(Aimee)
Apa
yang diinginkan oleh seorang anak
Kadang
adalah hal yang tak pernah disadari oleh orang tua
***
Dan
aku di sini sekarang, merenungi segala hal yang telah terjadi; hasil,
keseluruhan, akumulasi dari kejadian-kejadian buruk yang kuciptakan sendiri,
sebuah balasan setimpal, untuk banyak hal menyakitkan yang pernah kulakukan.
Sesungguhnya
aku masih ingin bertanya…apakah segala kesalahan pantas dilimpahkan kepadaku,
seluruhnya? Mengingatnya…sebaiknya kulupakan!
Aku berkata pada diri sendiri, berkali-kali “Ini hanyalah tempat penyembuhan bagi
ragaku, bagi jiwaku, bagi penderitaanku” Aku harus bangkit dari tekanan
yang pernah kuobati dengan caraku sendiri, cara yang salah, keliru, dan
sesungguhnya menyiksa diri, hinggaku di sini, berada di pusat rehabilitasi.
***
Usiaku lima tahun,
cukup mengerti bahwa ibuku, sama sekali tak menginginkanku, dia hanya menciumi
foto buram bocah laki-laki, menangis seorang diri, di kamar gelapnya, suatu
tempat yang tak pernah diizinkan untuk kumasuki.
Aku mengingat hari-hari
saat aku dan dia saling bercanda tapi ada kalanya dia terlihat seperti wanita
yang putus asa, seperti dikejar-kejar dosa, memposisikan diri sebagai
satu-satunya orang yang paling menderita di dunia, lalu dia menangis, tertawa,
menangis, tertawa, menangis, tertawa, membuatku takut, membingungkanku,
membuatku bertanya-tanya, dan pada saat itulah, ayahku, pria yang sangat
mencintainya, datang menenangkannya, memberinya banyak kata-kata berharga,
membuatnya senantiasa merasa bahagia, hingga kadang aku terlupa, bukankah ibuku
wanita dewasa? Bukankah ibuku harusnya bisa menjaga dirinya? Bukankah ibuku
bisa menghapus sendiri air matanya?
Seandainya ada seorang
saja diantara mereka yang mau melihat kepadaku, anak perempuan yang
mengharapkan ibu dan ayahnya, bukan anak yang terlalu kesepian, perhatian itu
tak pernah kudapatkan, mereka tertarik pada masa lalu, memfokuskan diri untuk
mencari dan mencari, dan apa yang mereka temui? Akan mereka dapati
bertahun-tahun nanti, seolah bocah kecil itu, yang adalah aku, bisa
memprediksi.
Menginjak remaja,
semuanya terasa jelas, ibuku, bersama para pemuda, berusia…seperti anaknya yang
hilang, yang sejarah kehilangannya kuketahui dari bisik-bisik di bibir beracun
para keluarga dalam sebuah pesta.
Selama bertahun-tahun,
ternyata ibuku masih tidak bisa mengubur
masa lalunya selalu dihantui rasa bersalah. Sementara aku memang masih terlalu
muda, labil, dan butuh pelarian, kulakukan apa yang bisa kulakukan; merusak
diri, merusak orang lain, mempermainkan, menhancurkan, dan memandang ibuku
seperti perempuan tak bermoral, meyakinkan otakku, bahwa ibuku seperti tante
girang yang menukar uang untuk nafsu, padahal aku tau dia mencari putranya,
anaknya, saudaraku, kakak laki-lakiku. Tapi aku tak peduli, tak mau melihat
dari sudut pandangnya.
Otak egoisku minta
dibenarkan … harusnya dia tau,mereka tau; aku juga membutuhkannya, aku juga
ingin terlihat di depan matanya, aku perlu cintanya.
***
“Aku
baik-baik saja ma” aku meyakinkanya yang tampak menderita, akibat perbuatan
terkutukku, lagi-lagi aku melihat air mata di wajahnya, sebelumnya, air mata
itu membuatku senang, aku senang bila dia berduka, tapi kala itu, itu bukan
diriku, itu hanya aku yang otaknya telah diracuni sesuatu, zat adiktif
berbahaya yang menjadikan aku bukanlah aku.
“Sayang….”
Dia menangis, aku menghapus air matanya. Memeluknya dan menikmati kehangatan
yang nyaris tak pernah kudapatkan, kerinduan yang harus kutukarkan dengan
perjalan panjang yang menyakitkan, tak perlu kuingat proses mendapatkannya,
karena ternoda luka dan kesakitan, sekarang aku hanya perlu menikmati apa yang
harus kunikmati, ibuku, yang kumiliki kini, sepertinya kini matanya terbuka,
tau bahwa aku juga seharusnya dihargai sama dengan masa lalunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar