Dari balik kaca sebuah Coffee
Shop, terlihat dua orang perempuan berusia diakhir dua puluhan.
Mereka terlihat akrab, tapi terlihat begitu berbeda. Namun sebenarnya mereka
bersahabat erat. Marion dan Nala.
Marion tipikal wanita karier yang
serius. Tinggi kurus, berambut merah yang ditata dengan potongan layer
sederhana, berwajah oval dengan warna mata hazel. Keanggunan
Inggris terlihat jelas dalam dirinya, berkacamata kotak yang menampilkan aura
cerdas, dan binar optimis terpancar dari matanya. Berbanding terbalik dengan
Nala, bertampang unik yang didapat dari nenek moyang campuran, setengah
Kaukasia juga setengah Asia. Nala lebih mirip seperti gadis dengan senyum
malas-malasan dalam halaman utama majalah Fashion, terlihat indah
namun tak memiliki cita rasa, seolah kepribadiannya yang bermasalah terlihat
seperti buku yang terbuka.
Mereka terlibat obrolan serius, tapi
masing-masing diantara mereka sebenarnya kurang menikmati topik yang sedang
dibahasnya. Sederhananya mereka hanya ingin bersama, melepas penat dari
rutinitas yang mengikat. Mereka ingin kembali seperti dulu saat mereka masih
SMU dan dunia mereka hanya direpotkan masalah pekerjaan rumah yang membosankan
atau bad hair day yang menyebalkan.
Marion menyesap Espressonya.
Dia menikmati rasa pahit dan manis dalam waktu bersamaan di lidahnya. Dia
menatap pada gadis di depannya yang sibuk memainkan rokok yang tak
dinyalakannya. Nala terlihat marah karena gangguan kecil bernama aturan, lebih
tepatnya larangan. Idiot munafik mana yang mengatur masalah ada tempat boleh
merokok dan ada tempat tidak boleh merokok?
“Jadi… kau memutuskan untuk tidak
menikah seumur hidupmu?” Pertanyaan pribadi yang tidak sederhana, apalagi
diucapkan oleh gadis yang terlihat tidak suka bercanda. “Kau yakin dengan itu?”
Seolah ingin menegaskan dia menambahkan lagi. “I mean…, kau benar-benar
tahan dengan kesendirian itu?” Kali ini tak lagi seperti pertanyaan serius,
lebih seperti cecaran yang memojokkan.
“Apa yang kubutuhkan?” Setengah tertawa
Nala bertanya. “Cinta?!” Ada nada jijik saat dia menyebut kata yang bagi jutaan
orang dunia adalah kata yang paling berharga. “Bukankah itu sejenis spesies
yang hampir punah?!” Wajahnya terlihat membenci rangkaian kalimat yang tengah
dia katakan. “Pria baik dan Dinosaur cuma bisa ditemukan dalam
buku sejarah,” dia mengulur-ulur ucapannya seakan terdengar bosan.
“Aku yakin kau pernah – paling
tidak satu kali – merasakan cemburu. Kau tahu, ketika kau melihat
pasangan suami istri.” Marion mencoba mengubah pendirian Nala, dia ingin
mempengaruhinya.
“Cemburu?!” Nala terkekeh, seolah kata
itu adalah kata yang bisa memancing tawa. “Jadi itu yang kamu lihat? Marion, my
friend…. Mata manusia hanya mampu melihat apa yang ingin dilihatnya.”
Aneh ketika kalimat seperti itu diucapkan oleh gadis dengan potongan rambut Pixie yang
dicat Magenta. Gayanya terlalu eksentrik, tapi kemampuan berbicaranya ternyata
bisa saja bijaksana. “Well…. Aku cuma ingin membayangkan jika aku berada
di posisi wanita itu. Sekedar membandingkan. Seberapa bahagia aku tanpa pria
yang mengikatku. Kau tahu, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan
orang-orang yang berbeda.” Nala memain-mainkan amulet yang menjadi hiasan bagi
kalung ala gipsinya. “Perkawinan tidak lebih dari ikatan konvensional, dimana
wanita hanya berfungsi sebagai ibu dan pembantu rumah tangga. Aku wanita yang
mencintai hidup, dan perkawinan, seperti bukan hubungan yang ingin aku jalani.
Aku tak bisa membayangkan hanya menghabiskan hidupku dengan satu orang saja.
Tidak ada jaminan aku tak terserang bosan.”
Marion nyaris tak percaya pada
kata-kata sahabatnya. Nala bisa saja berdusta, seperti lidahnya yang tercipta
untuk berbicara tanpa harus seirama dengan hati. Nala boleh kelihatan
berapi-api, tapi matanya menampilkan ekspresi sedih. Mata hijau itu terlihat
tanpa cahaya ceria yang dulu pernah jadi miliknya.
“Aku bertemu Dalton kemarin.” Marion
tahu pasti itu adalah hal terakhir yang ingin didengar Nala.”
“Wah beruntung sekali.” Nala terdengar
mengejek dia memutar bola matanya, ekspresinya terlihat luar biasa sebal.
“Dia menayakanmu,” tambah Marion.
“Seharusnya dia berhenti menanyakan
apapun tentangku! Baik baginya untuk melupakan aku seperti aku melupakannya.”
Nala benci membahas Dalton. Nala dan Dalton bisa saja menjadi pasangan yang
membuat iri pasangan lainnya. Tapi pada akhirnya mereka memutuskan untuk
berpisah. Tidak. Sebenarnya, Nalalah yang meninggalkannya.
“Kabar buruknya, Dalton tak bisa
melupakanmu,” kata Marion cepat-cepat, seolah mengatakan hal itu bisa melukai
lidahnya. “Dia bilang, apartemennya sepi sejak kau pergi.”
Nala terdiam, jauh di lubuk hatinya ada
lubang yang menganga yang dulu pernah diisi oleh pria yang sangat dicintainya.
Tapi rupanya Nala memilih membiarkan lukanya tetap seperti adanya.
Marion ingin bicara tapi ada keraguan.
Pembahasan di antara mereka membuat hawa terasa sedikit panas. Tapi mau tak
mau, Marion harus mengatakannya, karena tak ada lagi waktu yang tepat selain
saat ini.
“Wanna be my Maid of Honor?”
Marion mengucapkannya dengan tiba-tiba. Nala tak menduga, tapi Nala tahu dia
harus bersikap bagaimana. Dia memeluk sahabatnya. Di dadanya kehangatan
menyelimutinya, membuatnya tenang, dan merasakan kedamaian. Di tengah
kebenciannya dengan drama percintaan, terselip sedikit rasa percaya, bahwa cinta
sejati itu ada, tapi hanya bagi mereka yang meyakini.
“With my pleasure, Darla,”
kata Nala tulus, namun tak beberapa lama ide nakal menjalari pikirannya. “Screaming
for bachelor party baby! Mari melepas masa lajang dengan menjadi jalang
semalam!” Nala mencintai pesta lebih dari rasa bencinya terhadap pria. Dan
kelebihannya, dia tahu cara memeriahkan suasana dan sangat tahu cara membuat
kekacauan. Marion harus mendirikan benteng pengamanan.
“What?!” memasang ekspresi terkejut tidak cukup untuk
menyelamatkannya karena tepat pada saat itu Nala tertawa, ekspresi ketakutan
Marion seperti kebahagian besar buatnya.
“Berhentilah menjadi gadis manis!”
Marion memang membosankan.
“I’m not…, but are you sure about
this?”
“Absolutely!” Nala memasang
wajah bandel cantiknya. “You know me so well.” Nala bersiul menggoda.
“Kau selalu menang mempengaruhiku dengan sikap baikmu. Tak ada salahnya jika
sesekali kau mengikutiku. Tak ada ruginya untukmu. Lagipula, anggaplah ini
sebagai bayaran atas permintaanmu menjadikanku pengiring pengantinmu!”
“Oh, no…,” teriak Marion dalam
hati. Nampaknya ia harus waspada terhadap ide gila sahabatnya. Nala punya otak
kriminal parah. Dan Nala suka sekali mendekati bahaya.
Nala tertawa. Derai tawa manja tapi
serak. Suaranya menjadi berat karena ketergantungannya akan nikotin.
“Well…. Robert akan mengadakan
pesta akhir pekan. Hanya untuk para pengiring pengantin. Aku harap kau ada di
sana. Dan setelahnya, kita siap berpesta. But…, lupakan soal ide
gilamu yang berbahaya.” Marion berdiri, dia hendak pergi. Sedari tadi dia
gelisah dan terus menatap arloji.
Robert adalah tunangan Marion. Mereka
bertiga – Marion, Nala, dan Robert – adalah sahabat pada awalnya. Tapi pada
akhirnya, Robert dan Marion menjalin cinta. Dan Nala berakhir dengan status
saudara sejiwa. Hubungan mereka berubah saat Nala berkencan dengan Dalton di
kelas XI. Robert membenci Dalton. Bukan hanya karena dia brengsek, tapi karena
dia cowok nyaris sempurna yang pernah ditemuinya. Nala dan Dalton sempurna bila
bersama. Hanya saja sayangnya, mereka memberi dampak buruk untuk satu dan
lainnya.
“Wait!” kata Nala setengah
kaget, tak menyadari kepergian Marion yang sangat tiba-tiba. “Aku mencium
sesuatu yang layak untuk dicurigai!”
Marion berbalik dan tersenyum.
“Kau sangat tahu Robert, Nala. Pria itu
bahkan tak punya pikiran negatif sedikitpun. Rencana jahat tak mungkin
terpikirkan di otak sucinya,” ujar Marion yang lalu melanjutkan langkahnya.
Nala masih tetap duduk di bangku kafe
yang sama. Dan otaknya terus mengeluarkan tanya yang tak habis-habis. Nala
ingin percaya, tapi firasat memaksanya untuk terus waspada.
— bersambung —
Gambar : Kitty Gallanaugh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar