Terlalu banyak cahaya matahari
yang tertangkap oleh mataku yang baru saja terjaga. Aku mengerjapkan mata
beberapa kali untuk beradaptasi, dan di depanku sosok Emile tersenyum padaku,
dalam balutan jubah tidur sutera bertali longgar berwarna biru tua, sebagian
dadanya tersingkap, tapi ketertarikan yang tengah dipamerkannya berasal dari senyum
menggodanya.
“Good morning, sleepy head” sapanya hangat, kedua tangannya memegang
nampan. Breakfast in bed. Good Idea. Sexy.
Tapi satu pertanyaanku? Apakah kejadian semalam hanya mimpi ataukah…?
“Benar-benar terjadi” tak
kusangka Emile menjawab pertanyaan yang bahkan belum selesai kupikirkan. “Kupikir
sang putri tidur hanya terbangun oleh sebuah ciuman.” Sialan! Aku salah! “Tapi
sang putri bangun karena kelaparan, aroma French
Toast yang membangunkanmu, alih-alih diriku.” Dia memasang wajah menyesal
gagalnya, karena dia terlalu tampan untuk berekspresi setolol itu.
Aku mengabaikannya juga
sarapannya untuk mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Selamat! Aku tidak di
kamar tidurku! Dasar gadis liar, aku memaki dalam hati.
Emile meletakkan nampan
sarapan di pangkuanku dan memberi kecupan kecil di pipi lalu duduk di sisiku. Aku
tak tertarik untuk merespon ciumannya karena aku lebih tertarik untuk meraih
gelas tinggi berisi fruit juice dan
minum, lidahku menginformasikan bahwa cairan itu adalah campuran yogurt, pisang, blueberry, strawberry, dan beberapa rasa buah tropis yang tak
kukenali.
“Tidur nyenyak?” Emile
bertanya dekat dengan telingaku, aku merasakan hembusan nafasnya.
“Aku butuh sarapan” dan aku
memfokuskan diri pada apa yang tersaji, bukan dia yang sedang mencoba membuatku
tertarik dengan bertingkah seksi.
***
“Bisakah kau berhenti
bertingkah bak patung lilin dan menghargai keberadaanku di sisimu?” Emile
berbicara cepat dan tak sabaran, entah topik atau dasinya yang bandel yang
membuatnya seperti itu, berkali-kali dia mencoba memasang dasinya dengan benar.
Aku bisa saja bangkit dari kemalasanku di tempat tidur dan memperbaikinya, tapi
aku memang lebih suka bertindak seperti yang dituduhkannya.
“Apa arti keberadaanku di
sisimu?” itu yang bisa kukatakan atau lebih tepatnya kutanyakan.
“Violetta…dewasalah!” dia
tampak frustasi.
“Terlalu muda untuk bersikap
seperti yang kau mau” aku membantahnya, dia melempar pandangan tak suka,
terlihat dari kertan diantara alisnya.
“Kita melewati banyak waktu
bersama dan kuharap…”
“Tolong jelaskan apa yang
terjadi semalam?” aku menuntut jawaban atas apa yang samar-samar ada dalam ingatanku.
“Kau meninggalkan pesta dan
aku menemukanmu dengan para gelandangan jalanan, kau ingin berpesta? Kita bisa
berangkat ke Ibiza sekarang juga atau ke Paris, di La Balajo. Kau suka salsa? Menarilah
sampai gila di sana!” dia menarik dasinya lalu menghempaskannya ke lantai,
wajahnya terlihat marah tapi ditahannya dengan susah payah, dia menggosok
dagunya dengan gelisah. Mungkin itu cara untuknya menenangkan diri.
“Aku hanya ingin
menenggelamkan jasadmu di lautan berwarna tosca
di Barbados” aku memaki dalam hati.
Aku ingin bertanya, tapi lidahku
kelu atau juga ingatanku yang memudar karena ada percaya dan tak percaya bahwa
yang sebenarnya terjadi entah mimpi atau hal yang nyata.
“Kau mabuk, semalam” Emile
bicara lebih pelan, lebih lembut dan berhati-hati. Dia duduk di sampingku. “Aku
hanya tak ingin terlambat dan menyesali kalau-kalau kau berakhir jadi daging
cincang di tempat sampah pada pagi hari. Jalanan kota New York tidak seaman
kamar tidurmu.” Dia menggenggam tanganku dan aku membiarkannya, sekarang dia
menatapku, menembus jauh ke dalam mataku. “Aku hanya mengkhawatirkanmu, maaf
jika terlalu”
Tak tau harus mengucapkan
terima kasih atau memberinya sebuah pelukan, aku malah diam hingga dia menyerah…
“Mudahkan aku untuk memahamimu”
dan dia berlalu, aku memandang punggungnya menjauh tapi otakku melayang jauh
pada hal abu-abu tentang malam itu. Hari ini aku harus mencari tau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar