Kupikir sekelompok orang yang berdiri
tegap di depan pintu akan memblokade langah kami, sebaliknya mereka malah
membuka lebar jalan bagi kami, begitupula dengan sekelompok pria di ujung koridor.
Aku
merasakan sakit yang luar biasa di pergelangan tanganku. Cengkraman yang begitu
kuar seolah bisa meremukkan lenganku. Nafasku seakan tertahan di tenggorokkan
dan aku kelelahan, tapi kakiku terpaksa untuk terus menyeret langkah. Pria di
sampingku, tak menoleh sedikitpun, dia terus berlari dan menyeretku, ingin berteriak, tapi kutau aku
tak memiliki tenaga sekuat itu.
Koridor, lift, tangga darurat, koridor
yang sangat panjang, tangga darurat dan terhenti di bagian atas hotel yang
kupikir begitu kukenali, terdengar suara yang sangat bising yang berasal dari baling-baling
helikopter yang siap berangkat. Beberapa pria di sana, seakan menyambut kami,
lalu tak lama, tanganku lepas dari cengkaraman, dan pria dengan pistol di
tangannya berteriak begitu beringas, mencengkram pria yang berada dalam
helikopter menariknya keluar, meninjunya hingga roboh, kupikir pria itu
langsung tak sadarkan diri. Setelah itu tanpa kusadari aku tertarik ke dalam
helikopter dan terbang membelah langit bersama pria yang terasa begitu sangat
kukenal saat pria itu melepas topeng silver-nya yang membuatku dapat memandangi
mata biru sempurnanya.
***
Terlalu lelah atau kondisi fisikku yang
begitu lemah, tiba-tiba saja aku tersadar berada di sebuah pondok mungil,
tidurku terlalu mungkin terlalu pulas, hingga saat aku tersadar dan hendak
bangkit dari tidurku, kurasakan mataku berkunang dan seluruh pandanganku
berputar.
“Di kehidupan lalu kau adalah sang putri
tidur?” sapaan hangat yang seharusnya tak keluar dari bibir seorang pembunuh
yang kini berdiri di depanku; wajahnya lebih tampan dari wajahnya yang kutemui
di dalam mimpi. Rambutnya berantakan, mata birunya berbinar, dan bibir yang
memasang senyuman ragu. Dia bertelanjang dada yang memperlihatkan dadanya yang
bidang, aku merindukan saat terbenam dalam pelukan di dada itu tapi pada saat
bersamaan ingatanku jauh terbang kepada Emile yang kuharap keadaannya baik-baik
saja di sana. “Sayangnya, aku begitu tau siapa kamu di kehidupan lalu, aku
merindukanmu…” dan pria itu bangkit dari kursi kayu mungil di dekat jendela
lalu mendatangiku, memberiku kecupan hangat di bibir yang kubalas tanpa
berpikir, seolah ciuman itulah yang begitu kuinginkan, bisikkan di kepalaku
mengatakan bahwa aku merindukan pemilik bibir yang rasanya begitu kukenal itu,
walau kutak yakin aku pernah mencicipi bibir ini sebelumnya, tapi mungkin
inilah dia yang dari kehidupan lamaku.
Jeda sebentar, dia menatapku, bisu, diam
tanpa kata, lalu memegang pipiku dan membelainya dengan sayang, dengan kedua ibu
jarinya sebelum dia menciumku lagi. “Aku merindukanmu, aku merindukanmu, aku
merindukanmu, seakan tak ingin berhenti mengucapkannya…aku merindukanmu” sekali
lagi dia mencium puncak kepalaku. Setelahnya, kami berdua hanya bertatapan,
diam tanpa kata, tapi hati kami merasakan bahwa inilah yang kami nantikan sejak
lama.
“Aku mengingatnya…sekarang, semuanya” aku
berbisik parau padanya yang menatapku
sedari tadi, saat mataku bertemu dengan matanya segalanya tampak seolah
ditayangkan begitu saja dalam layar raksasa yang ada di dalam kepalaku, lalu
tangisanku tumpah saat kisah itu ditampilkan begitu nyata; kisah cinta kami
yang lalu. Kami terlahir sebagai saudara
kembar yang terpisahkan, karena ibuku hanya seorang pelacur jalanan yang dibeli
oleh seorang pria kaya, saat pelacur itu mengandung anaknya, pria itu hanya
membawa satu, putranya tapi mengabaikan putrinya, ketika dewasa keduanya bertemu
dan saling jatuh cinta, tapi terlarang cinta sedarah yang membawa petaka,
terlalu saling mencintai hingga akhirnya bunuh diri, dan kini kami kembali,
menyelesaikan sesuatu yang tertunda.
“Kita bisa bersama sekarang?” aku
memeluknya, dan dia membenamkan kepalaku di dadanya yang hangat, aroma tubuhnya
begitu kuingat seperti wangi cendana dan aroma bunga-bungaan liar.
Ada ketakutan di dalam hatiku seandainya
kali ini kita akan terpisahkan. Kuharap tak lagi, karena bayang-bayang Emile
dan janjiku pada Gianna seakan menghantui, kali ini aku ingin melupakan mereka,
aku hanya ingin hidup lamaku yang kujalani dengan kisah baru, yang berakhir
bahagia.
“Takkan semudah yang kau pikirkan untuk
terus bersamaku, tapi aku janji aku berusaha untuk bersamamu” dia mengecup
pipiku lalu menjauh tanpa melihat mataku, aku merasa bahwa ini bukan jawaban
yang bagus tapi setidaknya kata “berusaha” seperti sebuah harapan akan sebuah
rencana.
“Sekarang panggil aku Massimo…lupakan
kehidupan lalu, sekarang kita memiliki perjuangan baru” Dia berbalik, dan mulai
menyalakan sebatang rokok, pada saat itu aku memiliki dorongan yang kuat untuk
segera berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang, yeah aku melakukannya,
kali ini aku hanya ingin terus bersama dengannya. Itu saja.
asli keren abis ceritanya hhh
BalasHapushehehe ditungguin yak mas kelanjutannya :)
Hapus