitu tiba-tiba, lima tahun lalu vonis itu
jatuh begitu saja, menghantam dengan kejam, menghancurkan duniaku, merobohkan harapanku
dan merusak segala harapan tentang masa depan putriku tersayang; aku takkan
pernah cemburu pada pemuda yang akan mencium gadis kecilku di depan pintu rumah sepulang mereka dari prom nite, aku takkan pernah memotret
tawa bangga dan bahagianya saat dia memakai toga, aku takkan pernah melihatnya
memakai gaun pengantin ibunya dan mengantarkannya ke altar, melepasnya untuk
bahagia bersama pria yang dicintainya, aku takkan pernah mendampinginya
melahirkan bayi pertamanya, putriku pergi menyusul ibunya dengan cara yang
sama, karena Leukemia.
Oh Cathy
Cat, memandang gadis ini membuatku terkenang lagi dengan celotehanmu
“Vater, aku ingin menukar hidupku dengan
hidup gadis itu” dia tersenyum kala mengatakannya, Gadis kecilku punya senyum
menawan, apapun yang dilakukannya seolah membuatku merasa damai dan nyaman.
“Warum? kenapa?” tanyaku
“Dia
akan hidup lama… lagipula dia bisa memasak makanan senikmat ini” saat
mengatakannya, sauce kecoklatan
menyisakan noda di bibirnya yang berwarna pink
cerah, aku membiarkannya, aku tau dia akan menjilati bibirnya dengan cara
yang biasa, yang lucu dan manja, usianya dua belas tahun tapi dia tak bisa
mengenyahkan bahasa tubuh usia lima tahunnya.
“Mau taruhan denganku, bahwa dia akan hidup lama?”
Aku
ingat saat Cathy mengatakannya, matanya berbinar, selain pantai, pasir, laut,
dan matahari, Cathy sangat menyukai taruhan. Tapi kali ini taruhan yang
diajukannya adalah sebuah pertaruhan bodoh. Aku ingin menggeleng, tapi saat
melihat senyumannya, tak ada hal yang bisa membuatku menolaknya, jadi aku
mengangguk.
“Lima
tahun yang akan datang di hari kasih sayang-Valentinstag, datanglah kesini, dan lihat apa dia masih
hidup atau…tidak, dan jangan lupa bawakan aku pasir pantai ini, bila aku terlalu
sakit untuk bisa pergi mungkin pasirnya
akan berguna untuk kupakai menghias figura foto saat aku sembuh atau bila aku
telah pergi jauh ke surga letakkanlah pasir ini di makamku, Vater, kau harus melakukannya, anggap
saja ini kado Valentine-ku lima tahun
mendatang, okay?” Dia memelukku lalu
menciumku, mengapa dengan begitu mudah dan pesimisnya dia menatap masa
depannya? Mungkin itulah pertanda yang dibacanya, sekarang aku masih bisa
merasakan ciuman lengketnya yang meninggalkan noda sauce pedas itu.
Si
Gadis Bali itu menatapku lama, dan kusadari mataku berkaca-kaca, aku tersenyum
padanya dan menyadari bahwa aku telah membuktikan bahwa Gadis ini masih hidup,
dan aku kalah taruhan dengan putriku, aku merogoh botol kaca kecil lalu meraup
sejumlah pasir dan memasukkannya ke dalam botol, dan berkata dalam hati “Kau
menang Cat, dan ini kado Valentine-mu” saat mengatakannya dalam
hati, aku melihat putriku di hadapanku, tersenyum padaku dengan pendar cahaya
keperakan dan ada halo yang
mengelilingi kepalanya, dia secantik dewi dengan latar belakang, matahari
terbenam Bali.
“Ich
liebe dich , Vater…” dia
tersenyum “ Ich moechte essen“
katanya lagi sambil menunjuk makanan yang ada di tanganku, aku menggeleng, seandainya
aku mampu menyuapinya makanan ini, seperti lima tahun lalu, dan seperti yang
kuingat dia membandel, dia mendatangiku dan menyuapi sendiri makanan yang ada
di tanganku, lalu menciumku, sauce-nya
sekarang terasa menempel di pipiku.
“Danke” ucapnya…lalu dia pun pergi
berlalu.
“Danke Schatz” bisikku, dan saat tersadar
aku meneteskan air mata, si Gadis Bali menatapku lama, dan kemudian mengucapkan
kata maaf dengan ekspresi menyesal.
“Sorry” bibirnya bergetar saat
mengatakannya
“Its okay” aku menghapus air mataku dan
merogoh kantungku, mengeluarkan lembaran seratus Euro yang diterima si Gadis
dengan wajah campuran keterkejutan dan heran
Aku
mengangguk padanya, lalu mengusap kepalanya dan pergi, bahkan seratus Euro tak cukup untuk membayar kenangan yang kuulangi lagi seperti yang diinginkan
putriku.
:::HAPPY
VALENTINE DAY:::
Keterangan
:
Mein schatzàsayangku
Mein tochterà putriku
Vaterà Ayah
WarumàKenapa
ValentinstagàHari Valentine
Haloà lingkaran cahaya pada kepala bidadari
atau malaikat
Ich liebe
dich , Vaterà Aku mencintaimu, Ayah
Ich
moechte essenà aku mau
makan
Dankeà terima
kasih
Danke,
Schatzàterima
kasih, sayang
Gambar: Kitty Gallanaugh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar