Aku selalu kagum pada kemampuanku
beradaptasi, dan di sini aku bahkan tahu bagaimana harus bersosialisasi dengan
para kalangan atas penghuni Upper East
Side, mereka yang terlihat berkilau karena harta, mereka yang terlihat
lelah karena drama, hidup memang sama di mana saja, penuh sandiwara juga
rahasia.
Ada ketakutan saat aku harus menjalani
hidup seorang diri. Aku merindukan Soraya, sangat. Aku merindukan debur ombak,
sinar matahari yang menyengat juga keramahan warga lokal, aku merindukan
teman-temanku di sana, para gadis tukang kepang, pemuda tukang tattoo, hingga anak-anak yang akan
menawari kano di pantai Senggigi yang indah, aku bahkan merindukan derit kaki
di lantai kayu rumah kami dulu.
Sekarang
aku lebih banyak melewatkan waktu dengan keluarga Weingarden, sahabat ayahku,
lagipula mereka punya putra tampan yang dari awal berjumpa tak repot-repot
menutupi keteratarikannya padaku.
“Ceritakan
tentang hidupmu selama ini?” Emile Weingarden dengan senyum menawannya bertanya
padaku, kami tengah melewatkan brunch
di sebuah Restaurant di Washington Street di hari minggu yang cerah.
“Well…fucking fantastic!” aku akan
membuatnya menyukai tanah tropis, walau itu artinya dia akan mengalami pengelupasan
ujung hidung parah bila terlalu lama berjemur di bawah matahari, kulitnya
terlalu pucat dan tipis. Aku menyuapi diriku sepotong kecil Apple Cinnamon
Pancake, mengunyah lalu melanjutkan bicara. “Aku tinggal di sebuah Cottage di dekat pantai, seharian aku
melakukan banyak hal menyenangkan, berenang di pantai, berbicara dengan warga
lokal, melukis, kadang bermobil ke kota hanya untuk melihat-lihat, aku tertarik
dengan kehidupan sederhana, sore hari aku akan berjalan kaki di pantai, atau
main kano, menikmati sunset, malam
hari aku akan berpesta sampai pagi, kau harus ke sana suatu hari nanti!”
“Bersamamu…tentu
saja” dia menyesap Espresso-nya sambil melemparkan pandangan menggodanya ke
arahku, aku membalasnya dengan senyum malu-malu.
Emile
Weingarden nyaris seperti tokoh-tokoh pria dalam drama romantis Hollywood,
terlalu menawan, dengan rambut berpotongan rapi berwarna madu, mata teduh
berwarna kelabu, deretan gigi sempurna perawatan dokter gigi mahal, lulusan
Harvard dan telah memulai karier hukumnya di firma ayahnya, wanita mana yang
takkan terkesan? Bukan aku yang sekarang, mungkin aku nanti yang berusia 29
tahun, aku masih sepuluh tahun lebih muda untuk mengganti nama belakangku,
lagipula…ada pria yang membayangiku, pria dengan mata tajam berwajah hijau
sempurna.
“Apa
rencanamu ke depan?” tanyanya lagi, dengan mimik serius, terlihat dari kerutan
di dahinya.
“Entahlah…aku
tak tau” itu jawaban jujur.
“Bagaimana
kalau kau hanya perlu menjalani hidup seperti para putri? dilayani dan berpesta
tiap hari, biarkan mereka bekerja untukmu, mungkin kamu bisa memikirkan ide
untuk tinggal di Empire Suite berharga 1200 dollar permalam dengan pemandangan
Empire State Building yang bisa kau nikmati sambil berendam di bathub, di pagi hari kau bisa menikmati
matahari sambil memandang kecantikan kota New York dari garden rooftop, sambil berenang dan menikmati Dulce de Leche with
Strawberries, malam hari kau bisa berpesta dengan para selebriti dunia,
hiduplah bak ratu di negara Monarki, kau hanya
bertindak seperti icon, tapi tetap
memiliki tahta dan kehormatan, itu semua milikmu, bertingkahlah seolah-olah kau
meneruskan bisnis keluargamu, lalu mungkin kau bisa memikirkan untuk mendesain
sepatu atau parfum” Dia berbicara seperti sedang menghadapi klien-nya, tapi apa
yang dikatakannya seakan membuatku tak percaya, aku gadis yang menikmati hidup
dengan keindahan panorama alam alamiah, bukan gadis yang jadi sampul depan
majalah Forbes.
“Sound like Paris Hilton, rite?” aku
setengah tertawa, aku rasa potongan kecil pancake melayang di tenggorokanku.
“Lihatlah
gedung berlantai delapan belas itu? “ dia menunjuk bangunan yang terlihat dari
balik kaca transparant “itu milikmu, salah satu boutique hotel warisan ayahmu” Aku menatap bangunan bergaya modern
dengan sedikit sentuhan retro itu, dan… keanehan itu datang lagi padaku,
kilasan kenangan dalam bentuk film bisu terulang lagi, ada aku di sana,
menangis, tertawa, berdansa, lalu berlumuran darah dijalan raya, di
sana…bersama pria dengan mata berwarna hijau sempurna.
:::Bersambung:::
Gambar : Kitty Gallanaugh
yahaa nungguin part selanjutnya. oiya, nama tokohnya agak susah dibaca hehe maklum lidah orang sunda hehehe :D
BalasHapus