(Rakendra)
Kadang
kita memang harus berlari
Kadang
kita memang harus menghindari
Kadang
kita memang harus pergi
Tapi
semoga, masih ada waktu untuk kembali, suatu hari nanti
***
Berjarak
begitu dekat dengan perempuan yang melahirkanku, tapi tak tau harus menyebutnya
dengan apa, harus menunjukkan sikap yang bagaimana. Memang, bukan perlakuan
yang sepantasnya yang bisa kuberikan tapi aku tak yakin dengan pilihan lainnya,
kulakukan seperti apa yang dituntunkan hatiku saja, penyesalan dan apapun itu,
semoga saja tak menjadikan segalanya menjadi lebih sulit di kemudian harinya
nanti.
Berat
mengatakannya tapi harus kuucapkan “Seharusnya semuanya lebih sederhana
sekarang…jangan pikirkan apapun, kembalilah pada masa depan, semua akan
baik-baik saja.” Aku tersenyum padanya, ini sebuah penolakan yang tak mudah.
“Apa
yang harus kulakukan? bagaimana agar aku bisa dimaafkan?” Sambil menangis, dia
memohon, wajahnya membuatku tak tega, tapi aku harus tetap bersikap angkuh di
balik tembok pertahananku.
Aku
menyentuh tangannya menatap ke dalam matanya. “Terima kasih, karena telah
membawaku ke dunia” Air matanya menderas, tak ingin kuhapuskan, karena aku juga
bahkan tak kuasa untuk menahan air mataku sendiri, air mata yang jika tak lebih
keras kutahan akan tertumpah dan menjadi deras, aku masih mencoba bertahan,
tapi kata-kataku tak bisa berdusta, serak dan menyakitkan saat aku membuka kata
“Pulanglah, ada keluarga yang membutuhkanmu di sana…” Aku meyakinkannya “aku akan baik-baik saja.”
Memaksakan diri untuk bersikap tega. Aku pergi, meninggalkannya, dan menangisi
kemalangannya dan juga kemalanganku dari balik pintu rumah kontrakanku.
***
Aku
sudah menyelamatkan hidupku, dan sekarang aku harus menyelamatkan kehidupan
mereka seperti yang telah dipesankan
***
Melangkahkan
kaki di lorong yang begitu bersih, putih, sepi, membuatku seakan diintimidasi.
Buatku rumah sakit bukan tempat penyembuhan, tak pernah jadi tempat untuk
membuka harapan, rumah sakit hanya tempat yang dengan gamblangnya mengatakan
bahwa kesehatanmu tidak dalam kondisi sempurna, dan kamu harus siap untuk
keadaan apapun nantinya.
Memberanikan
diri melangkahkan kaki, dan apa yang terjadi, pintu itu menjeblak terbuka,
seakan gadis itu telah menungguku di sana, dia menarikku, tangannya bukan lagi
hangat, tapi memanas, bukan karena demam tapi emosi yang tertahan. Dengan
langkah tergesa dia memaksaku untuk melangkah, hingga pada saat menemukan
tempat yang dianggapnya tepat, kami berhenti dan sudah saatnya semua hal harus
dibukakan, perlu diungkapkan.
“Apa
yang kamu ketahui, tapi tidak kuketahui! Bagaimana bisa kamu seperti kunci tapi
tak ingin memberiku sedikitpun informasi…Oh Tuhan, apa yang terjadi…fakta-fakta
yang datang menghantamku sedemikian hebatnya, aku hancur, patah dan remuk, tapi
kamu tau, kamu paling memahami keadaannya, tapi apa yang kamu lakukan ? bagai
pengecut pergi, menghindari, dan berlari! “Dia terlihat marah dan frustasi,
matanya sembab, rambutnya berantakan. “Bagaimana bisa kamu melakukan semua hal
yang menyakitkanku begini? Kenapa tak bilang ibuku belum mati! Kenapa tak
bilang kalau ayahku….sedang menuju mati” hening, dan aku tak melakukan apapun,
aku hanya berdiri, memandanginya dengan otak kosong melompong. “Jangan salahkan
aku bila aku terpaksa untuk mebencimu!” Air matanya menderas, dia terlihat
marah juga menyesal, aku merasa, aku telah salah dalam memilih sebuah langkah,
tak tau apa yang kulakukan, aku berbalik arah, dan…pergi…menghilang,
meninggalkannya. Seperti katanya; pergi, menghindari, berlari…dan sebuah
tambahan kata lagi, aku tak lagi ingin kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar