Seteluk 23 Desember 2013
Kalau
bisa dua-duanya, ngapain harus milih salah satu. Itu prinsip yang dipegang
Retta dalam kehidupan cintanya. Walau Retta memiliki ‘dua’ namun malang bagi
Retta, bahkan cadangan ataupun pacar beneran
tak ada di sisinya saat ini. Mengapa hidup begitu sulit? Kenapa tidak semudah
... menemukan sepatu kaca dan bahagia selamanya! Kenapa harus ... meninggalkan
pacar brondongmu demi mengikuti training yang
karena kamu butuh kerja dan tak lagi dibiayai oleh orang tua, dan di sana kamu
terlibat cinta lokasi dengan rekan kerja, oh Dicki dan Bali! Retta sungguh
rindu untuk kembali. Dan Mataram, betapa
Retta begitu rindu pada brondongnya yang ... tapi kata Agit, brondong nggak punya masa depan!
Hahahaha rasanya pengen ngetawain
Agit, bukankah lelaki terakhir dalam hidupnya lebih muda dua tahun darinya? Okay fine, Arden memang lebih muda lima
tahun, tapi mereka sama-sama brondong! Aaaarght! Setidaknya Didan-nya si Agit
punya pekerjaan sementara dengan berat hati Retta harus mengakui bahwa Arden,
masih berstatus mahasiswa yang bisa dengan mudah diprediksi akan di DO
dikemudian hari. Itulah kenapa, mau tak mau Retta menerima cinta Dicky.
Lagipula, siapa sih yang mau kehilangan fans?
Retta dan Agit sama saja, kadang cinta bukan alasan utama, kadang mereka lebih
ketakutan hidup tanpa pengagum mereka.
Pernah
pada suatu malam Retta dan Agit membahas, kenapa mereka harus terjebak hubungan
asmara dengan brondong tanpa masa depan.
“Kenapa
ya, kita pacarin brondong mulu?” Retta bertanya-tanya.
“Karena
... cowok seumuran kita sudah memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia.”
Mudah bagi Agit untuk menjawab tapi sulit untuk dicerna hatinya.
“Bahagia?”
Retta
terdiam sejenak saat Agit memperlihatkan layar handphone-nya yang menunjukkan beranda facebook-nya.
Pertama;
status memuakkan khas pasangan baru nikah. ‘Ternyata
nikah itu enaknya cuma lima persen yang sembilan puluh lima persennya enaaaaak
banget.’ Kedua; status mereka dengan pengalaman ngidam mereka.
‘pengaruh ngidam, aroma ketek suami lebih wangi dari
aromatheraphy’iiiiiiiiiiiiiiiiiihhhh ... ketiga ‘foto porno’
balita memenuhi beranda. Padahal itu bahaya, anak-anak mereka bisa jadi korban
iseng penjahat dunia maya.
Sebut
Retta dan Agit sirik, tapi ... bayangkanlah jadi mereka. Usia kepengen (banget)
menikah tapi mereka masih mempertanyakan apa lelaki-lelaki yang bersama mereka
inikah jodohnya?
Agit
misalnya ... siapa sih pacar terakhirnya, yang jelas? Semuanya serba ... kalau
bukan HTS atau TTM, yeah ... palingan juga terlibat hubungan ‘KJDA—Kita Jalani
Dulu Aja’ untuk yang rada serius? Cuma obsesi cinta monyetnya yang sekarang
sedang keliling dunia, dan si Agit hanya bisa memandang foto-foto tuh cowok di
instagramnya. Uh kasihan Agit. Lagipula, waktu Agit cuma dua puluh empat jam
dan itu habis buat kerja. Secara geografis? Walau Agit selalu berdalih wajahnya
terlalu metropolitan untuk tinggal di kecamatan, dia sejujurnya mengakui bahwa
sekecamatan itu tak satupun cowok naksir padanya dan kalau naksir pastilah
cowok itu khilaf. Karena ... cowok-cowok itu adalah muridnya di sekolah dan
yang lainnya adalah bapak-bapak yang sudah menikah, payah ya?
Dan
Retta, masih dipusingkan cinta segitiga tanpa sudutnya. Retta harus puas pacaran jarak jauh dengan kedua lelaki yang
sebetulnya hanya mampir di teras hatinya ... karena sebenarnya Retta nggak tahu
siapa yang sungguh-sungguh dicintainya. Hal terpayah dari hidup Retta adalah,
Retta gampang jatuh cinta dan suka menjalani dramanya tapi soal komitmennya,
percayalah Retta bukan orang yang bisa berkomitmen.
Dan
pada akhirnya, di malam-malam sebelum tidur kedua gadis itu akan menyongsong
mimpinya dengan backsound Marry Me
dari Train dan berkhayal bahwa seorang pria tampan sejati akhirnya melamar
mereka dan senyuman manis akhirnya tersungging di bibir ibu dan mama mereka
ketika mengenakkan kebaya dan mendampingi di pelaminan.
***
“Aku
benci dikejar-kejar deadline,” sungut
Agit, semula Retta pikir kalau itu tentang tugas dari sekolah, entah soal try out mungkin atau bisa jadi raport.
Keduanya sedang menikmati senja di atas tempat tidur, bukan malas-malasan sih.
Sebenarnya, Retta baru saja pulang kerja, dan mengendarai motor dua puluhan
menit bikin punggungnya sakit. Sementara Agit bergelung di tempat tidur sambil
mencoba memahami mengapa hidup Toru Watanabe dikelilingi para pasien sakit jiwa
yang nantinya bakal bunuh diri. Haruki Murakami membuatnya kagum dan bingung di
saat yang sama.
“Tahu
dikejar deadline, masih aja baca
novel,” komentar Retta malas.
“Deadline kawin, bego!”
“Ooooh
... kawin, bukan nikah nih? Kan gampang,” nada menggoda Retta membuat Agit
kesal.
“Yeah,
nikah maksudnya!”
“Ada
yang lebih capek, ngejar-ngejar jodoh hihihi.”
“Fiuh
... apa kita terlalu wonder woman
yak, sampai belum waktunya dikirimin Tuhan, seseorang yang bisa bertanggung
jawab terhadap diri kita?”
“Atau
...?”
“Jodoh kita kehilangan peta, mengalami kerusakan GPS
atau handphone-nya nggak punya Google
Map?”
“Atau
...?”
“Apa
kita sebegitu tangguhnya?”
“Atau
...?”
“Aaaaaah
Retta!” Agit mengacak-acak rambutnya yang panjang. Dia kesal terhadap Retta
tapi terlebih lagi dia kesal terhadap dirinya sendiri. Agit bertanya-tanya,
kenapa gampang banget yak buat siswanya yang masih belasan untuk jatuh cinta,
berhubungan terlalu jauh dan menikah. Sementara dia ... masa iya harus hamil
duluan baru dinikahin? Dia mencoret ide itu dari otaknya.
“Jodoh!
Kenapa harus semisterius itu? Huhuhuhu.” Sungutan Agit lumayan mengesalkan.
“Git,
bisa nggak ...?”
“Nggak
bisa!”
“Segitu
pengennya ya?”
“Emangnya
kamu nggak?”
“Tapi
nggak gitu juga kali!”
“Retta
....” Agit mendesah dan sekarang wajahnya menunjukkan ekspresi putus asa.
Agit
menyerahkan handphone-nya dan Retta
paham alasannya. Foto adik perempuan Agit dan pacarnya sedang tersenyum lebar
di pantai dengan latar belakang matahari tenggelam.
“Adikku seakan sudah menetapkan standar calon
menantu,” Agit terlihat bingung. “Produk impor Retta! Lha, yang lokal aja aku
kesulitan!” Agit seakan kehilangan akal. Adik perempuan Agit, Marsha nyaris
setahun ini menjalin cinta dengan cowok berkebangsaan Amerika. Kedatangan pacarnya,
Mark yang terakhir sudah menunjukkan betapa seriusnya dia, Mark menjadi mualaf.
Dan Agit tak habis pikir pengorbanan semacam apa yang pernah seorang cowok
lakukan untuknya? Turun dari motor dan mengejar pashmina-nya yang terbang gara-gara dia masih amatir banget
berhijab, apa bisa masuk hitungan? Belum pernah sekalipun dia memiliki suatu
pengalaman romantis serius yang layak untuk dimasukkan ke dalam kenangan indah
kisah cintanya.
Bagaimana
mungkin Agit memiliki pengalaman romantis sementara kesalahan terbesar seorang
Agit adalah, dia sendiri tidak pernah menetapkan sebuah komitmen jelas.
Komitmen paling jelas yang dimilikinya, sudah terlalu lama dan jelas pada cowok
yang salah. Saking lamanya kisah cinta itu apabila berbau pastilah seperti
selai cokelat tengik. Tujuh tahun lalu dengan cowok posesif yang menelponnya
nyaris setiap waktu dan yang terparah, cowok itu cuma menjadikan Agit sebagai
objek obsesif horny-nya. Yah!
Akhirnya ketahuan bahwa Agit setidaknya masih memegang teguh prinsip
ketimurannya. Menurut Agit, ada tiga hal yang tak akan dipertaruhkannya dalam
kisah cinta; Tuhan, keluarga juga keperawanan.
“Terus
kita bisa apa?” Retta terdengar pasrah.
“Pikirin
Ta, pikirin ...”
“I have no idea,”
“Aaaah
Retta!” Agit merajuk, Agit boleh berusia dua puluh enam tahun tapi di mata
Retta Agit kadang bersikap seperti gadis kecil. Retta menyayangi Agit dan Agit-pun
begitu. Mereka lebih dari sepasang saudara perempuan, Retta dan Agit hanya tak
mau mengakuinya secara gamblang saja. Pengalaman empat tahun berpisah dan
menemukan pelajaran berharga di jalan yang berbeda seakan menguatkan perasaan
mereka sekarang. Mereka bukan hanya teman sekamar, mereka bukan hanya sahabat,
mereka adalah saudara sejiwa.
“Apa
harus ikut biro jodoh online ya?” ide Retta bikin Agit tidak terima.
“No way!”
“Kembali
ke mantan lama?”
“Sama
kayak ngorek-ngorek luka sampe berdarah,”
“Coba
lihat sekitarmu,”
“Nggak
ada,”
“Ya
ampun kok jadi desperate gini, yak?”
“Setidaknya
Didan masih nelpon,kan?” hibur Retta.
“Didan
punya pacar ... tapi ... boleh melanggar janji, nggak?” Agit ragu-ragu.
“Tergantung,”
jawab Retta singkat.
“Kadang
aku memasang standar moral terlalu tinggi. Menurutku melanggar janji pada diri
sendiri itu adalah pelanggaran moral yang berat.” Sangat Agit.
“Terus
saja begitu dan kebahagiaan menjauh.”
Agit
cemberut.
“Kamu
boleh kok melanggar janji sesekali, terlebih jika itu hanya untuk dirimu
sendiri. Janji apa sih Git?”
“Terima
teman dari CouchSurfing.”
Retta
tahu kenapa ini sulit bagi Agit, Agit bahkan belum pulih dari lukanya akibat
dari apa yang Arika tuduhkan. Gara-gara cowok bule bernama Devon yang tak bisa
mengambil sikap itu.
“Aku
cuma pengen liburan Ta....” Rajukan manja Agit mengganggu perasaannya.
“Ada
cowok, bukan bule, anak Jakarta. Dia mau ke Pulau Kenawa.” Agit bicara
terpatah-patah. “Aku udah empat tahun di sini tapi belum pernah ke sana padahal
jaraknya deket banget, ke Tano lima
belas menitan, nyebrang ke pulaunya
nggak sampe dua puluh menit juga.” Agit terdiam sejenak, seolah apa yang ingin
dikatakannya terdengar begitu sulit. “Kamu tahu kan, betapa aku ingin liburan
... Marsha dan Mark akan mengunjungi Lombok, Bali dan Pulau Komodo, betapa
beruntungnya dia. Sementara aku ... masa ke situ doang nggak bisa.” Ampun deh
Agit, menurut Retta dia tak harus bersikap seolah dia butuh persetujuan
darinya.
“Pergi
aja,”
“Tapi
Ta ...”
“Nggak pake tapi!”
“Lho,
kok kamu jadi galak?”
“Nggak
Git, maksudku ...”
“Terus
kalo temen CS-ku itu mau nginap di sini boleh?”
“Ya
tidur bertiga lah kita.”
“Retttttttttttaaaaa...”
“Kita
bisa numpang di kamar sebelah lah.”
“Serius,
kamu nggak papa?”
“Apa
yang nggak buat kamu Git?”
“Pacarmu!”
Dan
seperti biasa akhir obrolan mereka akan menjadi derai tawa.
***
Seteluk 25 Desember 2013
Retta
benci melihat kegelisahan Agit yang mondar mandir sambil mengecek jam di handphone-nya. Agit sudah siap sedari
tadi. Sekitar jam sepuluh tadi Agit nyaris mengalami shock traumatic, handphone-nya
baru dinyalakan dan cowok dari CS yang bernama Gama menelponnya mengatakan dia
baru dapat sewa motor dan baru akan jalan. Agit cemas, kalau si Gama
tahu-tahunya sudah ada di dermaga ke Kenawa sementara dia baru saja terbangun
dari tidurnya. Semalam Agit begadang menyelesaikan raport siswanya buat sabtu
nanti. Untunglah si Gama masih di perjalanan.
“Tha,
terus si Gama pasti mikir yak? Cewek apaan yang bangun siang?” tanya Agit
panik.
“Cewek
kayak kamu!” Jawab Retta sambil sibuk membereskan kamar mereka yang seperti
kapal pecah. Sumpah mereka untuk tak membereskan kamar sampai di tahun 2014
akhirnya terpatahkan.
“Terus,
ntar dibilang masa jilbaban tapi nggak sholat subuh?”
“Emang
dia bakal nanya, kalau nanya tinggal bilang aja lagi mens.”
“Iiiiiiiih
Retta.”
Agit
mondar mandir lagi, dan setiap handphone-nya
berbunyi dia seperti mendapat serangan panik.
Semoga
cuaca cerah. Itu doa Agit, seminggu ini Seteluk hujan terus dan mereka cukup
panik soal ancaman banjir. Tapi hari ini sempurna, langit berwarna biru dan ada
beberapa gumpalan awan putih yang kelihatan nyaman untuk ditiduri.
Jam
menunjukkan hampir pukul dua siang dan
SMS dari Gama yang mengatakan bahwa ferry-nya
akan berlabuh membuat Agit memaksa Retta untuk buru-buru mengantarnya menuju
dermaga. Agit mengajak Retta untuk ikut serta, tapi yeah namanya juga Retta
walau punya badan gede Retta itu sangat takut dengan laut. Dulu, ketika mereka
tinggal di Lombok, Agit yang selalu ‘membonceng’Retta kalau main kano di
Senggigi. Jadi nanti Retta hanya mengantar Agit dan balik menjemputnya nanti.
Mereka belum tahu apa Gama mau mampir di kos apa tidak.
***
Perkampungan Nelayan Poto Tano 25 Desember 2013
Retta
tahu sejak awal, saat mendengar Agit berkata. “Gama ya?” pada cowok berjaket abu-orange dan mengendari motor matic di seberang jalan di bawah
gerbang yang bertuliskan Selamat Datang di Kawasan Wisata Bahari Pulau Kenawa—
Retta sudah menduga itu adalah cinta pada pandangan pertama. Bukan dia tapi
Agit. Gama yang berkacamata dan berwajah ala cowok cupu di jaman mereka SMA
adalah tipe cowok favorite Agit. Tipe favorite yang belum pernah Agit pacari.
Karena Agit seringkali terlibat hubungan pacaran dengan cowok-cowok keren yang
sayangnya brengsek. Saking sukanya Agit dengan lelaki tipe nerd itu, Agit pernah membuat tokoh bernama Megale Idea di dalam novelnya.
Dan si Gama, menurut Retta seperti gambaran sempurna bagi sosok Idea di dunia
nyata.
Retta
melihat binar mata Agit yang tiba-tiba saja menyala dengan indah saat melihat
Agit dengan ramahnya mengulurkan tangan dan menjabat tangan Gama. Agit dengan langkah
ringannya berjalan menuju dermaga ke tempat beberapa nelayan dan mulai menawar
harga untuk menyewa perahunya. Agit dengan celotehan dan senyuman yang
berkembang dengan manisnya saat mulai bicara. Agit, betapa Retta bersyukur
telah melihatnya tak lagi dibayangi awan kelabu yang membuatnya tak bergairah.
Agit
memaksa Retta untuk ikut dengan mereka, tapi Retta terlalu takut, lagipula
adalah ide bagus jika Agit bisa menghabiskan waktu dengan seorang cowok. Anggap
saja itu seperti liburan romantis. Kasihan Agit juga sih, terakhir kali Agit
menghabiskan waktu dengan cowok adalah beberapa bulan lalu, di liburan Idul
Adha dengan Didan yang kurang ajarnya ternyata punya pacar.
***
Lautan dekat Pulau Kenawa 25 Desember 2013
Kali
terakhir berperahu, Agit bersama orang-orang yang kini tak lagi akan pernah
bersamanya. Agit merasa harus membuang jauh-jauh perasaan yang bisa membuat
pedih hatinya. Lagipula, entah lautan menujukkan keajaibannya atau ada kekuatan
misterius lainnya yang membuat hatinya diliputi kebahagiaan dan suka cita. Saat
ini Agit hanya ingin tersenyum dan entah kenapa matanya tak ingin meninggalkan
sosok Gama yang memotret lautan dan panorama di kejauhan. Agit bahkan merekam
dengan otaknya setiap gerakan dan ekspresi Gama bahkan yang terhalus sekalipun.
Agit
memeluk dinding perahu dan tangannya mencoba menyentuh lautan, itu seperti
semacam penghormatan bagi Agit untuk sang alam. Agit selalu mengagumi keindahan
alam dan harapan ‘sok idealisnya’ adalah ingin hidup berdampingan dengan
harmonis bersamanya. Agit berusaha mengurangi pemakaian kertas dan plastik,
juga mengantongi sampahnya kemana-mana daripada harus membuangnya sembarangan.
Agit juga selalu berjalan kaki ke lokasi yang masih bisa dijangkaunya. Ke
sekolah tempatnya mengajar, setiap hari Agit berjalan kaki, itu salah satu
waktu terbaik untuk berkomunikasi dengan dirinya juga untuk menjaga alamnya,
serta menikmati pemandangan sawah dan kebun di sepanjang perjalannya.
Sebenarnya, jalan kaki juga baik untuk konsentrasi, tapi buat beberapa orang apa
yang Agit lakukan malah dianggap mereka sangatlah aneh dan menyusahkan diri
sendiri, padahal Agit senang karena setiap kali menghabiskan waktu begitu dekat
dengan alam dia selalu merasakan efek yang membahagiakan jiwanya.
Agit
bersyukur untuk hari ini, untuk lautan luas yang indah dan cakrawala yang
mendamaikan jiwanya. Agit berharap semesta mau memberikan keajaibannya, membuat
pengalamannya hari ini menjadi sebuah kisah bisa menjadi kenangannya yang
sempurna.
***
Pulau Kenawa, 25 Desember 2013
Rasanya
seperti mimpi yang menjadi nyata, memiliki pulaumu sendiri. Dulu, salah satu
pikiran konyol yang sempat mampir dalam benak Agit adalah memiliki pulau
pribadi. Ternyata inilah keajaibannya. Kita akan mendapatkan apa yang kita
inginkan dengan cara tak terduga, untuk hari ini Agit merasa Gama seperti
Sinterklaas yang sering dilihatnya di film kartun anak-anak di setiap Natal,
Gama membantu mewujudkan salah satu mimpi terbesarnya.
Agit tak sabar ingin melompat ke perahu dan
menjejakkan kakinya di pasir yang basah, membenamkan kakinya yang kini
bersandal jepit. Butiran halus pasir menggelitik kulitnya, segarnya air laut
seolah melepas ketegangan kakinya ketika sang ombak seolah datang untuk
menyambutnya. Agit rasanya ingin tertawa keras dan ingin bertindak gila karena
Agit sangatlah bahagia.
Agit
mengedarkan pandangan ke seluruh pulau yang luasnya tak lebih dari tiga belas
hektar itu. Matanya langsung tertuju pada bukit mungil, dia harus mendaki. Dia
ingin melihat keseluruhan pulau Kenawa dari atas sana. Pulau itu indah, Agit
melihat warna hijau yang paling hijau di padang ilalang yang seperti hiasan
bulu-bulu cantik dari nirwana. Dan warna biru dalam banyak gradasi pada laut
dan langitnya. Di sana ada sebuah pondok mungil juga beberapa berugak[1]
cantik di sepanjang pantainya.
Pemandangan
di seluruh pulau itu seolah ingin menyenangkan Agit dan di sana seakan ada
gelembung tak nampak yang menyelubungi Agit. Agit seolah berada di dunia yang
dimilikinya sendiri dan pancaran kebahagiaan seakan bisa dia pancarkan ke seluruh
semesta. Agit baru tersadar ketika Gama menyapanya.
“Git?”
Rupanya
sedari tadi Gama tak tega harus membuyarkan kebahagiaan Agit.
“Hah?”
“Boleh
minta difoto?”
Agit
lama bisa mencerna kata-kata Gama, dan sekarang Agit serasa seperti menjadi
penderita Stendhal Syndrome[2],
semesta adalah karya seni yang luar biasa. Tiba-tiba saja dia merasa pusing dan
sedikit mual juga keringat dingin mulai menjalarinya. Apalagi saat pandangan
matanya bertemu Gama. Agit bahkan tak mencopot kacamatanya. Agit dengan wajah
mungilnya sedikit tidak pede berkacamata dan seringkali meletakkan kacamata
minusnya di kepala atau menggantungnya di kerah baju. Tapi, Agit tetap
memakainya bukan karena ingin menjadi
sama seperti Gama, tapi Agit hanya ingin menyamarkan binar matanya. Agit tak
sadar bahwa saat ini endorfin mulai merendam sebagian otaknya.
Gama
menyerahkan kameranya pada Agit dan dia mulai meotret Gama dengan latar
belakang indahnya panorama milik pulau Kenawa.
“Kamu
mau difotoin nggak?”
“Hah?”
“Mau
difoto, nggak?”
“Eh
iya mau.”
Sayang,
Agit seolah kehilangan separuh otaknya. Dia bahkan lupa bagaimana harus
berekpresi di depan kamera.
Ada
yang salah atau mungkin ini adalah hal yang paling benar yang terjadi pada diri
Agit.
“Gama,
daki bukit yuk!” Ajak Agit, semangat Agit membuatnya kuat. Memang bukit itu tak
seberapa tinggi tapi tetap saja perlu energi.
“Yuk,”
Agit
mendahului Gama. Kala mendaki tak sedikitpun Agit mengeluh, tidak ada lelah
hanya bahagia yang seakan bertahan selamanya. Selain itu ada perasaan lain yang
terasa menghangatkan hati Agit, damai. Sedamai kala angin membelai wajahnya,
dan dia berbaring membiarkan rerumputan menjadi alas tubuhnya. Menikmati laut
di kejauhan, langit, nyanyian alam, bahkan suara nafas Gama yang kelelahan
sekarang terdengar seperti nyanyian.
“Capek?”
tanya Agit. Gama mengangguk.
Lama
mereka saling diam dan tak tahu siapa yang memulainya mereka mulai bicara dan
sangat khas perempuan Agitlah yang mendominasi pembicaraan dan Agit bersyukur
Gama adalah pendengar yang baik, Gama bahkan tak menunjukkan ekspresi bosan
saat Agit mulai mengoceh tanpa henti. Belum pernah Agit bicara sebanyak itu dan
senyaman itu dengan seseorang yang baru dikenalnya. Dia memang kadang berbicara
banyak tapi lewat perantara, dunia maya misalnya.
“Jadi
sejauh ini, siapa kenalan dari CS favoritemu?” tanya Gama.
“Kamu,”
Itu benar “karena kamu yang komunikasinya paling mudah dimengerti, karena kamu
orang Indonesia yang pertama. Selain itu ... kamu mau mendengarkan aku.”
Mereka
membicarakan banyak hal, kecuali satu hal kehidupan asmara.
Satu
bagian dari obrolan yang disesali oleh Agit, saat Gama bertanya.
“Kamu
nggak sholat?”
“Lagi
nggak sholat,” Agit khawatir kalau Gama pikir dia bohong.
“Aku
mau sholat, tapi wudhu-nya dimana yak?”
“Tuhan
kan Maha Asyik, ada toleransi lho buat musafir.” Agit tak menyangka bahwa
jawaban itu memiliki nilai rasa yang membuatnya terlihat bodoh.
“Buat
sholat nggak.” Tapi, di saat yang sama Agit tahu satu hal. Gama adalah pria
langka itu, pria langka yang selalu dia minta di dalam doa.
***
Lautan-Perjalanan Pulang 25 Desember Menjelang Senja
Kepanikan
melanda Gama, apalagi angin bertiup kencang dan cuaca mulai tak bersahabat, dia
melihat hujan di kejauhan.
“Turun
yuk!” Agit bangkit lebih dulu, mereka segera menuruni bukit, masih dengan
semangatnya yang seperti takkan pernah padam.
“Ya,
kamu harus sholat.” Kata Agit.
“Tadi
harusnya bilang sama si bapak Nelayan supaya dijemputnya sebelum jam setengah
enam.” Jamnya sudah hampir mendekati setengah enam, tapi dia belum melihat
dikejauhan. “Khawatir nggak, kalau kita nggak dijemput?”
Agit
menggeleng, dia malah tak ingin meninggalkan pulau ini.
Lewat
dari setengah enam, Gama bahkan sudah selesai sholat dan memotret banyak foto
dan Agit bahkan sudah berjalan di sepanjang pantai tapi tak nampak tanda-tanda
si bapak Nelayan. Gama menghampiri Agit yang duduk dan membaca buku di Berugak.
“Kayaknya
banyak nelayan yang cari ikan di sekitar sini, gimana kalau kita sewa perahu
mereka ...”
“Yaps,
nanti kita cari rumah bapak nelayan yang tadi.” Agit menyelesaikan kalimat Gama
yang kini mengangguk dan mulai menghilangkan ekspresi khawatir di wajahnya.
Dan, thanks God si bapak Nelayan
menepati janjinya, dia datang walau tak tepat waktu. Cuma dia bawa kabar buruk,
hujan lebat. Harusnya Agit khawatir, tapi dia malah dengan cepat melompat ke
dalam perahu. Mengeluarkan jaketnya karena udara sekarang memang lebih dingin.
Benar
saja di tengah perjalanan pandangan mereka bahkan tak bisa melihat dalam jarak
yang cukup jauh. Hujannya sangat lebat dan angin kencangnya luar biasa. Agit
diserang ketakutan seketika, dia teringat sebaris kalimat yang pernah dia
tuliskan untuk sebuah kisah fiksinya ‘Aku
membayangkan takdir menjebak kita dalam sekoci di tengah lautan. Kita tak
memiliki siapapun kecuali satu sama lain. Lalu kita akan saling bercerita,
hingga kusadari aku membunuhmu dengan kebosanan. Kisah yang sama yang selalu
kuulang. Kuharap kita segera bertemu dengan daratan dan kutebus dosaku dengan
kisah yang akan kutuliskan tentang kita yang bertahan di tengah lautan.’Suasananya
memang tak terlalu sama seperti yang tengah terjadi tapi dalam diri Agit, dia
berjanji akan menuliskan kisah ini.
Tak
lama bapak nelayan menyodorkan jas hujan berwarna biru dan hijau. Itu milik
Gama, tapi dia membiarkan Agit memakainya.
***
Sepanjang perjalanan Poto Tano Seteluk, Menjelang Senja
25 Desember 2013
Mereka
sampai di daratan, hujan reda tapi awan mendung masih membayangi. Agit menatap
ke arah matahari tenggelam, hanya ada sedikit semburat jingga. Agit menenangkan
hatinya, suatu hari tidak boleh terlalu sempurna.
“Kamu
mau balik ke Lombok? Capek tauk!”
“Tapi
motornya cuma disewa buat sehari,” Gama memutar akal.
Agit
tahu jadi dia menawari. “Kamu mau ikut ke kosanku nggak?”
Mendengar
kata kos-kosan Gama berpikir itu kamar sempit dan Agit bahkan berbagi dengan
teman kamarnya.
“Hmmmm...”
“Aku
sama Retta santai, kok. Kita bisa minggat ke kamar tentangga.” Lama Gama
menimbang sebelum akhirnya bilang.
“Hmmm....
boleh deh.”
Mereka
memutuskan untuk pulang menuju ke kosan. Agit duduk di boncengan sambil
berpegangan pada ransel Gama dan bertanya-tanya. Bagaimana cara Tuhan bekerja
hingga satu manusia bisa bertemu dengan manusia lainnya. Sepanjang perjalanan
Gama bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang gadis bertahan tinggal di tempat
sesepi itu, bertahan nyaris tiga tahun tanpa teman sebenarnya, dan juga dengan
rutinitas yang menjadikan dia tak berbeda dari robot dan berjiwa.
Kepala
Agit berputar berpikir, memikirkan tentang jika saja dia tinggal di kota
seperti Jakarta misalnya, maka otak romantisnya berencana tentang, saat liburan
tiba, dia akan mengepak buku dan tiket ke dalam ranselnya dan melangkah menuju
pada alam, yang jauh di pedalaman, tempatnya nyaris tak ditemukan. Dia akan
mengajak seseorang yang sangat dicintainya. Dia bahkan telah memikirkan kalimat
bujukannya untuk orang yang di dalam kepalanya entah kenapa berwajah seperti
Gama. “Kita harus menjauh dari
kebisingan, hiruk pikuk masyarakat yang tak masuk akal, masalah yang membuat
gila serta rutinitas yang membunuh dengan perlahan. Aku ingin hanya ada kita-dan
semesta merestui cinta kita dengan cara yang sederhana. Alam akan membuat kita
paham dan membuat kita memiliki keyakinan; bahwa dengannya kita memiliki
kehidupan yang paling kita butuhkan.”
***
Seteluk, 25 Desember 2013 Malam hari.
Retta
berada di antara Agit dan Gama, dan berharap menghilang saja. Dia ingin Agit
memiliki waktu yang tepat dengan orang yang tepat. Itu saja.
Agit
merasa bahwa dia harus berterima kasih, semesta seolah membiarkannya merasakan
suka cita hari ini.
Gama.
Agit suka nama itu. Tiba-tiba saja dia teringat ketika Devon mengartikan
namanya dalam bahasa Jerman Swiss. Sekarang, dia ingin mengatakan pada Gama
bahwa namanya memiliki arti dalam bahasa Sumbawa. Gama adalah semoga, berarti
harapan, wujud rendah hati ketika memohon, kesabaran serta kebijakan. Agit
merasa Gama memiliki semua itu dalam dirinya.
“Gama,
kamu tahu ... nama kamu berarti semoga dalam bahasa Sumbawa.”
“Oh
ya?” Agit tak bisa membaca ekspresi Gama. Agit tak mengerti, kenapa dia sampai
kehilangan kemampuan bahkan untuk sekedar mengetahui apa yang mungkin hati
seseorang lukiskan dari wajahnya. Satu kata tentang Gama yang bisa Agit baca;
indah.
***
Sumbawa Besar, Minggu 28 Desember 2013
Let’s get lost!
Seperti apa yang tertulis di profile
picture Gama yang berlatar belakang panorama senja di lautan. Hari ini Gama
dan Agit entah sengaja atau tidak tapi mereka tersesat. Awalnya mereka hanya
berniat pergi mencari madu, susu kuda liar dan beberapa oleh-oleh khas Sumbawa.
Sore nanti Gama harus kembali ke Mataram, besok dia harus terbang ke Jakarta.
Liburan berakhir dan Gama tak mungkin tinggal, sementara tanpa Gama tahu. Agit
baru saja mulai untuk mengakui bahwa hatinya memiliki perasaan yang untuk kali
ini tak mungkin disangkalnya. Apa artinya cinta?Dia bahkan tak tahu siapa
lelaki yang membuatnya jatuh cinta ini, tapi tetap saja dia membiarkan hatinya
dimiliki, walau dia tak tahu apa lelaki ini bisa mengerti.
***
Pelabuhan Kahyangan 31 Desember 2013, 21:30
Bukan
sekali dua kali Arden membiarkannya menunggu. Retta mengambil izin kerja di
saat dia tak boleh izin, tapi rekannya kak Han dan kak Deni memberikannya jalan
untuk menyelamatkan kisah cintanya.
“Brondong
nggak punya masa depan,” itu yang Agit katakan. “Apa kita menerima begitu saja
cinta kita anggap layak untuk kita miliki?” Retta hampir menyerah tapi jika
satu jam lagi Arden tak datang maka
Retta tak bisa menunggu.
***
Seteluk 4 Januari 2014
Kembali
dari liburan Agit dan Retta sama-sama nelangsa, mereka bahkan sama-sama saling
mengklaim bahwa cuaca buruk membuat mereka meringkuk terus dan berdiam diri di
tempat tidur sepanjang hari. Tapi, mereka tahu mereka harus bangkit.
“Apa
yang paling menyedihkan dari patah hati?” Agit tiba-tiba bertanya, mereka sedang
berbaring saling bersisian. Ini adalah kata-kata terpanjang Agit sejak kembali
ke kosan, selebihnya dia hanya mengatakan “iya”, “tidak”, atau “oh”.
“Bokek
kali,” Retta tak tahu harus menjawab apa.
“Jatuh
cinta pada orang yang salah di saat yang salah. Aku nggak tahu ini benar apa
salah, tapi aku sekarang percaya dongeng jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Ini bukan Agit yang lebih sering memendam perasaan, setidaknya Agit mengetahui
bahwa ada sesuatu yang tengah terjadi dan dia punya hati.
“Gama?”
Retta menghela nafas.
“Padahal
kemarin ketemu Didan, kabar buruknya. Bahkan saat Didan di depan mata. Aku
seolah nggak melihatnya.” Suara Agit terdengar lemah.
“Karena
bukan dia yang ingin kamu lihat. Perjuangkan hatimu, Git!”
“Tapi....”
“Kamu
tahu kamu takkan memilikinya kan? Kamu nggak kehilangan apa-apa, seenggaknya kamu
lega.”
“Gimana
Arden?” tanya Retta.
“Aku
harus menerima kalau dia takkan berubah.” Retta berguling dan membelakangi
Agit. Artinya dia tak ingin membahas apapun lagi. Agit bangkit dan membuka
netbooknya, dia menulis pesan untuk Gama. Tapi baru berani mengirimnya
berhari-hari kemudian.
1/10, 2:45am
Hai Gama,
Saya pada akhirnya memilih untuk menulis ini karena
saya sudah sangat kebingungan, saya menulis ini dengan mengumpulkan semua
keberanian yang saya punya. Walaupun saya nggak berani menebak-nebak respon
kamu nantinya tapi yang jelas saya harus mengatakan apa yang harus saya
katakan, saya nggak mau menyesal karena nanti mungkin tidak ada kesempatan.
Sebut saya bego, konyol atau apapun. Saya malu, bahkan pada diri saya sendiri,
okay kita ketemu di waktu yang sangat singkat dan kesannya ini drama banget.
Saya sendiri malah berharap bisa menertawakan kejadian ini. Saya bahkan nggak
kenal kamu, kita hanya kenal begitu aja. Entah ini baik atau buruk, otak saya
nggak bisa berhenti memikirkan kamu, perasaan saya cemas dan gelisah nyaris
sepanjang waktu dan ini menyiksa saya. Konsentrasi saya hilang dan saya
kebingungan, jelas sekali ini bukan kesalahan kamu. Akhir-akhir ini saya nggak
bisa mengerjakan apapun dengan benar dan ini nggak bagus untuk hidup saya. Saya
harap ini Cuma gara-gara terbawa suasana saja dan saya sudah berusaha untuk
berpikir realistis. Sahabat saya menyarankan supaya saya memberitahu kamu,
walau saya nggak tahu apa ini keputusan yang bijak. Saya ingin kembali merasa
lega, saya ingin kembali seperti sebelumnya tapi saya nggak tahu harus
bagaimana. Ini terasa seperti bukan saya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya,
saya merasa bodoh dan malu, tapi lebih dari segalanya saya butuh perasaan lega.
Perasaan kayak gini membingungkan sekali tapi saya tidak menyesali dan
ikhlas—sebenarnya ada banyak bagian indah dan menyenangkannya. Saya tidak
sedang berusaha untuk menambah beban pikiran kamu, semoga kamu nggak berburuk
sangka ya. Saya tidak menaruh harapan tapi mungkin kamu bisa terima pesan ini
sebagai curhatan teman atau pujian. Kamu orang yang baik dan berani, saya harap
kamu baik-baik di sana. Semoga kamu berhasil dengan tujuanmu.
-Brigitta-
Agit
menunggu dan terus menunggu tapi di sana, hanya ada tanda centang mungil yang
menunjukkan bahwa pada Jumat pukul 6: 28 pesan itu telah terbaca.
***
Mereka
pernah bertanya-tanya tentang banyak hal yang harus mereka korbankan untuk
mengubah diri mereka dari gadis remaja menjadi wanita dewasa. Mereka tak
menemukan jawabannya, mereka menjalaninya. Mereka pernah bertanya mengapa
mereka harus bertahan dalam kebingungan, mereka tahu mereka tak dibiarkan menyerah
dan bersabar untuk menemukan jawaban. Mereka pernah bertanya mengapa ada yang
datang lalu pergi begitu saja tanpa boleh dimiliki, selalu ada alasan di sana dan
mereka percaya bahwa pertemuan itu tidaklah sia-sia.
Retta
mendapatkan apa yang dipertanyakan. Bahwa kekuatan terbesar seorang perempuan
adalah bertahan, bertahan walau kadang menyakitkan bertahan walau kadang kamu
harus menukarnya dengan kepahitan. Agit mengetahui apa yang harus dia ketahui
bahwa pada akhirnya dia harus jujur. Dia terlalu lama mengabaikan tuntutan
hatinya untuk merasakan cinta.
Mengakui
perasaan itu kadang tak mengubah akhir kisahnya, malah mungkin merusak
keadaannya. Tapi, setiap rasa memang harus diungkapkan. Bukan masalah berhasil
atau tidaknya menjadi sebuah hubungan. Tapi, itu untuk membuktikan bahwa setiap
orang boleh jatuh cinta dan juga berhak untuk dicintai. Berapa banyak
penderitaan dari cinta yang tak pernah diungkapkan? Berapa banyak kesedihan
dari sayang yang tak pernah dikatakan? Berapa banyak penyesalan dari kepedulian
yang tak pernah ditunjukan? Mereka hanya terjebak dalam budaya yang tak
membiasakan cinta harus diekspresikan. Setidaknya sekarang mereka percaya dunia
akan lebih indah jika manusia menyadari bahwa mereka berhak memiliki seseorang untuk disayangi dan
seharusnya orang yang disayangi memahami bahwa mereka begitu berarti.
Tidak
semua kisah cinta berakhir indah tapi saudara sejiwa selalu untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar