Seteluk,
Desember 2013.
Dua
kepompong itu tidak ingin menghadapi hari. Mereka meringkuk malas dan berharap
hari baru tidak datang dan mereka bisa terus bermimpi. Salah satu dari
kepompong itu bergerak-gerak gelisah, lalu tak lama menampakan wajah mengantuk
yang muncul begitu saja dari balik kain pantai berwarna merah muda. Tak lama
tangannya terlihat meraih-raih sesuatu— tanpa membuka mata, dan tepat! Tangan
itu meraih handphone yang masih
tersambung dengan charger tercolok. Kebiasaan
buruk!
Sekarang
wajah itu mulai berekspresi, mengerjap-ngerjapkan mata dan menguap. Terlalu
dini untuk ekspresi bosan, tapi dia tak peduli. Dia mencabut charger handphone-nya dan meletakkan si not so smartphone-nya di telinga lalu
berbicara.
“Bangun
sayang sudah setengah tujuh,” suara manja dan serak khas pagi hari.
Secara
tiba-tiba, kepompong lainnya ikut terjaga, dia menyingkap kain pantai biru
mudanya dan seakan lompat dari tempat tidur begitu saja, tubuhnya sangat
ringan, gerakannya bahkan terlihat sepeti gerakkan burung pipit yang terbang.
“Kamu
pacar apa alarm?” sindir gadis yang
terlihat begitu mungil untuk usia dua puluh enam jelang dua puluh tujuh tahun.
Dia mengenakan pakaian dalam pelangsing berwarna beige.
Si
kempompong pertama melemparkan bantal.
“Ouch!”
terlalu malas untuk membalas, si kempompong kedua memilih duduk di depan meja
kecil lipat tempat netbook-nya
berada, dengan malas-malasan dan setengah mengantuk dia memulai memilih-milih
lagu untuk dimasukkan ke dalam playlist-nya.
Tak lama mulai terdengar musik, dia mulai menggoyang-goyangkan badannya
mengikuti irama. Berjalan mondar-mandir dan setengah teler di lantai yang tertutup serakan kertas, buku, dan majalah.
Penghuni
kamar itu adalah dua orang gadis, tapi percayalah ... kamar itu lebih tepat di
sebut kamar remaja cowok yang membawa pacar ‘dewasa’ mereka untuk menginap—
luar biasa berantakan tapi dipenuhi perlengkapan perempuan. Lantai mereka
dipenuhi debu yang mereka klaim sebagai sel-sel kulit mati, tapi lebih tepat
karena sudah nyaris dua pekan sapu plastik mereka menjadi pengangguran, jangan
tanyakan tentang kain pel dan cairan pembersihnya. Mereka sepakat takkan
membersihkan apapun, sampai tahun 2014 nanti. Desember ini mereka hanya ingin,
hidup dalam rasa malas dan pasti nantinya akan diikuti oleh rasa bosan
permanen.
Desember,
berarti hujan sepanjang hari. Kepompong pertama akan kebasahan setiap pulang
kerja dan kepompong kedua sudah pasrah bahwa flu parahnya akan terasa seperti
selamanya. Desember ini, dia tengah memiliki hubungan tak terpisahkan dengan
Vapporub dan tissue, hati-hati gadis,
kau akan membuat pecinta lingkungan marah. Berapa banyak pohon yang harus
bertanggung jawab untuk menyeka hidung beringusmu, yaks!
“Got my dreams, got my life, got my love. Got
my friends, got the sunshine above. Why am I making this hard on myself. When
there's so many beautiful reasons I have to be happy?” Menyanyikan lagi
Happy dari Natasha Beddingfield dengan sepenuh hati tapi dengan suara cempreng
menyedihkan si kepompong kedua bernyanyi tanpa menyadari bahwa suaranya bisa
menimbulkan bahaya bagi pendengarnya.
“Aggggiiiiiiit!
Berisik!” si Kepompong pertama rasanya ingin memilih menelan selimut daripada
harus berteriak kepada rekan sekamarnya yang semakin dilarang malah semakin
menjadi itu, tapi dia harus menegur Agit yang sekarang masih cuek bernyanyi
sambil berkeliaran di dapur.
“Rise and shine Retta! Wake up and smell the coffee!” Keceriaan Agit adalah semacam
cobaan di pagi hari yang menyebalkan untuk Retta. Dia masih mengantuk dan
kepalanya masih dikelilingi bintang-bintang. Aroma kopi instan favorite Agit mengelitik hidungnya. Agit
membutuhkan kopi untuk membuatnya sadar sepanjang hari, sementara bagi Retta,
kopi nyaris berfungsi seperti obat tidur, aneh! Tak lama, udara kamar dipenuhi
aroma lainnya; lelehan mentega, manisnya cokelat meleleh ditengah-tengah Roti
bakar. Agit memang bisa diandalkan untuk menghilangkan lapar di pagi hari, tapi
Agit juga bisa merusak mood baik
bahkan sepagi ini.
Roti bakar tercium dekat, hanya
beberapa inci dari hidung Retta. Bukannya bangun dan makan, Retta menikmati
aroma itu dan mencoba menghilangkan kesadarannya dan tertidur. Sementara Agit
kembali duduk di meja lipat menghadap netbook-nya,
apalagi coba yang dilakukannya jam segini? Stalking
facebook dan twitter mantan—juga mungkin calon gebetan! Sekarang masih jam
setengah tujuh pagi dan dia memilih untuk tak buru-buru mandi apalagi harus
mengenakan seragam khaki buteknya, dia benci seragamnya walau
begitu mencintai profesinya. Menurutnya menjadi guru, itu profesi sampingannya
dan penulis adalah profesi utamanya. Padahal, dia memulai karier menulisnya
sejak dia terdampar di kecamatan kecil ini karena, ketika itu dia punya terlalu
banyak waktu sendiri dan tidak memiliki teman berbicara, berbicara sendiri membuat
dia berpikir bahwa dia gila, tapi menulis setidaknya membuat perasaannya lebih
baik... Kadang dia pikir dia payah karena menyukai buku-buku “berat” tapi apa
yang dituliskannya, buku remaja! Dan yang paling parah ... teman-temannya malah
tak ingin membaca bukunya.
Namun,
Agit cukup bahagia akhir-akhir ini, bulan kemarin partner in crime-nya bagai jodoh yang menemukan hati untuk pulang,
Retta akhirnya mendapat pekerjaan sebagai seorang costumer service di salah satu perusahaan provider di daerah yang tak
jauh dari tempat kosnya Agit, dan demi alasan hemat sekaligus mengulang ‘masa
lalu’ mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Empat tahun yang lalu mereka juga
satu kosan dan juga satu kamar. Mereka sangat berbeda tapi ketika bersama yeah ...
kadang mereka baik-baik saja.
***
Retta
akhirnya memilih sadar dan menghadapi dunia walau dengan ogah-ogahan, dari
kamar mandi terdengar suara air mengalir dan nyanyian bising Agit seolah tak
mau berhenti. Dengan bingung Retta mengecek playlist
di netbook dan mendengar baik-baik
apa yang dinyanyikan oleh Agit, ah berbanding terbalik. Sekarang netbook itu memutar instrumen merdu
piano Yiruma sementara Agit sedang menyanyikan lagu Katy Perry.
“In another life I would be your girl. We
keep all our promises, be us against the world. And in other life I would make
you stay. So I don't have to say you were the one that got away.The one that
got away!”
Retta
nyaris menghentikan musik dari netbook
dan menutupnya, sampai menyadari bahwa aplikasi iLivid tengah menunjukkan bahwa
ada sebuah film yang sedang didownload,
dasar Agit si tukang bajak! Tapi, Retta juga tak keberatan nanti malam sepulang
kerja dan sambil menikmati ritual curhat bertema sama seperti yang sudah-sudah ‘entah-menyesali-atau-mensyukuri-hidup’
mereka akan berbaring di lantai sambil menonton. Malam ini mereka akan menonton
Don Jon, entah bakal jatuh cinta atau mencaci maki si tampan dan cute Joseph Gordon-Levitt. Sudah
beberapa minggu tivi di kamar rusak, dan mereka harus puas dengan apa yang bisa
dibajak dan apa yang bisa ditonton di Youtube.
“All this money can't buy me a time machine
... Nooooo ... Can't replace you with a million rings ... Nooooo ...I should've
told you what you meant to me ... whoa ...'Cause now I pay the price.”
Konser
kamar mandi Agit sudah keterlaluan, sekarang rasanya Retta pengen menggedor
kamar mandi dan pura-pura bergaya a la
Anggun sambil menyerahkan golden ticket
dan berkata “Selamat kamu ke Jakarta!” Tapi Retta males gila berjalan ke belakang lemari pakaian dan menyaksikan
tubuh bugil Agit, pintu kamar mandi mereka rusak dan lampunya, menurut Agit
sudah mati nyaris setahun ini.
Agit
sedang mencampurkan kopi bubuk tanpa gula sachet-an
dengan sabun mandi cair dan menggosok-gosokan ke permukaan badannya. Dia selalu
menikmati waktu mandinya. Sementara Retta dengan gelisah menunggu giliran
mandinya. Retta mengunyah rotinya yang entah mengapa sekarang terasa seperti
karpet tebal di rumah tua yang lembab.
“Git,
masih lama?” tanya Retta lelah.
“Belom
tahu, eh di majalah kemarin katanya buat ilangin selulit pake sabun cair apa lotion yak? Eh didieminnya berapa
lama,Ta?”
Khas
Agit, ditanya malah nanya lebih banyak lagi.
“Ga-te-he!”
jawab Retta asal.
“Ta,
udah mau mandi yak? Entar dulu yak! Aku masih mau diemin muka yang dibalurin jus tomat sama lemon nih,”
Agit
kadang bikin Retta menggila dan yang Retta tak habis pikir kenapa, Agit harus
tergila-gila dengan perawatan kulit dan rambut, dia mencoba segala tips yang
ditemukan di mana saja. Padahal, Agit itu berhijab, toh nggak ada juga yang
akan melihat banyak bagian kulit atau rambutnya, tapi harus diakui rambut dan
kulit Agit bagus, kulitnya berwarna kuning cerah dan rambutnya halus, tebal,
berwarna cokelat gelap dan mengkilat. Semua itu dia dapat karena hobi makan
sehatnya yang buat Retta mual, Agit suka sekali jadikan tomat cemilan dan minuman
favorite-nya, yaks! Air hangat jeruk nipis, semacam cairan buat cuci piring. Sementara
Retta tak tertarik dengan perawatan semacam itu, makanan enak tidur nyenyak,
itu nikmat! Retta punya wajah manis dan body
seksi, tak perlu melakukan apapun lagi, bahkan walau dia sering terganggu dengan
lemak diperutnya, tapi yeah itu hanya sesekali.
***
“Udah
mau berangkat sekarang?” Retta bertanya, kesabarannya diambang batas, kunci
motor matic-nya di tangan dan tasnya
sudah tergantung di bahu.
“Bentar
Ta!” Agit masih menyesap kopi dan mengecek email, juga mengetik cerpen. Entah
apa itu bisa disebut multitasking.
“Ta!”
Agit serupa orang yang tiba-tiba tersadar dari mimpi buruk! “Ini Desember,kan?”
“Hmmmm....
“
“Jelang
liburan, kan?”
“Yeah?”
“Aku
baru sadar, aku nggak pernah liburan!”
“Jadi?”
“Aku
mau liburan!”
“Punya
uang?”
Agit
menggeleng.
“Punya
waktu?” kali ini dia menggeleng lemah dan ekspresi sedih memenuhi wajahnya.
“Ujian
akhir semester, try out anak kelas
tiga, bimbingan cerdas-cermat, rapotan, aaaaaahhhh....”Agit mengecek
administrasi mengajarnya dan mencoret kalender pendidikan yang membuatnya
kecewa. “Cuma pas di hari Natal, Ta, dan itu sehari.”
Retta
menatap Agit dan sekarang merasa kasihan padanya, dia bekerja terlalu keras dan
yeah begitulah, terlalu bertanggung jawab bahkan sampai mengabaikan
kepentingannya sendiri.
“Ada
sih liburannya entar, dari tanggal 29, seminggu! Tapi gimana coba liburan kalo
belom gajian? aaaaaah.” Suara manja Agit terdengar seperti biasa, dia akan
mengeluh lagi dan inilah yang paling tak ingin Retta hadapi tapi sebagai
sahabat Retta tahu bagaimana memberi solusi.
“Apa
pengertian liburan a la Agit?”
“Hari
tanpa alarm dan boleh malas-malasan,” Agit menjawab lemah.
“Jadi?”
“Tapi
... aku pengen pergi ke suatu tempat, melihat sesuatu yang indah, merasa damai
dan ... “
“Ketemu
jodoh?” sambar Retta.
“Itu
mah bonus, Ta, tapi seriusan pengen banget kemana gitu ... ” Agit terdengar
merengek tapi Retta bisa apa. Agit berbalik lagi kepada layar netbook-nya sementara Retta tak tahu
lagi harus berkata apa. Dia masih menunggu Agit sadar bahwa dia sedari tadi
ditunggui untuk barengan berangkat kerja. Tapi ... walau niat banget pengen teriak dan mau ngomong kasar,
tapi teringat Agit lagi datang bulan, Retta sungguh tak tega.
“Bentar
Ta, “ Naga-naganya Agit sadar karena dia mulai mencabut charger netbooknya dan
memasukkan ke dalam tas. Tapi sekarang, Agit malah membuka tab baru dan
mengetik alamat sebuah situs. Couchsurfing.org[1].
Walau
ada bimbang di hatinya tapi, sesungguhnya Agit harus melakukan ini. Padahal,
dulu dia sudah janji nggak bakal lagi buka situs ini. Untuk beberapa alasan,
kadang seseorang tak harus menepati janjinya, kan? Jarinya menghkhianati
otaknya, tak hanya membuka halaman profile-nya
Agit justru malah mengganti, couch
information-nya. Tak lagi bergambar secangkir kopi tapi berganti menjadi
gambar sofa merah bertanda-tanya yang berarti bahwa Agit bersedia (dengan
syarat) memberi seseorang asing tumpangan di kamar-nya yang berantakan. Aroma
masalah seolah mulai tercium di udara.
Kali
terakhir Agit terlalu serius ‘berhubungan’ dengan situs ini dia harus
kehilangan sahabatnya tersayang dan hubungan dengan adik perempuannya menjadi
kacau. Entah apalagi untuk kali ini, kehilangan sesuatu yang berharga lagi? Tapi,
apa lagi harta Agit yang paling berharga? Hati?
[1] CouchSurfing adalah situs dan layanan jejaring sosial berupa hospitality exchange atau Jaringan
Silaturahmi. Saat ini, jumlah anggota CouchSurfing adalah 2,6 juta di 246
negara dan wilayah.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar