(Massimo)
Aku sedang memainkan lagu patah hati yang
kubenci, jari-jariku terasa perih saat menyentuh tuts-tuts piano yang memainkan
nada lirih yang membuatku frustasi. Memoriku memutar lagi tiap detail saat
Violetta masih di sisi, bersamaku, terkhir kali.
“I
love you” aku suka bagaimana suara manjanya mengungkapkan kata yang membuatku
merasa berharga. Tapi apa yang kulakukan, aku melemparkan sebuah kebodohan,
sebuah pertanyaan.
“Tak
menyerah untuk terus bersamaku?”
“Takkan
pernah” dia menjawab dengan keyakinan sempurna, aku bisa membaca dari sorot
teduh matanya.
“Apa
yang dilakukan seorang gadis kaya, di pondok kayu di tengah hutan?” pertanyaan
terbodoh yang pernah kulontarkan, aku tau jawabannya, akulah yang menyeretnya
ke sana, membawanya ke dalam penderitaan.
“Sedang
bermain peran untuk drama versi remaja Hensel and Gretel” Sebuah jawaban
kekanakan yang seharusnya bisa melumerkan kebekuan hatiku karena kekhawatiran.
“Jawaban
yang bagus, mengingat dikehidupan lampau kita saudara, anggap saja pondok ini
rumah jahenya, settingnya sungguh tepat, di tengah hutan liar yang indah” Aku
pura-pura mengikuti alur yang dia ciptakan, mengangap ini sebuah humor tdan
tertawa, terpaksa.
“Katakan
ini dimana?” dia bertanya dalam nada menggoda, sikap cerianya membuatku merasa
bersalah “Kupikir aku merindukan peradaban” dia tertawa dan memainkan sendok
dalam mug kopi milikku.
“Jangan
pernah berpikir untuk pulang jika kau ingin selamanya bersamaku” saat
mengatakannya aku tak sanggup menatap matanya, kita tak bisa bersama, Violetta
tak mungkin meninggalkanku, akulah yang akan meninggalkannya, dan inilah saat
yang tepat sebelum terlambat.
Dia
mendekatiku, duduk di pangkuanku, kedua tangannya melingkar memelukku, dia
mencium pipiku dan berbisik. “Aku rela menukarkan segala yang kumiliki untuk
bisa bersamamu”. Aku tak mampu untuk mengatakan sepatah katapun, hingga aku
memilih melepas selimut flannel dan menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Aku
pria kuno, walau testoteronku lebih suka dia tanpa apapun, tapi demi martabat
wanita yang berharga aku ingin membuatnya merasa terhormat
“Aku mencintaimu” bisikan merdunya di
telingaku tak hanya sebuah pengakuan tapi sebuah janji dengan penuh perasaan.
“Pastikan
kamu terus mencintaiku sebelum kamu akhirnya membenciku.”Entah bagaimana aku
bisa mengatakan hal itu.
“Aku
tak melihat alasan untuk membencimu” Seharusnya Violetta membuka matanya,
seandainya dia tau segalanya.
“Bagaimana
kau tau?” aku bertanya secepat yang bisa lidahku ucapkan.
“Kita
melewati sebuah masa untuk bisa bersama, kehidupan yang baru…”Aku tak ingin dia
bicara dan mengingatkanku akan kekuatan cinta
“Bagaimana bila kehidupan baru, lebih sulit
dari hidup terdahulu?”aku ingin mematahkan keyakinannya.
“Bolehkah
kita berhenti mengkhawatirkannya dan biarkan kita hanya menikmatinya?”Dia
mencoba menenangkanku, tapi aku tau aku tak bisa ditenangkan.
“Baiklah…”
lebih mudah untuk menyerah dan menghentikan percakapan yang makin rumit ini.“Persiapkan
diri untuk kemungkinan terburuk, persiapkan hati yang berani mencintai untuk
merasakan pedih.”Aku mencoba memperingatkannya.
Jari-jariku
berhenti bersamaan dengan harmoni yang menyayat hati.
Setelah itu aku mendatangi polisi dan
mengatakan di mana Violetta berada, aku bukan datang menyerahkan diri, aku
bukan pecundang malang. Aku hanya ingin semuanya usai dan…jangan tanyakan tentang
hukuman atas kekacauan yang telah kuciptakan. Kejahatan apapun takkan bisa
membuat klan Mongardini terjerat hukum. Aku hanya ingin semuanya usai, aku
ingin kembali, saat aku masih seorang Massimo, aku tak ingin terusik lagi
kehidupan lampau. Aku hanya tak ingin kehidupan laluku mengoyak kehidupan
baruku.
Kerah bajuku tertarik begitu tiba-tiba, tak kukira dalam hitungan
detik aku tersungkur di tanah.
“Aku
tau dimana aku bisa menemukanmu” nada arogan tak menyenangkan datang dari pria
yang kurusak malam pertunangannya.
“Emile
Weingarden” aku menyebut namanya dan bangkit. “Seharusnya kita bisa berpesta,
akan kualunkan nada ceria agar kau bisa berdansa. “Aku menawarkan sebuah
penghiburan, beberapa teman jalananku di taman yang kuhibur dengan musikku mulai
bersikap penuh kewaspadaan, aku melemparkan ekspresi menenangkan, tak ada yang
perlu dikhawatirkan, sebuah hantaman adalah ganjaran yang sangat pantas buatku.
Bila kuingat-ingat ini kali kedua aku menerima pukulan dari pria ini, yang
pertama, saat awal perjumpaanku denganVioletta, di kehidupan kini.
“Dimana
Violetta?” dia bertanya dalam nada dingin, ada kemarahan ada ketakutan.
Entah
kenapa ketakutan yang tergambar jelas daam diri Weingarden juga turut merasuki,
kurasa tak tepat juga bila kukatakan ini ketakutan tapi sebuah kekhawatiran. Violetta tak bersamanya?sebuah
kemunginan mustahil. Akulah yang membuat Violetta keluar dari hutan dengan
maksud agar dia kembali pada Weingarden.
Ini
tak mungkin sebuah lelucon.
“Tak
ada bersamaku” Jawabku datar tapi meyakinkan, karena itulah kenyatannya. Emile Weingarden
menatapku lama, menimbang apakah kata-kataku mengandung kejujuran, pada
akhirnya dia menemukan jawabannya, dia menangkap kejujuran dari diriku. Dia
menjauh dan tak lagi menatap wajahku, berbalik dan melangkah pergi, tapi sempat
mengucapkan kalimat.
“Dia
meninggalkanku untuk mencarimu” Saat itu otakku langsung mengirimkan tanda
bahaya, aku tau kemana Violetta mencariku. Violetta berada di tempat yang
berbahaya. Puri Mongardini takkan
membiarkan mangsanya keluar tanpa tercabik dan…tetap bernyawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar