(Gadis)
Ada
saat-saat kita harus jatuh dan terluka. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Ada
saat-saat ketika kita seperti tak memiliki siapa-siapa. Saat itulah mungkin
kita harus berehenti menatap masa lalu, tapi memulai untuk melihat masa depan,
bukannya menahan seseorang yang ingin pergi, tapi membuka hati bagi orang lain
yang datang untuk menemani.
***
Matahari sudah meninggi, walaupun
juga masih terlalu pagi, tapi yang jelas aku tidak bermimpi saat kulihat sosok
yang kupikir takkan pernah lagi kutemui.
Aku ingin berdiri, lalu berlari,
tapi kakiku terasa seperti besi.
“Gadis” dia memanggilku, masih
dengan suaranya yang dulu.
“Raken” aku tak tau apakah suara
lirihku terdengar telinganya.
“Maaf…”
Hening…
“Maaf…karena telah datang begitu
terlambat” Ada penyesalan di wajahnya, ada keraguan saat dia hendak melanjutkan
merangkai kata.
“Kenapa kamu harus pergi?” aku berbisik,
lidahku seolah tak sanggup mengucap kata.
Raken datang padaku, berdiri di
sampingku, tapi tidak seperti pertama bertemu, dia tidak melihatku dengan
pandangan aneh dan juga tidak seenaknya mencomot sarapan, juga tidak duduk tanpa sopan. Dia berbeda
sekarang walau tak terlalu lama tak berjumpa, tapi perubahan besar seakan
mengubah banyak hal. Sesungguhnya, aku ingin lagi bertemu Rakendra yang dulu, seperti
pada saat rasa rindu belum menjadi milikku.
“Gadis…gue harus bicara…”
“Kenapa kamu pergi?” tak tau
mengapa tanganku bergetar, dan bahuku mengguncang, tangisku pecah tak
tertahankan, walau tanpa suara tetesannya terasa perih di pipi. Sebenarnya apa
yang kutangisi?
“Hey…jangan pikirkan apa yang tak
boleh dipikirkan!” Dia seperti tak suka mengatakan hal ini “Ada hal yang lebih
penting sekarang, hal yang harusnya elo ketahui, tapi terpaksa gue tutupi….bokap
elo…koma” dia seperti lega saat mengatakannya “Sudah cukup lama…nyaris seminggu
ini”
Kupikir ini hanya tentang perasaan
yang tak sempat terkatakan tapi ternyata sesuatu yang tak kuduga sebelumnya,
dari apa yang dikatakannya dia sepertinya memang tak pernah berpikir tentang
apa yang terjadi sebelumnya, sesuatu yang kujadikan moment berharga yang pernah kupunya, perasaan apa yang kurasa? Salah!
Seharusnya memang seperti kata-katanya, jangan memikirkan hal yang tak seharusnya
dipikirkan, tentang perasaan, dia tak merasakan apa-apa, dan seharusnya aku
memang tak berpikir jauh ke sana. Dan sekarang apa yang dibawanya, dua kali
lebih menyakitkan dua berita duka, papaku koma entah dimana dan dia baru
mengatakannya, ada sudut yang berdarah jauh di dalam diriku, tak mampu lagi menahannya,
tangisanku lagi-lagi menderas.
Aku tak bisa memikirkan apa-apa
pada saat ini, aku seperti tersesat dalam kegelapan, tak tau jalan pulang,
mengingatkan ketenangan, agar mudah bagiku untuk memahami apa yang sedng
terjadi, kebingungan ini sungguh-sungguh menyiksa diri, aku seperti berada
dalam sepi tak ingin berada dalam posisi ini…
Kehangatan itu datang, dalam sebuah
pelukan, aku sedang tak ingin berpikir tentang apapun sekarang, aku hanya ingin
menikmati selimut hangat alami ini, aku menumpahkan segalanya, marah dan pedih,
kupikir ini wangi segelas coklat hangat tapi ternyata aku salah, wangi ini
mengingatkanku pada Caramel yang manis…saat kuhirup wanginya aku seolah
tersadar dan membuka mata, bagai mimpi yang harus disudahi, Enzo lah yang di
sini, memelukku, saat coklat hangat itu berlalu, tepat setelah meninggalkan
sebuah kartu dalam genggamanku.
Saatnya pergi, aku masih tak ingin
memahami segala yang harus terjadi, segala yang akan kujalani, aku takkan bisa
melewatinya seorang diri.
***
Aku masih terguncang membaca apa
yang tertulis di kartu itu, hanya sebuah coretan asal dengan tulisan acak,
sesuatu yang ditulis begitu saja, alamat rumah sakit, pastinya tempat papaku di
rawat.
***
Tak kuasa untuk melihat tubuhnya
yang tergolek tak berdaya, aku hanya berdiri di balik pintu kayu yang bagian
atasnya terbuat dari kaca, aku mengintip dari balik pembatas kaca transparan
untuk melihat ke dalam ruangan tempat papaku berada. Tanganku masih tergenggam
erat, jari jemari Enzo memberiku kekuatan, di satu sisi ada keyakinan untukku
masuk dan melihat papaku dan ada juga ketakutan jika aku tak bisa menerima
keadaannya.
Enzo mengangguk, artinya aku memang
harus masuk, tapi langkahku terhenti, saat mendengar suara lirih wanita seperti
sedang bernyanyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar