Semalam suntuk aku memikirkan percakapan
terakhirku dengan Debra. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana ekspresi
wajahnya ketika memandang wajah Emile dan membandingkannya ketika dia menatap
wajah tunangannya. Aku tau perbedaannya, matanya lebih berbinar ketika
memandang Emile, aku bangkit dari tidurku, menyibakkan selimut, dan berjalan
menuju balkon. Aku akan keluar untuk memandangi bintang dan langit malam ketika
ada malam-malam yang begitu sulit untuk kulalui.
Lampu
menyala di belakangku. Emile menyadari bahwa aku terjaga dan diapun ikut
terbangun. Aku mendengar langkahnya menuju ke arahku dari belakang.
“Kau
lebih memilih yang mana...” aku bertanya walau ragu itu terasa “mencintai atau
dicintai..jangan katakan tentang keduanya karena setiap orang pasti
menginginkannya” Kurasakan Emile memelukku, kedua tangannya melingkari
pinggangku.
“Mencintai…”
jawabannya tak seperti yang kuharapkan. Aku memejamkan mata merasakan
pelukannya dan mencoba meresapi emosi apa yang diterima hati. Tidak. Aku tak
merasakan apapun.
“Bukankah
itu menyakitkan?” aku bertanya pelan.
“Kesakitan
yang menyenangkan…”dia menghela nafasnya, aku merasakan nafasnya membelai
bahuku yang terbuka.
“Apakah
itu adil?”
“Tidak
ada keadilan yang sebenarnya, kamu hanya perlu menjalani sesuatu yang
seharusnya. Aku bekerja di bidang hukum, dan tau keadilan itu seperti apa. Hanya
sesuatu yang dijalankan sebagaimana mestinya. Bisakah kau tak membuatnya
menjadi begitu rumit?”
“Yeah…mungkin
sama seperti kalimat ini…kita belum tentu tau siapa orang yang benar-benar kita
cintai tapi kita tau pasti siapa orang-orang yang pernah kita tiduri.” Aku berkata
dalam nada dingin.
“Apa
maksudmu?”
“Entahlah…ketika
cinta adalah sesuatu yang begitu rapuh…aku masih tak mengerti bagaimana hal itu
menebarkan pengaruh…kau mencintaiku, aku mencintai yang lainnnya, tapi taukah
kau di sana…kekasih sahabatmu mencintaimu dengan sepenuh jiwa…kenapa kita tidak
menjadikan hal ini begitu sederhana?”
“Apa
yang kau katakan?” Emile melepaskan pelukannya lalu membalikkan badanku
menghadap padanya, sekarang wajahnya tepat di hadapanku.
“Aku
memohon padamu…bebaskan aku dari hatimu…” aku menangis saat memandang wajah
orang yang sangat mencintaiku itu. “Aku egois dan ini menyakitkan untukmu”tenggorokkanku
terasa serak. “Kumohon”
“Dicintai
ataupun mencintai selalu memiliki resiko untuk tersakiti.”Itu jawaban Emile
sebelum akhirnya dia mengecup keningku.
***
Aku
takkan bisa membuat Emile menyerah untuk mencintaiku. Apabila segalanya menjadi
serumit ini, maka seperti yang dikatakannya… sebaiknya aku memilih resiko itu,
bila Mongardini begitu menginginkanku maka bukan dia yang harus memburuku, aku
yang akan membawa diriku. Dengan mendatangi Massimo Mongardini Senior maka aku
akan bisa memastikan keselamatan untuk Massimo-ku. My Mars.
Aku
meninggalkan mansion Weingarden di
pagi buta,begitu saja tanpa sebuah pesan dan ucapan selamat tinggal. Tak lama mereka
dia pasti tau dimana aku berada. Aku sungguh agar Emile membenciku, karena aku
memilih meninggalkannya, itulah satu-satunya cara untuk membuatnya tersakiti,
tanpa harus membuatnya menderita lebih lama. Membiarkan diriku berada di dalam
perlindungannya akan lebih menyakitnya. Lelaki seperti dia pantas menerima
cinta yang lebih sempurna, entah dari Debra atau wanita lainnya.
***
Aku
mengumpulkan kekuatan untuk bisa berdiri tegak di tempat ini. Di “Puri”
keluarga Mongardini. Setelah tadi, beberapa pria seakan menyeretku ke ruangan
berkubah besar untuk menemui Don mereka yang terhormat.
Aku sungguh merasa terintimidasi, tapi
inilah jalan yang kupilih demi diriku sendiri demi mereka orang-orang yang tak
seharusnya tersakiti atas apa yang harus kualami. Jika mereka menginginkan aku
mati maka aku di sini, jika mereka menginginkan aku mati maka inilah aku, siap
dan berserah diri. Jika aku mati, maka Mongardini mendapatkan aku tanpa harus
membuat putranya lari jauh, tanpa harus membuat Weingarden terpaksa
melindungiku, tanpa harus membuat ada begitu banyak cinta yang tak bisa
berlabuh di tempat seharusnya. Mungkin inilah waktuku untuk menyerah agar
semuanya baik-baik saja. Jika di kehidupan lalu kisah kita tak berakhir indah
mungkin dikehidupan saat inipun juga.
Demi apapun yang membuat kebencian berada
di antara keluargaku dengan Mongardini, aku siap dengan segala hal yang
terjadi. Bahkan ketika langkah kaki itu berjalan teratur menuju ke arahku, aku
tetap memaksa mengangkat kepalaku tinggi-tinggi, bahkan di saat terakhir aku
ingin agar aku bisa di hormati.
“Selamat pagi sekali…Miss De Lachey…”suara
yang seperti pernah kudengar tapi tak begitu kuyakinkan.
Ada rasa percaya dan tak percaya, sampai
ketika wajah itu benar-benar teramati jelas di mataku, pria itu..bukan
Mongardini Senior, tapi pria yang pernah melewatkan suatu malam denganku dulu,
di saat kehidupan liarku harus kuakhiri mulai hari itu.
“Alfredo Mongardini…” Dia menyebutkan
namanya sambil memberiku senyuman manisnya. Dan …Pria itu mengulurkan tangannya
padaku sambil berkata. “Aku merindukanmu, bidadari tropisku.”
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar