Sheila
merasa takdir tengah mempermainkannya. Sheila seperti tengah berada dalam
gulungan Tornado kemarahan, kekesalan, kebencian dan kekecewaan. Kedua orang
tua Sheila baru saja berpisah, dan sebagai anak tunggal Sheila merasa cobaan ini
terlalu berat buatnya. Sheila terpaksa memilih untuk entah ikut mama atau
papanya. Kadang Sheila berpikir seandainya dia adalah manusia yang memiliki
kemampuan membelah diri seperti Amoeba, maka Sheila takkan nelangsa seperti
ini. Maka Sheila akan memiliki satu jiwa dengan dua fisik yang bisa dia bagi
untuk mama dan papanya.
Perpisahan
menurut Sheila adalah hal yang menakutkan. Ketika kedua orang tuanya memutuskan
untuk berpisah, Sheila dengan otak bijaksana yang didapatnya melalui bacaan dan
film-film bertema berat bertanya-tanya; bagaimana mungkin mereka yang dulunya
saling mencintai bisa menyerah begitu saja? Tidak ingatkah mereka bagaimana
mereka memulai kisah asmara mereka?
Tapi
gadis enam belas tahun bisa apa? Masalah semakin rumit sekarang, Sheila pikir bagian
tak menyenangkannya adalah episode-episode canggung delapan bulan terakhir
ketika papanya memilih tidur di lantai kamarnya atau mamanya yang tidur
bersamanya. Juga ketika Sheila kebingungan memilih masakan sehat mamanya atau
makanan cepat saji kesukaannya yang selalu membuatnya merasa bersalah tapi
sangat dia sukai yang selalu dibawakan papanya.
Ada
yang lebih buruk dari itu semua. Bukan ketika papanya mengalah untuk keluar
dari rumahnya dan Sheila harus tegar mengangkat kepala dan menahan air mata
saat mengucapkan kata “Sampai jumpa di akhir pekan.” Juga bukan ketika melihat
bahwa di jari manis kedua orang tuanya tak lagi melingkar cincin yang nyaris
serupa. Sheila tahu di sana ada kenangan tersamar yang kini meninggalkan tanda
yang menyerupai halo. Sheila berharap
tanda mungil itu memiliki kekuatan magis yang akan mempengaruhi pikiran kedua
orang tuanya, kekuatan yang membuat memori otak mama papanya kembali memutar
kenangan indah mereka dan alasan-alasan bahwa mereka sebenarnya ditakdirkan bersama.
“Sadar
Sheil, mama papamu bukanlah pasangan penuh toleransi seperti Edward dan Bella
di drama Twilight,” Ada gadis yang menyerupainya tengah menggeleng lalu
menghembuskan nafas dan berekspresi sok dewasa dari dalam cermin. Gadis itu
sekarang memelototi Sheila yang juga balas memelototinya.
“Hey,
seandainya kamu bisa keluar dari cermin maka kamu bisa bersamaku melakukan
suatu hal bodoh tapi menyenangkan di luar sana.” Sheila berbicara seolah dia
bukan berbicara pada bayangannya, Sheila kadang sangat tak masuk akal.
“Apa
kamu begitu kuper-nya sampai tak punya teman yang bisa kamu ajak untuk… yeah
sekedar hang out dan curhat?” Sheila
berbicara sendiri tapi seolah-olah si gadis dalam cerminlah yang berbicara.
“Tragis
sekali ya?” Sheila memaksa diri untuk tersenyum. Senyumannya jelek sekali,
kedua bibir Sheila terlalu kaku untuk membentuk lengkungan menyenangkan. Bahkan
kedua lesungnya enggan nampak dan dagunya yang belah sekarang terlihat sebagai
cacat jelek di wajah cantiknya.
Sheila
berpikir, seharusnya dia bisa hang out
dan makan ice cream di café dekat
sekolah mereka. Atau mungkin bersepeda ke taman dan main layang-layang dengan
Bima… aaaah nggak bisa. Bima dan Sheila takkan lagi bisa seperti sebelumnya,
sebelum Bima bilang suka. Seharusnya mereka sahabat selamanya. Sahabat sejak
kecil karena mereka bertentangga̶̶̶― mereka seharusnya seperti saudara. Sheila
memang menyayangi Bima, tapi Sheila merasa belum bisa terjebak dalam kisah
indah yang… dia masih terlalu muda untuk itu.
“Aku
takut,” Sheila berbicara pada diriya sendiri. “Sebenarnya aku tak ingin teman-temanku
tahu bahwa … orang-orang akan berpikir seorang anak korban perceraian akan
menjadi anak yang sulit. Prestasi di sekolahnya akan buruk dan melakukan
hal-hal bodoh dan ketika dimintai pertanggung jawaban aku cuma akan bilang ‘Itu
hanya bentuk protes agar mendapat perhatian dari orang tuaku.’ dan orang-orang
paling hanya memaklumi walau dalam hati akan berkata ‘nggak heran, produk broken home. Aku nggak mau seperti
anak-anak korban broken home
kebanyakan.”
Dan
Sheila antara menangis dan tertawa berbicara lagi “Mama papa bego ya, mereka
menyuruh aku ketemu terapisku beberapa kali dalam seminggu dan mereka membayar
mahal untuk itu. Padahal aku cuma mau kita bertiga mengelilingi meja makan
sambil menikmati makanan enak mama dan ngobrol
juga tertawa, setelahnya kita akan duduk di sofa depan televisi sambil
berpelukan dan bercanda seperti saat semuanya masih baik-baik saja.”
“Kenapa
mama egois? Kenapa papa mudah menyerah? Dan kenapa aku bisa berpura-pura bahwa
semuanya baik-baik saja?” Sheila terus saja berbicara seolah dia memiliki
seseorang yang akan mendengarnya. “Seandainya boleh marah,” bibir Sheila
tertawa tapi matanya mengalirkan tetesan air mata. Kedua tangannya buru-buru
meraih tissue di meja depannya untuk
menghapus tangisannya. Sheila mencoba tersenyum.
“Sheil!”
suara papanya terdengar di lantai bawah dan inilah saatnya, liburan ayah-anak
hadiah kenaikan kelasnya. Mereka akan ke sebuah pulau yang kata papanya akan
membuat Sheila jatuh cinta karena pulau itu seindah surga. Semoga saja.
“Semoga
liburannya menyenangkan,” kata si ‘bayangan’ kepada dirinya. Sheila memaksa
diri tersenyum.
***
Semuanya
terlihat baik-baik saja, pada awalnya. Dimulai dari mama yang memeluk dan
mencium keningnya di bandara, seminggu penuh suka cita di pulau bak surga dengan
pelayanan mewah di tenda yang dekat dengan alam di Pulau Moyo. Bahkan Sheila
masih berpikir bahwa pondok cantik mungil dari kayu di atas bukit adalah
penyempurna akhir liburannya. Sheila suka suasananya, Sheila suka udara
segaranya, pemandangan danau di kejauhan yang terlihat di kejauhan, halaman
belakang yang luas, serta obrolan-obrolan menyenangkan di gazebo depan, hal
terbaik di sini Sheila selalu bisa melihat dua warna favoritenya; hijau yang
terlihat dari pepohonan serta biru indah di langit yang cerah, tapi tidak semua
hal selalu terlihat indah. Hingga sebuah obrolan ringan berubah menjadi
hantaman bagi Sheila.
“Sheila
senang dengan liburan Sheila dan nggak keberatan memperpanjang liburan. Tapi,
kalau boleh Sheila tahu, kapan kita pulang pa?”
“Sheila
suka rumah ini?” Papa menjawab pertanyaan Sheila dengan pertanyaan.
“Suka
banget, liburan besok kita ke sini ya?” Nada suara Sheila masih terdengar
ceria.
“Liburan
berakhir Sheil, dan kita akan tinggal di sini.”
Kata-kata
itu sederhana tapi Sheila tak bisa mencernanya.
“Maksud
papa?” Sheila sesungguhnya ketakutan dengan jawaban papanya.
“Ini
rumah baru kita,” Sheila ingin menuntut jawaban tapi Sheila juga tak sanggup
memandang kesedihan di wajah papanya.
Papa
menunjukkan foto di smart phone-nya.
Sheila ingin tak percaya dengan apa yang dilihatnya dan nama tantenya sebagai
pengirim foto tersebut akhirnya membuat Sheila berdamai dengan keyakinannya.
Itu foto pernikahan mamanya dan yang Sheila tahu ada dua hati yang sama-sama
patah.
“Papa
memutuskan untuk menerima pekerjaan di sini di Sumbawa Barat, di Newmont sebuah
perusahaan pertambangan. Ini hal terbaik yang bisa papa lakukan, menghilang dan
jauh dari tempat kita sebelumnya. Bisakah kita berusaha untuk menyembuhkan luka
hati kita, Sheil?”
Sheila
mematung dan jutaan kata berteriak di kepalanya tapi satupun terdengar oleh
telinganya, seharusnya Sheila menangis tapi yang terjadi sebaliknya. Kesimpulannya
adalah mama mendepaknya dan papa menjebaknya. Sheila tak pernah merasa
dikhianati kedua orang tuanya sedalam ini. Pertahanan Sheila runtuh, bahkan
menangis tak mampu lagi menunjukkan kesedihannya, ada yang hancur di dalam
dirinya dan kepercayaan juga tak lagi tersisa untuk kedua orang yang sangat di
sayanginya.
“Entah
bagaimana menyembuhkan hati papa, tapi hatiku dengan mudah tersembuhkan.
Berikan aku kado setiap minggu, siapa yang butuh kasih sayang kalau Sheila bisa
mendapat benda-benda menyenangkan?”
Sheila
baru saja membodohi dirinya, tidak ada yang bisa menukar orang tuanya dengan
benda apapun.
***
Semuanya
baru, Sheila bersekolah di sekolah kampung dengan anak-anak yang menurut Sheila
kampungan. Sheila tak mau berteman dengan mereka dengan alasan apapun.
Menurutnya, dia dan anak-anak itu hanya terjebak di tempat yang sama. Sementara
papanya, sibuknya luar biasa. Itu pengalihan pikiran dari pernikahannya yang
gagal.
Papa
memang tak pernah melupakan janjinya pada Sheila, di akhir pekan dia selalu
meletakkan kado yang terbungkus cantik, di meja tempat tidurnya, tapi tak
pernah sekalipun Sheila mengucapkan terima kasih. Hubungan Sheila dan papa tak
lagi sehangat dulu, mereka lebih mirip seperti sepasang orang asing yang di
suruh tinggal bersama. Hingga suatu hari saat papanya benar-benar memojokkannya
dan memaksa bicara, akhirnya Sheila bicara tapi tentu saja kata-katanya tak
lagi terdengar manis dan manja seperti Sheila yang dikenal papanya.
“Terima
kasih untuk mug-kopi-my-dad-has-the-most-awesome-daughter-in-the-world-nya pa
itu manis sekali, tapi aku tak sengaja menyenggolnya dan pecah. Aku harus
bilang apa soal frame raksasa dengan
kolase foto kita? Itu hanya rekaman gambar, tapi aku ingat dulu pernah ada kita
bertiga di sana; aku, mama, dan papa. Seolah seperti yang ditakdirkan papa
memotong gambar mama, dia memang menyakitiku dan papa, tapi kita dulunya keluarga
. Dan puisi itu memang indah dan aku terharu hanya saja aku tak sanggup
menangis air mataku habis, oh iya kado cantik Ballerina Musical Globe justru
mengingatkanku pada… apa saja yang telah dirampas dariku? Balet yang adalah
separuh hidupku, sekolah lamaku, teman-temanku, Bima… seluruh duniaku papa
hancurkan dan papa bentuk kehidupan yang tak seperti mauku. Aku benci papa!”
Sheila berbicara cepat dan keras, seolah kepalanya tak bisa mengontrol
lidahnya.
Tak
ada lagi obrolan apapun setelahnya, hanya saja seminggu kemudian Sheila
mendapatkan credit card sebagai
hadiah untuk memilih sendiri kado-kado yang diinginkannya, sejujurnya papanya
telah kehabisan ide untuk menghadapi putrinya yang kini telah berubah. ‘Belilah
apapun maumu’, itulah yang tertulis di sebuah memo merah muda.
Papanya tahu tinggal di kota kecil membuat Sheila harus berbelanja secara online untuk memenuhi maunya. Sheila tak
bersyukur untuk itu, Sheila malah mendapatkan cara baru untuk menyakiti
papanya.
***
"Kuteks
dua belas warna? Setengah lusin poncho
kasmir dengan warna yang sama, hitam?” papa tak percaya melihat apa yang
dikadokan Sheila untuk dirinya sendiri.
“Aku
sedang berkabung papa dan akan terus berkabung, dan kuteks mengatasiku
mengigiti kuku-kukuku karena gelisah.” Sheila menjawab dan memasang wajah datar
tanpa rasa bersalahnya.
“Dan
sekelompok Barbie yang kamu bantai? Are
you okay, dear?” Sheila memungut salah satu Barbie berkepala botak dan
wajah coreng moreng karena tindakan vandalisnya.
“Aku
marah karena para Barbie memiliki senyum dan kebahagiaan permanen di wajahnya.”
Sheila berusaha tegar tapi air mata mengkhianatinya.
“Papa
berusaha nak, papa pernah memiliki dua wanita yang papa cintai, kehilangan
seorang membuat papa seperti ini, sanggupkah kau buat papamu menderita lebih
dalam lagi? Tolong kembalikan gadis kecil papa yang papa sayangi.” Belum pernah
Sheila melihat papa sedih sepeti ini, matanya berkaca tapi wajahnya memaksa
menunjukkan ekspresi tegar lelaki dewasa.
Sheila
tak sanggup berkata-kata pada akhirnya Sheila mendekapnya dan mengucapkan maaf.
Sheila tak menduga bahwa dia sanggup menyakiti papa yang sangat menyayangi dan
selalu melindunginya. Bahkan dari luka yang mungkin lebih parah jika di ada di
sana menyaksikan pernikahan mamanya. Ini penyesalan terbesar Sheila dan Sheila
ingin memperbaikinya.
***
“Boleh
minta dua permintaan terakhir?” keduanya tengah duduk di taman bunga matahari
yang beberapa bulan terakhir dibuat oleh papanya untuk kejutan ulang tahun ketujuh belasnya,
beberapa minggu lagi..
“Apapun,”
jawab papanya tulus.
“Tetaplah
jadi pahlawanku dan tetaplah menjadi cinta sejatiku sampai aku menemukan
pangeran tampanku.” Pinta Sheila dalam nada manja dan wajah merona.
“Papa
janji,” lalu keduanya menatap langit berwarna jingga dan menghirup udara segar.
Mereka memang melewati kisah yang tak mudah tapi mereka akan berusaha untuk
sama-sama mengobati hatinya, lebih dari segalanya mereka berjanji untuk menjadi
keluarga bahagia selamanya. (the end)
Nyesek ceritanya.
BalasHapus