Suatu senja di
kota Sumbawa Besar, seorang gadis pulang kepada kenangan masa kecilnya. Gadis
itu bernama Gadis. Dulu, di sinilah dia menghabiskan masa kanak-kanaknya yang
penuh dengan cerita manis. Namun, ketika dia masuk melalui gerbang kayu lapuk
itu, yang dia tahu bahwa hatinya remuk. Ketika pintu diketuk takkan lagi ada
yang menyahut. Ketika dia mengucap salam, takkan ada lagi ayahnya yang dengan
segera datang menyambut. Pulang, hanya untuk mengenang hal-hal indah yang telah
hilang.
***
"Jika kamu melangkah pergi
artinya kamu tak boleh kembali … " Ancaman dari ayahnya tak mengurungkan
niatnya untuk mengejar cita-cita. Selepas SMA dia hanya ingin menuruti
mimpinya. Mimpi sangatlah egois. Mimpinyalah yang membuat dirinya berubah
menjadi anak sadis yang meninggalkan cerita miris, karena kesalahannyalah
Ayahnya meninggal dengan tragis.
Menurut Gadis, kesepian dan
kekecewaan membuat ayahnya kehilangan harapan hidupnya. Ketika istrinya
meninggal, dia masih memiliki anak gadisnya. Ketika anak gadisnya pergi, yang
dia ketahui bahwa dia tak cukup berharga untuk membuat orang-orang yang dicintainya
tetap tinggal bersamanya.
Anak perempuannya memang
berkemauan keras. Kebahagiaan baginya tak cukup hanya dengan apa yang mampu pria
itu bawa pulang ke rumah. Pria itu penuh cinta, hanya saja dia tak memiliki
cukup rupiah untuk membeli berbagai keindahan dunia. Sepotong roti dan
secangkir kopi pahit setiap pagi membuat putrinya muak. Gadis itu menginginkan roti
dengan keju atau secangkir cokelat panas. Anak perempuannya bosan untuk kado
buku di setiap akhir pekan. Kadang sesekali dia ingin hadiah bandul berbentuk
hati yang akan membuatnya terlihat
menawan. Bagaimanapun, dia anak perempuan.
***
Gadis mewujudkan mimpinya. Mimpi
yang dia tukarkan dengan cinta ayahnya. Sebuah penukaran yang tak sepadan.
Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan tak selamanya membawa kebahagiaan. Mimpi
besar gadis itu justru membawanya kepada kehampaan. Dia menerima banyak pujian,
dia mendapatkan benda dan barang yang dia inginkan. Tapi, tak ada kasih sayang.
Sementara, kerinduan justru membawanya pada penyesalan.
Rintik rindu di balkoni, di
sebuah rumah musim panas yang disewanyalah yang membawanya pada keputusan untuk
pulang. Ketika itu, dia menerima kabar kematian sang ayah. Pulang menjadi suatu
keharusan. Dia bahkan mengabaikan kata-kata terakhir ayahnya ketika dulu dia
meninggalkannya.
***
"Kupu-kupu dan gelembung
soda, tahukah kamu betapa kamu mirip keduanya?" Melalui Skype Artha bicara
padanya. "Kupu-kupu, berasal dari kepompong. Kamu adalah kepompong yang
dirawat ayahmu. Dia mengenalmu, tahu kemampuanmu, tahu seberapa besar
cita-citamu. Kamu kupu-kupu bersayap besar dan yang bersayap pada akhirnya akan
terbang. Ayahmu justru menyayangkan jika talentamu tak dikembangkan."
Artha mencoba meyakinkan Gadis.
Saat itu Gadis tak berbicara,
dia hanya menatap muram pada layar yang menampilkan wajah teman masa kecil yang
tak lagi dijumpai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Teman masa kecil yang
terlalu sering dia rindukan.
"Dan gelembung soda―tanpanya, minumanmu terasa hambar.
Seperti segelas Cola begitulah kehidupan ayahmu, yang tak bisa dikatakan indah
jika tanpamu. Kamulah gelembung itu, gelembung-gelembung mungil yang
mempengaruhi cara orang-orang menafsirkan rasa manis dalam kehidupan ayahmu.
Seorang ayah, butuh seorang anak perempuan untuk disayangi, dilindungi, yang
mendampinginya. Anak yang berbakti. Tapi, tahukah kamu ada yang lebih berarti
dibanding anak yang berbakti? Anak yang membanggakan. Dan kamu berhasil
melakukannya." Artha berusaha memperkecil rasa bersalahnya, tapi baginya
hal itu sia-sia.
"Ayahmu meninggal dengan
tenang, bukan karena kau tinggalkan. Memang ada kesepian dan kepedihan, tapi
yang kutahu kamulah kebanggaannya, sumber kebahagiaannya." Bayangan Artha
memburam, genangan kesedihan sekarang membanjiri pipinya. Gadis menutup
laptopnya. Tak sanggup mendengar hal-hal indah menyayat hati lainnya yang
mungkin diucapkan Artha.
Pembicaraan terakhirnya dengan Artha
membulatkan tekadnya, pada keputusan untuk meninggalkan posisinya sebagai Chef
di salah satu restoran terbaik di Beverly Hills. Gadis pulang ke kota kecil itu, walau hanya demi
membayar rasa bersalah yang tak lagi berguna.
***
Gadis ingat pada salah satu kenangan
masa lalunya. Dia merobek buku-buku kesayangan ayahnya dan meletakkannya
sebagai hidangan makan malam. Bentuk protesnya, karena ayahnya membeli begitu
banyak buku dan tak memikirkan kenikmatan lidah dan rasa kenyang di perutnya.
Ayahnya, lebih suka mengenyangkan pikirannya. Hal itu tak masuk akal bagi gadis
usia belasan yang memiliki kecintaan besar pada makanan. Pada saat itu Gadis
sebetulnya ketakutan, dia merusak benda berharga milik ayahnya. Alih-alih
menghukumnya, ayahnya hanya menyentuh kedua pipinya dengan sayang dan
menatapnya dalam sambil berbisik. "Ada kunang-kunang di matamu. Cahayanya
indah. Ayah menyayangimu." Ingatan itulah salah satu hal yang membawa
kakinya kembali menjejakkan kaki di sini.
Pagi ini, dia tahu apa yang dia
lakukan. Dia harus merawat buku-buku ayahnya―hal lain selain dirinya yang begitu dicintai ayahnya. Dia tak
ingin kelembapan atau mungkin rayap merusaknya. Namun, alangkah terkejutnya
Gadis, segala sesuatu yang ada di sana sekarang ternyata jauh lebih baik dan buku-bukunya
lebih banyak dari apa yang pernah diingatnya. Ada rak-rak baru, dan nampak
semuanya terawat.
Dinding-dinding perpustakaan
pribadi ayahnya masih memajang potret masa kecil hingga remajanya. Tak hanya
itu, tapi juga potret-potret terbarunya. Seseorang mengambilnya dari album facebook-nya. Tentu bukan ayahnya,
ayahnya tak begitu berminat pada teknologi. Dia bahkan menyalahkan televisi
sebagai pembunuh imajinasi.
"Ayahmu benar."
Seseorang mengagetkannya. Gadis hampir saja menjatuhkan buku yang dipegangnya.
"Kunci masih diletakkan di tempat biasa. Seperti katanya, sewaktu-waktu kamu
pasti pulang untuk menebus rindu."
"Di bawah keset seperti
biasa," Gadis hampir tak bisa berkata dengan benar. Ada sesuatu yang
membuat lehernya tercekat.
"Setiap sore dia selalu
menunggu. Duduk di situ." Artha menunjuk sofa yang usianya sama dengan usia
si gadis. "Dengan pakaian terbaiknya." Gadis melangkah dan duduk di
sana. Matanya tepat menatap lurus pada gerbang kayu rumahnya. "Jika kamu
datang, dia akan senang. Jika kamu datang, dia berjanji untuk mencicipi semua
yang kamu masakkan. Hal yang seringkali diabaikannya dulu. Ayahmu bilang, maaf
karena telah menduakanmu dengan buku-buku." Bagaimana bisa ayahnya
menyampaikan hal sepenting ini pada seorang Artha?
