![]() |
gambar : di sini
Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Translator : Berliani M Nugrahani
Penyunting : Andhy Romdhani
Penerbit : Qanita (Mizan Grup)
Penghargaan:
Book Sense Book of the Year Award for Adult Fiction (2008), Exclusive Books
Boeke Prize Nominee (2007), Abraham Lincoln Award Nominee (2011)
Blurb:
Hati pria sangat berbeda dengan
rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
"Hanya akulah yang kaumiliki
di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan
ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!"
Kalimat itu sering kali diucapkan
ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak
pernah secara sah mengakuinya sebagai anak, Dan kenekatan Mariam harus
dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam
menemukan ibunya tewas gantung diri.
Sontak kehidupan Mariam pun
berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah
kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan,
menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun, dalam kehampaan dan
pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
***
Aku ingin membuka review-ku dengan kutipan dari Fyodor Dostoyevsky dalam Catatan dari
Bawah Tanah; “Mana yang lebih baik-
kebahagiaan picisan atau penderitaan yang agung?” Sejujurnya harus
kukatakan aku memilih kebahagiaan bahkan walaupun itu picisan, tetapi mengenal
tokoh Mariam membuat aku memahami apa itu penderitaan yang agung.
Sebagai
pecinta fairy tale yang menganggap
bahwa idealnya suatu kisah harus selalu diwarnai dengan banyak hal indah dan
penuh cinta di udara. Kupikir aku tak ingin tenggelam dalam kisah ini. Walau aku
tak bisa memungkiri betapa luar biasanya tulisan Khaled Hosseini lewat The Kite
Runner, tapi A Thousand of Splendid Suns memberi lebih dari sekedar sebuah
kisah. Dan aku bahkan tak kecewa dengan ‘nyaris tak adanya kebahagiaan’ dalam
kisah ini.
Terlahir
sebagai anak haram, Mariam seakan tak ditakdirkan untuk mendapat kebahagiaan.
Nana—ibunya selalu menganggap bahwa takkan ada seorangpun yang bisa menyayangi
Mariam seperti dirinya. Dan di sinilah kehebatan Hosseini dalam menciptakan
karakternya. Nana mungkin dibenci dan juga disayangi sama seperti pembaca
seakan untuk diminta membenci dan juga menyayangi Jalil, ayah Mariam ‘sang
penyebab’ penderitaan Mariam. Karakter yang seolah dilukis hitam-putih nantinya
akan diubah dalam abu-abu dengan berbagai nuansa. Bagian pertama (dari empat
bagian) novel berkisah tentang masa kecil Mariam, keinginan-keinginan khas anak
kecil dari Mariam, penolakan menyakitkan keluarga ‘sah’ ayahnya, kematian
tragis Nana yang menanamkan rasa bersalah yang dalam pada diri Mariam. Hingga
pernikahannya dengan Rasheed yang semakin menambah daftar penderitaan Mariam di
kemudian hari. Pada akhir halaman 54 aku tak bisa menahan air mata.
Menampilkan
wajah Afganistan dengan segala tragedinya. Menununjukkan kesulitan dalam
mempertahankan kehidupan. Bahkan mati tak hanya bisa terjadi sekali namun
berkali-kali. Bagaimana peristiwa demi peristiwa dalam rentang waktu yang tak
disadari dapat mengubah sesuatu, bahkan manusianya. Fariba, salah satu
contohnya. Wanita dengan kebahagiaan yang berpendar bak mentari mampu meredup
bagai mayat hidup ketika anak-anaknya harus berperang dan syahid dalam kematian
yang membanggakan namun juga begitu menyedihkan. Membuat suami dan gadis kecil
bungsunya harus mandiri tanpa fungsi istri dan ibu. Laila, di bagian kedua
kisah inipun menuturkan tentangnya.
Gadis
kecil dari keluarga disfungsional yang memulai kisah tentang persahabatan
manisnya dengan anak lelaki berkaki satu korban ranjau bernama Tariq. Bagian
ini seakan seperti malam berbintang dengan udara sejuk, kesedihan tetap
mengancam namun senyuman masih bisa dirasakan. Tapi, seperti sudah kukatakan
bahwa penderitaan dan kesedihan selalu membayangi dan muncul dengan tiba-tiba
membuat aku sebagai pembaca diharapkan waspada dan ya tetap saja ada bagian
yang membuatku terkejut dimana, si gadis kecil Laila harus kehilangan orang tua
disaat dia baru saja mengucapkan selamat tinggal pada Tariq, cinta sejatinya
yang mengungsi menuju Pakistan dan bagai
malam kelam, datanglah kabar lebih buruk yang menghantamnya, saat seseorang memberitakan
bahwa Tariq-pun telah tiada. Sebatang kara dan terluka, keadaan pahit membuat
dia merasa seperti seperti kejatuhan bom! Laila harus menikahi Rasheed (yang
lebih layak menjadi kakeknya) dan bermadu dengan Mariam. Mau tak mau dengan
anak Tariq yang ada di rahimnya. Lailapun dipaksa menerima realita.
Segalanya
memburuk dan terus memburuk hingga kelahiran Aziza dan kecurigaan Rasheed bahwa
Azizah bukan darah dagingnya. Kekerasan dan kehidupan rumah tangga yang
sebelumnya selalu menjadikan Mariam korban, kali ini membuat Laila bahkan Aziza
menjadi korban selanjutnya. Dan di sinilah dimulai, bahwa Tuhan memberi
cahaya-Nya dalam bentuk cinta tanpa syarat. Perjuangan Mariam dan Laila
dimulai. Dibatas ini aku berhenti untuk bercerita.
Dan
di sinilah aku ingin mengatakan bahwa ada cinta yang agung dan suci.
Untuk
Mariam aku ingin mengatakan betapa malunya aku pada hidupku, mempermasalahkan
hal sesepele warna hijab atau model sepatu, mengkambinghitamkan PMS-ku tiap
bulan sebagai penyebab penderitaanku, merasa benar dan berhak atas tindakan
yang kulakukan dan demi oh Tuhan menghadapi perselisihan dengan sahabat akibat
seorang cowok yang datang dan pergi dalam hidupku. Apa yang kualami tak
sebanding dengan dirinya walau dia adalah tokoh fiksi tapi aku percaya di suatu
tempat di sana tak menutup kemungkinan terdapat Mariam-Mariam yang begitu
menderita. Hidup tak mudah baginya, betapa keinginannya begitu sederhana dan
betapa dukanya seakan bertahan untuk selamanya. Membaca kisah ini pada akhirnya
membuatku bersyukur pada hidupku.
Di
halaman terakhir buku ini aku menuliskan beberapa baris kalimat; Terima kasih
Khaled Hosseini untuk membiarkanku menangis dengan cara yang indah dan alasan
yang benar. Bersyukur menjumpai Mariam dalam kisah ini, lebih-lebih bersyukur
bahwa aku terlahir sebagai perempuan dan bangga atas apa yang kulakukan.
*kabar
baiknya, si feminis radikal dalam diriku, tidak mengacau saat aku
membaca kisah ini*
|
Date a girl who reads

Minggu, 01 Desember 2013
[Review Novel] A Thousand Splendid Suns
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
yap , cerita yang menarik nek , di boomark dulu ntar dilanjutin bacanya :)
BalasHapus