Aku pulang. Ke tempat yang tak pernah
kusebut rumah, ke keluarga yang tak bertalian darah. Mereka pikir aku
terguncang atas apa yang terjadi padaku, penculikan brutal, setelah kekasihku
di tembak di depan mata. Kekasih? Aku justru jatuh cinta pada penculikku.
Marique memelukku erat dan berkali-kali
membisikiku dengan kata-kata yang menenangkan.
Dalam balutan gaya korporat sophisticated-nya
aku belum bisa memposisikan dia sebagai seseorang yang bisa kuanggap sebagai ibuku,
dia seperti wanita yang duduk di deretan depan New York Fashion Week atau gala dinner acara amal. Terlalu
sosialita, terlalu tak nyata.
“Tenanglah sayang, teror itu sudah
berhenti, Emile baik-baik saja. Yang paling kami khawatirkan adalah keadaanmu,
tiga minggu tanpa berita darimu cukup untuk membuat kami ketakutan, merasa
bersalah karena tak bisa melindungimu. Arwah ayahmu takkan tenang di alam sana…oh
semoga Tuhan selalu menjaganya.”Aku bertanya-tanya, apakah perlu bagi Marique
untuk mengetahui keadaanku? Kurasa tak cukup perlu.
“Bagaimana kalian bisa menemukanku?” aku
memandangnya dengan wajah yang berurai air mata, dalam hati aku berharap aku
takkan bisa ditemukan.
Marique menatapku lama terlalu heran saat
melihatku menangis justru karena aku selamat dan bisa pulang “Kau begitu
terguncang sayang, istirahatlah” Marique menyerah, dan pergi.
Aku ingin tau ada apa di balik semua ini.
Tak yakin aku memperoleh jawaban dari siapapun, kupikir aku bisa mendapatkan
informasi dari pemberitaan di media massa, mungkin internet punya jawabannya. Aku
membuka smart phone-ku yang
sebelumnya tak kuyakinkan pernah berfungsi dan selalu kutinggalkan di dalam
laci.
Violetta De Lachey. Aku menuliskan namaku
dalam kotak pencarian dan menemukan sejumlah artikel dengan cepat, kuklik salah
satunya.
Tragedi
di Balik Pesta Topeng De Lachey
Banyak
orang akan memprediksikan debut kehadiran miss
De Lachey kehadapan publik akan menjadi suatu cerita romantis. Randall
Robinson, salah satu sahabat terdekat keluarga Weingarden sebelumnya membocorkan
rencana sahabatnya yang akan melamar Violetta De Lachey malam itu, sayangnya
segalanya berakhir menjadi tragedi di saat sebuah tembakan mengacaukan pesta yang
dikabarkan menghabiskan biaya sekitar U$D 7,9 juta itu .
Diketahui kemudian, Don Massimo Mongardini
berada di balik terror semua ini. Don Mongardini
rupanya mengirim putranya Massimo Mongardini Jr untuk melakukan penembakan
kepada putri tunggal Vladimir De Lachey. Apa alasannya? Entahlah! Tapi rupanya
banyak pihak yang memang curiga ada konspirasi di balik kematian Vladimir De
Lachey yang begitu tiba-tiba. Sejak dulu hubungan diantara keduanya lebih mirip
hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat di masa lalu. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah, alih-alih tertembak, sang pewaris malah kabur bersama
Mongardini Jr malam itu, meninggalkan tunangannya, Emile Weingarden yang
terluka, sekarat dan…barangkali patah hati.
Oh
Tuhan seharsnya akulah sasaran peluru itu! Aku tak mengerti, awalnya, alasan
mengapa tembakan itu tak mengenaiku. Tapi setelah kusadari bahwa … saat Massimo
melihatku dia mengetahui bahwa itu aku, dan diantara kami ada ikatan cinta masa
lalu, tak mungkin baginya untuk membunuhku, termasuk karena dendam entah apa
antara ayahnya dan ayahku. Aku tau dia mencintaiku, tapi keadaan sekarang malah
membuatku menarik kesimpulan bahwa kami bisa menjadi versi Romeo dan Juliet
lainnya.
Kupikir sebuah informasi takkan pernah
cukup. Kuputuskan untuk mencari lagi. Aku tau yang sebenarnya terjadi
menyangkut aku dan Massimo, tak ada yang tau kecuali diantara kita berdua, apa
yang terjadi di masa lalu antara keluargaku dan keluarganya menggelitik rasa
ingin tauku.
***
Massimo Mongardini Jr. Aku memasukkan
namanya ke kotak pencarian, dan mendapatkan informasi yang lebih mirip artikel
untuk para pecinta gossip dan hiburan yang berbau bumbu daripada fakta, tapi
tak masalah.
Massimo Mongardini Jr: Ketampanan Italia
dan Kekejaman Mafia, Trik Mempesona Wanita
Jaman berubah, pangeran tak lagi menjadi
seseorang yang diinginkan para wanita untuk menjadi pembawa sepatu kaca. Wanita
di masa kini sepertinya lebih pemilih, sementara pangeran yang adalah pria
sejati dengan kesopanan dan wajah aristokrat tak lagi terlalu memikat. Para
wanita bukan lagi dia yang menderita dan tanpa daya, tapi perempuan yang ingin
mandiri dan menjalani hidup berani. Pria yang terlalu berwibawa bahkan dengan
mahkota menurut mereka terlalu ketinggalan jaman, pria misterius yang sedikit
kejam dan sexy, rupanya sekarang lebih layak untuk dikencani.
Massimo Mongardini Jr, terlahir dari
keluarga yang bermain dengan kriminalitas kelas atas rupanya memang pantas dan
memiliki kualitas. Tampan, muda, sexy, berbakat, kejam, misterius, dan menarik.
Perpaduan antara keliaran dan jutaan alasan untuk mendapatkan banyak perhatian.
Berusia 19 tahun dan merupakan pewaris satu-satunya klan Mongardini (di sini
kami harus melupakan Alfredo Mongardini, putra haram Don Mongardini yang juga
tak kalah tampan hanya saja terkenal sebagai Don Juan).
Terlahir dengan ketampanan sempurna dan
jutaan talenta, Massimo terlalu pemalu dan tak begitu terbuka soal asmara, mungkin
baginya wanita harus bisa seperti pistol Barreta 92 yang menembak cepat dan
tepat sasaran. Seharusnya dia belajar banyak dari abangnya yang ahli cinta dan
wanita.
Mendapat
gelar summa cum laude dari Julliard,
seharusnya dia menjadi musisi atau membintangi serial TV. Massimo ternyata
lebih suka menyendiri. Para model sexy bahkan tak mampu membuatnya jatuh hati.
Massimo lebih sering terlihat menghabiskan waktunya bermain piano dan berdansa
di taman bersama orang-orang yang tak mengenalnya.
Seharusnya
Massimo lebih banyak untuk muncul di ruang publik agar para wanita bisa menikmati
pesona Italia dan kekejaman mafia-nya.
***
“Violetta” Emile masuk begitu saja, dan
langsung memelukku. “aku senang kau baik-baik saja” dia memberiku ciuman yang
tak kubalas.
Lagi-lagi aku tak dapat menahan air mata.
“Kau begitu ketakutan?” Emile memelukku,
pelukan yang tak kuperlukan sesungguhnya. Aku menepis pelukannya.
Emile menatapku heran
“Kenapa…kalian harus mencariku?” aku
menangis, bibirku tergetar saat bertanya.
“Aku mengkhawatirkanmu, begitu berbahaya
bersama seorang pembunuh”Emile menjawab tegas “Mongardini begitu licin, aku
bersumpah aku akan menjeratnya dengan hukum” Emile menatapku, mencari tau sebab
tangisku “Apa yang kau tangisi?”
“Entahlah” aku tak ingin menjawab
“Apa yang terjadi diantara kalian?”pertanyaan
yang mengandung kecurigaan, Emile menggeleng-gelengkan kepala. “Mongardini
Senior marah besar, putranya berontak, alih-alih membawa mayat putri musuh
terbesarnya, putranya malah membawanya serta entah kemana. Mongardini bukanlah
pemaaf. Sekarang, tak hanya aku yang tengah memburu putranya Mongardini sendiri
juga aak akan segan untuk mencabik darah dagingnya”
“Aku mencintainya…” bisikku lirih
“Bagaimana bisa?” Emile membentakku,
ingin melampiaskan marah padaku, tapi yang ada cermin raksasa di depannya yang
kini hancur berantakan, tangannya terluka.
“Aku tak bisa mengatakannya” jawabku
cepat.
“Veioletta De Lachey…”dia menatapku …ada
rasa pedih saat matanya berkaca, menahan perih luka menahan pedih di dada.
“Aku memiliki keinginan untuk selalu
melindungimu sejak pertama melihatmu” Dengan mata berkaca dia terus berbicara “Ayahmu…aku
berhutang janji padanya, dia menitipkan putrinya padaku, sadar hari ini akan
tiba…jauh hari dia memintaku untuk menikahimu…” Dia seperti menahan pedih dan
juga menahan agar air matanya tak tertumpah, pria selalu tak suka terlihat
lemah. “Aku tak bisa memaksamu secepat itu untuk mencintaiku…kau boleh
membenciku.” Sepertinya dia tau apa isi hatiku “Hanya saja tolonglah untuk kali
ini, demi nyawamu sendiri, kumohon, menikahlah denganku agar aku bisa
melindungimu, Mongardini mengincar nyawamu. Segera kita akan terbang ke
Burgundy, Prancis. Aku akan menikahimu di sana” Emile berlutut di depanku,
sungguh-sungguh memohon padaku. Kebingungan membayangiku lagi “Agar Mongardini tau bahwa sekarang dia tak hanya akan
bermasalah dengan De Lachey tapi juga dengan Weingarden.” Entah apa ini sebuah
jawaban tapi pada saat itu aku menganggukan wajah, dan Emile memelukku. Dalam
pelukannya aku menangis, menangisi tragedi yang harus kulalui.
"Jaman berubah, pangeran tak lagi menjadi seseorang yang diinginkan para wanita untuk menjadi pembawa sepatu kaca"
BalasHapussepertinya itu betul... kebanyakan sekarang wanita lebih memilih bahkan tak memandang lagi status..asal cocok di hati, itulah pilihan
yups itu dia yang ingin aku sampaikan, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca blog-ku :)
Hapussalam