"Dan, aku juga minta maaf
karena marah pada buku-buku bodohnya." Gadis tak bisa menahan sedihnya.
"Aku marah karena dia hanya menceritakan tentang mereka yang tak nyata.
Dia menyukai dunia yang aku tak bisa masuk ke sana. Seperti dia yang tak ingin
masuk ke duniaku. Ayah tak pernah memahami inginku." Suaranya serak, tapi
setiap kata yang terucap dari bibirnya membuat perasaannya lega.
"Masih ingat apa yang
terakhir diucapkannya?"
Mengenang itu membuat mata Gadis
kembali basah.
"Jika kamu melangkah pergi
artinya kamu tak boleh kembali … " Artha menghela nafas. "bila belum
bisa memuwujudkan mimpi." Sambungnya lagi.
Gadis tak percaya pada apa yang
didengarnya.
"Aku ada di sana, selalu
ada dan tetap ada. Aku mendengarnya, seluruh kata yang tak ingin kamu dengar
dulu. Kamu hanya ingin pergi secepatnya." Artha mencoba membawa Gadis
kembali pada kenangan lama.
"Aku minta maaf walau
mungkin terlalu terlambat. Walau tak pernah kamu tunjukkan tapi aku tahu kamu
marah. Karena, betapa aku dan ayahmu begitu sama, alih-alih kamu putrinya.
Pikirmu, setiap ayah menginginkan seorang putra." Ada tawa mengejek dalam
suaranya tapi kemudian hilang ketika dia kembali bicara.
"Sejak dulu, akulah yang
paling sering menghabiskan waktu di sini dengannya. Tak inginkah kamu bertanya,
mengapa?" Ada keraguan ketika Artha ingin menyelesaikan kalimatnya.
"Karena aku ingin jadi sepertinya. Menjadi pria yang mencintaimu
sedemikian besarnya." Bahkan, Artha sendiri terkejut ketika dia menjawab
sendiri pertanyaannya.
Gadis tak bisa berkata-kata. Dia
hanya mampu menatap Artha dan menyambut tangannya. Menggenggamnya erat di dada,
dan menumpahkan perasaannya yang tak mampu dibahasakannya.
Setelah jeda panjang, akhirnya
Artha memilih menggunakan kata-kata. Karena, kadang kebisuan terlalu sulit
untuk diterjemahkan.
"Kita memang sepasang
merpati, tapi kamu adalah merpati yang selalu ingin terbang tinggi. Sulit untuk
kuraih." Gadis menggeleng, seakan tak setuju dengan ucapan pria yang
berada di depannya. "Oh …Gadis, seandainya saja bisa kukatakan …
Terbanglah sejauh sayapmu mampu membawa terbang. Tapi ingat kemana harus
pulang." Ada rasa frustasi ketika Artha mengucapkan kata yang telah disimpannya
sedemikian lama.
Gadis tak pernah mengira apa
yang sejak dulu menantinya di sini. Sesuatu yang dulu sulit untuk ditinggalnya
pergi. Dan, tak ingin menyesali sekali lagi. Dengan bibir gemetar akhirnya dia
mampu mengatakannya:
"Aku pulang … padamu. Aku
mohon, jadilah mimpi baruku."
Aku suka cit.
BalasHapusKalau di jadikan novel berlatar sumbawa ini pasti booming nih di sumbawa hehehe
Ada rencana mau bikin novel remaja berlatar belakang Sumbawa. Cuma kalo sekarang pengen fokus ke belajar menulis cerpen dulu :)
HapusSangat berhasil! Suka dengan perbandingan makanan untuk pikiran dan makanan untuk lidah.
BalasHapusMakasiii mbak G ☺☺☺
HapusAku kira Artha itu perempuan. Efek lapar nunggu magrib jadi gak konek begindang. -___-
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus