Seteluk, Maret 2009- Pertengahan 2012
Mulai
pertengahan Maret 2009, Agit seolah tak lagi memiliki kehidupan nyata. Ralat.
Kehidupan nyatanya hanya sebatas sembilan puluh menit di sore hari pada hari Selasa,
Kamis dan Sabtu. Itu jadwal mengajarnya, di sebuah SMA baru yang masih
menumpang di gedung SMP dan hanya memiliki tiga kelas, dan setiap kelas
berjumlah tak lebih dari dua puluh anak. Secara pendidikan dia seharusnya
mengajar Pendidikan Kewarganegaraan tapi pada prakteknya dia mengajar
Sosiologi, hanya karena dia anak bawang dan pendatang, belum lagi karena
kepentingan mereka yang berstatus guru profesional dan bersertifikasi jadilah
dengan tidak rela tapi pura-pura memasang sikap ‘Okay nggak masalah’ karena ... siapa coba yang nggak mengalah kalau
mereka sudah mengeluarkan mantera pamungkas “Kan, mbak Agit belum menikah,
belum ada tanggungan, ya bantulah saya, ya cuma ini caranya supaya tunjangan
sertifikasi saya dibayar.” Ya, semua orang butuh uang tapi Agit butuh belajar
tentang kehidupan, dan itu adalah pelajaran kecil yang didapatkannya.
Agit
hanya hidup secara nyata untuk siswa-siswanya, selain itu dia akan
menyembunyikan wajahnya di balik buku, handphone,
atau netbook-nya. Bukannya Agit anti
sosial atau semacamnya, dia hanya merindukan mereka yang ada di kejauhan,
karena orang-orang yang berada di sekitarnya, menganggapnya seperti makhluk
hologram.
Kos-kosan
pertama Agit di kampung itu hanya sebuah kamar kecil yang dulunya adalah garasi
yang beralih fungsi menjadi toko dan perubahan terakhir resmi menjadi kamarnya.
Bagian kecil dari rumah yang dijaga oleh seorang janda yang dipanggil Aya —yang
berarti bibi dalam bahasa halus Sumbawa bagi mereka yang berdarah biru. Aya ini
memiliki seorang putri yang hanya dua tahun lebih tua dari Agit, namanya Tanti
dan seperti ibunya, perkawinan usia mudanya juga kandas. Pemilik rumah tersebut
adalah Gyan, anak berumur tiga belas tahun, yatim piatu malang yang bahkan juga
kehilangan ibu angkatnya. Ibu angkatnya yang dipanggil mami adalah pemilik asli
rumah bergaya semi oriental itu. Tapi, mami meninggal saat umur Gyan sebelas
tahun tinggallah Gyan diasuh oleh sepupu mami itu. Mami memiliki seorang putri
tunggal yang sekarang tinggal di Maumere bersama suaminya yang berkebangsaan
Jepang. Karena itulah mami akhirnya mengangkat Gyan sebagai anak. Mami adalah
pribumi asli, tapi mami yang eksentrik itu tergila-gila pada berbagai hal yang
berbau oriental, dari foto-foto yang menampakkan wajahnya di tembok rumahnya
bisa disimpulkan bahwa beliau mengidentifikasi dirinya seperti wanita keturunan
Cina atau Jepang, obsesi yang akhirnya diwujudkan oleh Memey putrinya.
Agit
berusaha beradaptasi di rumah itu, tapi keadaan tak memungkinkan. Tidak ada
kesamaan antara dirinya dengan penghuni lain di tempat itu, termasuk dengan
Ninda yang dulu satu SMA dengannya yang juga menyewa kamar di sana atau dengan
Oni, cowok pemalu yang langsung menutup pintu tiap kali bertemu muka dengan
Agit. Jadi, untuk mengatasi kesepiannya Agit mengubah jadwal hidupnya. Dia akan
terjaga sepanjang malam dan mulai tidur setelah sholat Subuh, jam dua belas
siang barulah dia bersiap-siap ke sekolah, mengajar sepenuh hati jika dia ada
kelas dan menjadi Zombie sesudahnya karena kehidupan sekolah seakan tak
mengundangnya untuk bersosialisasi dengan jajaran rekan kerja lainnya.
Betapa
dia merindukan sahabat-sahabatnya yang masih betah berstatus mahasiswa, Agit
kesal kenapa harus wisuda lebih dulu dan menghadapi kehidupan penuh tanggung
jawab terlalu cepat. Tapi, Agit anak pertama dia punya tanggung jawab yang
tidak harus dipikul oleh teman-teman lainnya. Kadang Agit berpikir dia bisa
lebih nyaman berada diantara sahabat-sahabatnya dibanding di tengah
keluarganya, di rumah dia merasa terintimidasi karena harus selalu berprestasi
dan berprestasi atau melakukan sesuatu yang berarti, “Jangan menyia-nyiakan
hidupmu! Lihat apa yang terjadi kepada orang tuamu!” Dari cerita yang
diketahuinya bahkan ketika dia masih begitu belia, orang-orang selalu berkata
betapa ayahnya ketika semasa sekolah begitu cemerlang, cerdas dan luar biasa
tapi begitu suka menikmati segala hal yang ditawarkan kehidupan—salah satu
penyebab kegagalannya. Sementara, ibunya adalah tipikal gadis dengan banyak
teman, kreatif dan aktif. Orang tuanya adalah pasangan yang terlihat sempurna
bersama, tapi pernikahan usia muda harus mereka tukarkan dengan kandasnya
impian dan keberhasilan yang harusnya menjadi milik mereka. Dan, itulah hal
yang tak boleh diulangi oleh Agit, walau Agit berpikir betapa menyenangkan
seandainya bisa sukses di usia muda dan menemukan jodoh di saat usia bahkan
belum menginjak dua lima, tapi ... namanya kehidupan, kamu tidak bisa
mendapatkan semua keinginan di saat yang bersamaan.
Agit
memang pantang menyerah dan pantang menyesal. Agit akhirnya mengubah banyak hal
dalam hidupnya. Pertama-tama dia mulai pindah kosan, menata hidupnya, belajar
jadi vegetarian tapi hanya bertahan
beberapa bulan karena Agit terserang demam tifus. Agit menghabiskan banyak
waktu untuk membuat banyak cerpen juga novel. Agit menghubungi teman-teman yang
pernah ditemuinya, sebagian besar sibuk, sahabat terbaiknya malah
menghindarinya dengan cara yang tak dimengertinya, sejujurnya itu membuat Agit
terluka. Dan, satu-satunya yang masih tersisa adalah dia si ‘biangnya masalah’ mbak Arika
namanya. Entah karena kasihan atau
memang peduli Agit memilih merangkulnya. Kebutuhan akan ikatan persahabatan
antar perempuan mengubah hubungan mereka jadi ikatan persaudaraan. Sedikit pesan, karena darah masih lebih
kental daripada air, seharusnya Agit memiliki alasan untuk waspada.
Hal lain yang Agit lakukan adalah membuka
dirinya, menambah jalinan pertemanannya yang baru, bukan terus menerus
mengharapkan mereka yang seolah tertinggal di masa lalu. Agit tahu pasti
manusia adalah makhluk sosial tapi seiring berjalannya waktu dan sekolahnya
sudah memiliki dua belas kelas. Agit tak
banyak lagi memiliki banyak waktu untuk bersosialisasi di dunia nyata. Maka, dia
memutuskan untuk mengikuti jejak Marsha— adiknya, dia membuat akun di
CouchSurfing yang dia aktifkan di saat liburan semester. Minimal dia bisa
memperkenalkan pulau kecil kurang terkenalnya kepada dunia, dan yeah bertukar
pengalaman dan menambah teman bisa jadi bonusnya. Selain itu ... Agit memang
bosan kesepian. Ini tahun keempat dia menjalani hidup di tempat orang, dia
seharusnya melakukan sesuatu agar tidak bosan. Namun, seperti yang kita tahu
setiap keputusan memiliki sesuatu untuk ditukarkan. Dan Agit mungkin menukarnya
dengan sesuatu yang menjadi sebuah kesalahan.
***
Mataram, Agustus 2009- Pertengahan 2012
Setelah
Agit wisuda, Retta memutuskan untuk pindah, mencari suasana baru. Memang masih
ada teman-teman lain di kosan itu, tapi tanpa Agit ada yang kurang di hidup
Retta. Retta memutuskan untuk pindah di kos campuran, kos yang hanya berisi para
perempuan memiliki lebih banyak masalah dan yang pasti kurangnya kebebasan.
Tapi, kebebasan seperti apa lagi yang Retta butuhkan? Retta merindukan saat dia
dan Agit harus menyusun siasat buat bisa ‘minggat’. Senin, Rabu dan Jumat
malam, kadang di saat bosan mereka akan manjat gerbang untuk menikmati ladies night di sebuah club di Sengigigi. Bukan buat apa-apa
hanya untuk menjadikan insomnia mereka lebih berkualitas saja.
Kehidupan
Retta mulai membosankan, putus nyambung dengan pacar berbeda, perkuliahan yang
mulai membuatnya tak betah, info jurusannya yang mau dihapuskan lah, sampai
dosennya yang tiba-tiba ke luar negeri ngambil gelar doktornya, apalagi
komentar teman-temannya yang kebanyakan cowok yang tidak menghormati kesetaraan
gender. “Alah, kuliah tinggi-tinggi
entar juga berfungsinya di kasur, dapur sama sumur.” Sumpah Retta gerah
dengarnya, Retta berhak jadi wanita karier sukses dan Retta juga punya
kemampuan lainnya. Retta adalah penari yang hebat dan Retta yakin Retta pasti
dapat menggapai mimpinya. Setiap keinginan memerlukan kesabaran dalam proses
pencapaiannya, hanya saja sayangnya ... Retta kadang menyepelekan kekuatan
kesabaran.
Retta
pada akhirnya mengambil keputusan yang sebenarnya tidak buruk tapi juga kurang
bijaksana. Ya, Retta berkuliah di Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah, dia yang
berjurusan IPS di SMA terang saja merasa berada di tempat yang salah. Retta
juga bukan tipe orang yang antusias terhadap ilmu pengetahuan. Apa yang
memusingkannya dia coba sederhanakan menjadi sesuatu yang bisa disubstitusi
dengan hal lainnya. Tapi, ternyata dalam pendidikan itu tidak berlaku, eiiiiits
belum tentu, sekarang Retta belum menemukan pintu untuk keluar dari masalahnya.
Pintu mungkin saja tertutup tapi jangan sepelekan jendela yang terbuka lho ya.
Retta memilih cuti dan bekerja di sebuah perusahaan finance. Retta malu sama mamanya yang harus banting tulang, jadi
dia berusaha mendapatkan penghasilan untuk membiayai, minimal kehidupannya.
Cuma Retta belum bilang kalau dia cuti kuliah jadi mamanya masih saja membiayai
kehidupannya, dan menurut Retta anggap saja itu bonus. Bukankah pesan mamanya
dulu bukan “Cepat wisuda, ya nak!” tapi “Kuliah yang bener, ya nak.” Paham perbedaannya kan? Retta ‘masih kuliah bener’ sepanjang mamanya nggak tahu
kalau dia cuti dan sudah bekerja.
***
Seteluk, Pertengahan
2012
Berdiri
di atas kaki sendiri, merasakan bagaimana menjadi mandiri. Bukan hal mudah bagi
Agit yang kadang manja dan perlu didengarkan, dia selalu membutuhkan teman
bicara, walau apa yang dikatakannya bukanlah hal penting untuk didengar. Sementara
hal remeh temeh bikin dia nggak berhenti ngoceh, Agit memiliki banyak energi
ketika bicara, bahkan olok-olokan di rumahnya mengatakan bahwa Agit hanya akan
diam ketika tidur, eh tapi nggak juga sih. Agit sering kali mengigau. Agit itu
aneh, hal-hal penting justru tak pernah dia bicarakan dengan siapapun yang
dikenalnya tapi dia suka membicarakan hal yang sangat penting sampai rahasia
terdalamnya kepada orang yang tidak dikenalnya secara nyata, dia selalu
memiliki teman virtual yang dikenalnya dari media sosial atau seseorang yang
datang sebentar lalu pergi, dia nyaman mengatakan hal-hal itu kepada mereka,
karena yakin mereka akan melupakannya dan yang terpenting, Agit takkan bertemu
mereka lagi.
Seharusnya
energi bicara banyak itu disalurkan untuk sesuatu yang berarti, mungkin jadi
penyiar radio misalnya. Tapi, tempat Agit tinggal sekarang hanyalah kecamatan
kecil, nggak ada stasiun radio. Lagipula, kalaupun ada Agit tentu nggak
diterima. Pengalaman ketika cari kerja tambahan pas kuliah dulu, Agit mencoba
melamar di sebuah radio baru, merasa selera musik bagus, punya pengetahuan yang
yeah cukuplah, serta energi berbicara yang tak ada habisnya membuat Agit pikir
dia bisa mendapat pekerjaan itu. Anak-anak jurusan Bahasa Inggris di kampusnya
banyak juga yang jadi DJ di radio, padahal mah selera musik mereka menurut Agit
payah, karena masak penyiar nggak
bisa membadakan lagu Summer Night-nya Olivia Newton-John dan John Travolta sama Summer Sunshine-nya
The Corrs. Agit yang sudah over pede
dapat pekerjaan itu harus mendapat pukulan kekecewaan. “Antusiasme di musiknya
si okay, cuma suaranya mbak tuh yang
... berasa kayak dengerin suara anak manja yang kolokan, terlalu tipis suaranya.”
Mereka nggak tega bilangin Agit cempreng. Tapi, bukan Agit namanya kalau kecewa
terlalu lama.
Karena
itu kadang ketika Agit ingin berbicara tapi tak ada teman bicara maka dia mulai
menuliskannya di tembok facebook, karena kalau ngomong sama tembok beneran
bikin dia merasa gila. Sementara di facebook, minimal dia dapat tanda jempol,
itu sebelum ada tanda jempol kebalik dan juga dapat komentar-komentar yang
aneh. Hampir sebagian besar waktu Agit buat menulis apa isi otak dan hatinya,
tapi dia males chatting, lebih suka update
status, dan enggan juga memberi komentar ke teman-temannya. Di media sosial
Agit itu egois, pengen direspon statusnya tapi cuek dengan milik orang lain.
Agit
sadar bahwa dia bersifat kayak gitu gitu setelah dapat pesan dari mas-mas yang
jadi temennya gara-gara mereka sekelas pas ikut diklat prajabatan. Mas-mas itu
protes karena berandanya dipenuhi status nggak jelas dari Agit, mas itu
nyaranin, daripada bikin status sepanjang artikel koran. Kenapa nggak bikin sesuatu
yang bisa dinikmati dan dibaca? Jadilah, Agit berprinsip tak bisa dikatakan
maka akan kutuliskan. Dia membuat novel tentang remaja, bukan hasil dari
imajinasinya yang luar biasa sih tapi dari kumpulan pengalaman-pengalaman dalam hidupnya yang diceritakan dengan lebih
menyenangkan dan berakhir lebih bahagia. Itu jadi semacam terapi buat jiwanya
yang agak nggak beres. Setidaknya itu membuat perasaannya lebih baik dan siapa
yang menduga pada akhirnya penerbit nasional menawarkan untuk menerbitkan
novelnya setelah dia iseng mengikuti lomba. Agit seringkali beruntung.
***
Mataram, awal 2012
“Retta,
aku kangen .... “ Suara Agit di seberang, seandainya tadi dia tak mengangkat
teleponnya. Dia tahu Agit akan berbicara panjang lebar tanpa henti.
“Aku
baru bangun Git, telpon nanti, boleh?” jawab Retta yang masih mengantuk,
padahal itu jam lima sore. Belakangan Retta lebih banyak teler daripada
sadarnya, itu bukan keinginan Retta tapi pengaruh pacarnya memang begitu luar
biasa.
Dan
telepon di seberang mati. Agit dan Retta biasanya saling menelpon setiap hari
atau berkirim pesan disaat mereka hanya punya paket SMS gratisan. Tapi, itu
dulu-dulu sekali, hanya beberapa bulan di saat awal mereka berpisah. Retta
berpikir bahwa Agit begitu sibuk dengan ‘pekerjaan penting-sombong-mencerdaskan
–kehidupan-anak-bangsanya’ juga jadi penulis novel remaja yang ... Retta memang
membeli buku bikinan Agit, tapi buku itu menurut Retta sama sekali nggak
spesial, biasa aja. Buku itu menjadi ‘penting’ hanya karena Agit yang adalah
temannya adalah si penulisnya, selebihnya ... biasa aja. Terlalu remaja! Atau
apa karena dia telah dewasa dan Agit ... masih terjebak dengan pikiran umur belasannya!
Agit memang tidak akan pernah dewasa di mata Retta, Agit ya Agit, gadis childish yang memang begitulah adanya.
Tapi,
kalau mau jujur Retta berpikir bahwa memang susah untuk ikut menikmati
kebahagian yang diraih sahabatnya di saat dia begitu ingin lepas dari hidupnya
yang serba berantakan. Keengganan Retta berhubungan lagi dengan Agit adalah
karena Agit kini punya teman-teman baru. Retta melihat foto-foto Agit, di
pantai, hutan, pulau, gunung, tempat hang
out, dengan orang-orang baru. Ada orang-orang yang Retta kenal, tapi
kebanyakan Retta sungguh tak tahu. Bagaimana bisa kehidupan sosial Agit bisa
meluas dengan cara yang tak dipahaminya. Retta kenal Agit, sangat mengenalnya.
Tak mudah bagi Agit untuk membagi hidupnya dengan orang yang baru dikenalnya,
siapa cowok-cowok bule itu? Siapa cewek-cewek eksotis itu? Siapa mereka yang
bisa membuat Agit tertawa dan tersenyum lebar? Agit tengah berbahagia, dan di
sini Retta merasa sangat merana.
Belum
lagi Retta harus menerima bahwa hantaman ini membuatnya nyaris menyerah. Kampus
akan mengeluarkan surat DO, dia sudah harus mencari pekerjaan baru, pacarnya
yang membuat hidupnya seolah menjadikan dia sebagai semesta dari masalah, serta
rasa bersalah kepada mamanya. Bagaimana Retta harus menghadapinya? Untuk saat
ini dia merasa seakan sendiri.
Ada keinginan untuk menelpon
teman-temannya, sekedar berkeluh kesah, tapi ... Retta tahu apa yang akan
terjadi, mereka akan menyalahkannya. Sulit sekali bertoleransi apalagi berusaha
memahami masalah yang tengah dia hadapi. Sebenarnya Retta tahu solusi
masalahnya tahu bagaimana menyelesaikannya. Hanya satu masalahnya, dia tidak
ingin mengakui betapa langkah yang diambilnya adalah langkah terburuk yang
pernah dipilihnya. Retta tahu ini bodoh, mengharapkan waktu berputar seperti
sedia kala. Andai dia kuliah benar, andai dia memilih pacar yang bertanggung
jawab, andai dia tidak pernah merusak kepercayaan mamanya. Andai, betapa
menyedihkan kata itu.
***
Mataram, Akhir 2012
Retta
sungguh merindukan Agit, tapi bagaimana? Selama itu Retta nyaris menghilang.
Retta menghabiskan waktu hanya dengan pacar brondongnya, dunianya hanya sebatas
Arden, Arden, dan Arden! Apalagi belakangan Retta nggak ada pas Agit
membutuhkannya. Sesekali Retta tahu keadaan Agit ketika Retta melihat status
facebooknya. Dan masalahnya— Retta tak tahu harus menimbang yang mana untuk
dibela. Agit adalah sahabatnya dan mbak Arika adalah sepupunya. Bahkan Retta
yang memperkenalkan keduanya, Retta-lah yang menghubungkan keduanya dulu pas
dia dan Agit masih kuliah semester satu, hingga mereka memiliki hubungan
seperti saudara dan sekarang mereka bermusuhan karena ... Agit belum
memberitahu masalahnya, Retta paham Agit bukan orang yang akan menceritakan
masalah seriusnya, tapi dari pihak mbak Arika, Retta seakan diminta untuk ikut
serta membenci Agit dan siapapun yang mendengar cerita dari versinya akan
berkesimpulan bahwa Agit adalah cewek murahan yang putus asa. Retta tak ingin
percaya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar