Beberapa pelayan yang disewa Robert
keluar dengan segera ketika pintu dapur dimasuki dengan langkah buru-buru oleh
Nala dan Marion. Nala membelakangi Marion yang ragu-ragu untuk menyentuh
pundaknya yang bergetar. Kemarahan, kesedihan, dan rasa gusar yang tak
tertahankan membuat Nala merasa lemah tak berdaya. Dari cermin Marion melihat
wajah sahabatnya dalam ekspresi yang sulit dilukiskan. Sementara Nala yang
mengetahui kehadiran Marion, pada mulanya lebih suka mengabaikan, tapi dia tahu
itu tak berguna. Sekian lama Nala menyimpannya, dan mungkin inilah waktunya
untuk dia menumpahkan segalanya – seperti dia menumpahkan sisa Wine yang
dia tumpahkan ke wastafel dengan gelasnya begitu saja.
“Siapa yang bisa kupercaya sekarang?”
Nala menghela nafasnya yang berat, seberat ketidaknyamanan yang ia rasakan
selama ini. “Jebakan dan pengkhianatan! Apa lagi yang bisa dijelaskan?” Nala
ingin bicara dalam nada kasar tapi kemarahannya tertahankan karena tiba-tiba
dia diselimuti kelelahan.
“I’m so sorry…,” Marion
menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Kupikir masih belum terlambat untuk
memperbaiki segalanya.”
“Akan lebih baik membiarkan segalanya
berantakan daripada memaksa menyatukan banyak retakan yang berujung
menyakitkan,” sahut Nala yang masih membelakangi Marion.
Nala tiba-tiba memikirkan banyak hal.
Waktu yang sudah begitu lama berlalu, seharusnya dia tak pernah tahu. Segala
sesuatu yang tak diketahuinya tidak akan menyakitinya. Pengkhianatan terasa
menyakitkan dan menghancurkan kepercayaannya terhadap sebuah hubungan yang
bernama persahabatan. Nala merasakan sentuhan tangan Marion di kulitnya,
rasanya seperti terbakar. Kini Nala tak ingin lagi menyangkal.
“Kau pikir mengapa aku pergi? Mengapa
aku terlihat seperti membenci diri sendiri? Yeah, I hate myself and I
wanna die.” Nala seperti sedang memperolok dirinya. “Tanyakan dirimu
sendiri!” Kali ini Nala menatap lurus ke cermin, hingga mata hijaunya
berpandangan dengan mata hazel Marion. “Because the reason
is you!” ada nada menghakimi. “Mungkin aku orang paling egois di dunia, but….
Oh, God! Aku memandangmu sebagai kembaran jiwaku, saudara secara
emosional.” Sedikit berat, saat Nala ingin menyampaikan kata-kata selanjutnya.
“Kau menyembunyikannya, tak ingin fakta itu diketahui oleh diriku. Tapi sesuatu
yang kau lakukan dengan Dalton di balik punggungku – sejujurnya – tak ingin
kumaafkan. Tapi bahkan untuk orang sepertiku, bijaksana kurasa perlu.”
Nala berbalik, hingga keduanya saling
bertatapan. Tapi tak lama Marion memilih untuk menatap ujung sepatu Christian
Loubotinnya. “Walau menyakitkan…,” sambung Nala lagi, “kau ada di sana saat
aku terpuruk. Kau menyelamatkan aku nyaris di sepanjang hidupku. Kupikir
menutupi kecintaanmu terhadap kekasihku.” Nala memilih menatap langit-langit
sekarang, dia tak ingin menumpahkan air matanya yang menggenang. “Aku berusaha
mencari alasan agar aku bisa membencimu.” Suara Nala lebih serak sekarang.
“Tapi aku tak bisa.” Nala menggelengkan kepalanya perlahan. “Menyalahkan
perselingkuhanmu dan Dalton membuat segalanya terasa nyata. Sehingga baik
buatku untuk pura-pura membuat alasan lain untuk mempertegas kepergianku. Kau
tahu itu menyakitiku, tapi di sini bukan hanya aku yang tersakiti.” Nala tak
lagi kuasa menahan air matanya. “Tapi kita semua.”
Marion menatap Nala yang ingin
menghapus air matanya. Tapi di saat yang sama, Marion bahkan tak sanggup
menghapus air matanya sendiri.
“Kadang aku bertanya. Apa, mengapa, dan
bagaimana.” Nala bicara lagi.
“Tahukah kau apa yang kita dapatkan?” Ia seolah bertanya
pada Marion.
“Hanya alasan!” Nala menjawab pertanyaannya sendiri. “Sementara
kita tahu yang paling kita butuhkan adalah pemahaman, hingga aku mendapat satu
keputusan untuk melupakan kebenaran. Kuubah kenyataan menjadi khayalan. Dan
yang kupilih adalah pergi dan tak lagi percaya hati.”
Nala menatap Marion, tapi Marion masih
tak mampu untuk membalas tatapan sahabatnya. “Kau tahu, kerusakan dalam hidupku
takkan menyakiti siapapun. Tapi noda dalam hidupmu yang sempurna, itu bisa
mengubah segalanya. Bisakah kita berhenti sekarang dan biarkan segalanya
berjalan seperti alurnya?” tanya Nala pada sahabatnya.
“Demi kesalahan yang telah terlewatkan, I
beg you a mercy.” Marion sungguh-sungguh, tangisan meleleh di wajahnya.
“Inilah yang bisa kulakukan untuk memperbaiki segalanya. Kumohon kembalilah
pada Dalton.”
“Seharusnya segalanya tidak perlu
terjadi. Dan tidak ada yang perlu untuk diperbaiki.” Nala sudah mulai dengan
nada bicara seperti biasanya, terdengat seperti orang yang tidak peduli
segalanya. Bahkan jika ada Anaconda di sampingnya, ia hanya
perlu menyingkir tanpa perlu berteriak histeris seperti kebanyakan wanita.
“Aku dan Dalton,” ujar Marion. “Mungkin
kau harus tahu sekarang. Dalton hanya obsesiku. Pada akhirnya, aku kembali pada
seseorang yang mencintaiku. Dan Dalton, seharusnya ia bisa bersama seseorang
yang tak pernah hilang dari hatinya. Aku tak bisa sepertimu, Nala. Kau tak
harus belajar keras, kau tak harus berusaha menjadi teladan, dan kau bebas
menentukan pilihan. Kadang aku iri. Tapi pada akhirnya aku tahu, aku tidak
boleh begini. Kau sahabatku, yang terbaik yang pernah ada dalam hidupku.”
Marion menatap Nala, untuk meyakinkannya.”Kembalilah seperti dulu.”
“Katakan padaku bagaimana cara
menghidupkan rasa yang telah mati?” tanya Nala pelan. Ia berharap Marion tak
punya jawaban untuknya.
“Bisakah kita memulainya dari nol?”
Marion bertanya. “Anggaplah ini kali pertama kau dan Dalton bertemu. See?!
Tidakkah kau berpikir aku dan Robert tak melewati saat seperti ini? Jika tidak,
mungkin ini bukanlah pesta pre-wedding kami. Mungkin ini tak lebih dari reuni
SMA kita saja.”
Nala tertawa, sejenis tawa lelah
terpaksa. “Sayang sekali, honey….” Ia menyapukan jemarinya di
rambut merah Marion yang membandel. “Hidup kita bukan seperti komedi romantis
tontonanmu. Realistislah!”
“I need you to rethink about that.
Aku akan kembali ke dalam, banyak tamu yang harus kutemui.” Marion menghela
nafas panjang, lalu berkata ”Talk to him, please.” Marion memohon. “I’m
begging you.” Dan Marion pun meninggalkan Nala yang kini membelakanginya.
“Nope! Aku lebih suka
membenamkan diri di lautan dari pada bertemu dengannya.” Nala bicara dengan
marah pada dirinya sendiri.
Marion menghampiri Robert dan Dalton
yang masih berdiri di samping bar. Sekilas ia melihat memar semu
yang berada di pelipis Dalton. Lalu beralih melihat Robert dan langsung
menghujani tunangannya itu dengan pandangan menyalahkan. Marion tidak meminta
Robert bertindak sampai sejauh itu. Namun sepertinya Robert tetap tidak ingin
disalahkan. Robert tidak ingin harga dirinya turun hanya gara-gara tatapan
Marion yang terlihat menghakiminya.
“Robert. Bisa kupinjam Dalton sejenak?”
Marion masih memberikan tatapan tajamnya pada Robert, seolah memaksa Robert
untuk meminta maaf padanya di kesempatan pertama.
Robert tidak menjawab pertanyaan
Marion. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia langsung menjauh dari Marion
dan Dalton untuk menemui tamu undangan yang lain.
“Kau bisa bicara dengannya sekarang,
Dalton,” ujar Marion setelah memastikan Robert cukup jauh untuk bisa mendengar
percakapan dirinya dan Dalton.
“Nala yang ingin berbicara denganku,
atau kau yang memaksanya untuk bicara denganku?” tanya Dalton dengan nada
menghakimi.
“Is that matter now?” Marion
balik menyerang ucapan Dalton.
“Oke. Aku akan bicara dengannya.”
Dalton beranjak dari samping bar menuju
dapur. Dari jauh ia melihat Nala sedang menatap microwave. Gadis itu
tidak tahu Dalton sedang berjalan ke arahnya.
“Nalton!” setengah teriakan Dalton
mengagetkan Nala.
Nala sangat mengenal suara itu. Dan
lebih parahnya lagi, Nala merindukan suara itu. Seketika itu juga, ia langsung
berbalik untuk melihat si empunya suara.
“Begitu mereka menyebut kita di High
School, huh?!” Dalton masih berbicara denga nadanya sama,
selalu menggoda. “Tidakkah kamu merindukan episode di saat masih bersama, saat
masih saling jatuh cinta?”
Nala memasang pertahanan, tapi dia
kebingungan tak tahu harus bagaimana. Jadi wajah angkuhnya adalah tameng
terbaik yang dia punya. “Ada yang tak ingin melupakan masa lalu rupanya,”
sindir Nala. “By the way…, senang melihatmu belum terpanggang di
neraka.”
“Kau merindukanku. Itu, kan, artinya?”
Dalton membalas dengan nada jahil seperti biasanya.
“Itu hal terakhir yang ingin
kurasakan.”
“Dan aku orang pertama yang ingin
mempercayainya.” Dalton tertawa renyah, ada beberapa orang di ruang tengah yang
sempat menengok sebentar ke arah mereka. “Bisa kita bicara?”
“Kau pikir apa yang sedang kita
lakukan?” tanya Nala. Sesaat kemudian, ia merasa tangan Dalton menyentuh
lengannya. Masing-masing dari mereka merasakan sensasi yang mereka rindukan.
“Hei! Sopan sekali kau! Menyentuh tanpa izin dikategorikan sebagai bentuk
pelecehan seksual.”
“Kau terdengar seperti Robert.
Membosankan.”
Nala membuang muka. Mereka terlihat
seperti sepasang remaja yang tengah bertengkar.
“Come on!”
Dalton masih menatap Nala. Tatapannya
memohon. Tapi Nala tak bisa menolak ketika Dalton membawanya menuju rooftop.
Di sana, mereka duduk di tepi kolam, saling memandang.
“Apa yang kamu inginkan?” Nala bertanya
cepat, dia ingin mengakhiri segalanya dengan mudah.
“Menikahlah denganku.” Dalton merogoh
sakunya. Tanpa kotak beludru, benda mungil itu terlihat berkilauan di bawah
cahaya bulan. Sayang Nala tak terkesan.
“Please…,” Dalton memohon.
Nala ingin membuang muka. Tapi ketika
mata Dalton bertemu pandang dengan matanya, tatapan mata pria itu seolah
menghipnotisnya. Ia ingin berhenti terpesona, tapi tak bisa. Apalagi ketika ia
teringat gambar permanen wajahnya di lengan kiri Dalton, ia hanya ingin
tersenyum. Selanjutnya, Nala benar-benar tidak menolak ketika pada akhirnya
bibir Dalton menyentuh bibirnya.
Dari kejauhan Robert dan Marion menatap
mereka. Keduanya berharap malam ini kisah Dalton dan Nala akan seindah mereka.
Walaupun sejujurnya, Robert masih menyimpan marah. tapi ketika dia melihat
binar bahagia saat Marion menatap Nala dan Dalton, Robert memilih menyerah, dan
memberikan ciuman hangat penuh cinta untuk kekasihnya.
— T H E E N D —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar