Mataram, akhir 2012- pertengahan 2013
Retta
tak mengerti, mengapa rasa bersalah seolah menjadi penghuni tetap di setiap sudut
hatinya. Dia juga sedang berada di Sumbawa Besar kala itu, dia pulang dan
ketika Agit memintanya untuk bisa bertemu, mereka setidaknya bisa melepas
kangen. Sayang, dia bahkan mengacuhkannya. Dan, sekarang pesan singkat Agit
seolah memukulnya tepat di hati.
Seandainya
waktu itu, aku hang outx sama km aja. Aku ga perlu ikutan ke P. Moyo ma Marsha&
tmn2x. Ga perlu jd tengkar gini sama mb’Arika :’(
Cuma
itu yang Retta dapatkan dari Agit, selebihnya Retta melihat sendiri bagaimana
nama Agit ditulis dengan huruf kapital di Facebook Arika dengan kata-kata yang
pastinya takkan ditulis oleh orang yang bermoral dan berotak normal. Arika bisa
menjadi sangat jahat jika dia mau. Seberapapun kebaikan orang lain takkan lagi
bisa diingatnya. Retta tahu beberapa kali Arika minggat ke rumah Agit dulu,
pernah juga Arika seminggu penuh ‘mengamankan diri’ dari amukan keluarganya di
kosan Agit. Retta tahu siapa Agit dan Arika dan dengan jelas bisa menentukan
mana yang antagonis dan protagonis.
Selain
itu Retta tahu betapa Marsha dan Agit tak pernah sejalan. Sebenarnya
menghabiskan waktu bersama Marsha adalah cobaan besar bagi Agit— mereka
bersaudara tapi satu-satunya yang membakar gairah diantara mereka berdua adalah
persaingan, sibling rivalry diantara
mereka sangatlah kuat. Sementara mau tak mau harus Retta harus mengakui bahwa
hubungan antara dirinya dan Agit persis seperti pepatah dalam bahasa Sumbawa ‘Mana si tau sebarang kayu. Lamen toq
senyaman ate. Ba nan si sanak parana.’ Yang berarti ‘Walau siapapun itu,
orang sembarangan sekalipun. Kalau mampu membahagiakan dirimu. Sesungguhnya
dialah saudaramu.’ Retta tak memiliki saudara perempuan dan Retta tahu dimana
menemukan Agit ketika Retta membutuhkannya. Namun, dimana dia sekarang ketika
Agit begitu membutuhkannya?
Retta
ingin berada di sana, tapi apa daya Retta harus menyelesaikan sendiri
masalahnya. Retta ingin seperti Agit menyimpan beban untuk ditanggungnya
sendiri, bukankah memang lebih baik untuk berpura-pura bahagia daripada harus
menceritakan pada dunia betapa kamu menderita. Retta tak bisa apa-apa sekarang
ini, ada yang harus Retta selesaikan, ini menyangkut hidupnya dan masa
depannya. Retta tak ingin menceritakan, karena menurutnya apa yang dihadapinya
terlalu kelam untuk menjadi kenyataan.
Kehidupannya
di tahun ini tak terlalu buruk, masih ada beberapa hal yang disyukurinya, dia
akan mendapat pekerjaan baru. Dan juga Singapore-Malaysia menunggunya, dia akan
menjadi duta budaya, dia akan menari di sana ikut serta dalam program
pemerintah memperkenalkan kekayaan tanah kelahirannya dalam visit
Lombok-Sumbawa. Ketika mendapat kabar bahagia itu, Retta merasa sangat beruntung
tapi tak lama berubah menjadi nelangsa karena yang dia tahu ada hal yang lebih
menyedihkan dibanding tak memiliki siapapun di saat kamu terpuruk, yaitu;
ketika kamu begitu bahagia tapi tak ada sahabat perempuanmu yang akan ikut
berbahagia bersamamu.
***
Seteluk, akhir 2012- pertengahan 2013
Seperti
roda yang berputar lagi, episode kesepian dalam hidup Agit seolah terulang
lagi. Dulu, tanpa Retta dia masih memiliki Arika, tapi Arika memusuhinya
sekarang, karena cemburu buta. Lagipula, tak seluruhnya kesalahan Arika semata.
Agit juga memiliki kesalahan yang sama besarnya.
Dia
mengacuhkan Arika, menolak teleponnya, mengabaikan SMS-nya, bahkan permintaan
maafnya. Agit hanya tak percaya lagi pada Arika. Agit terlampau kecewa, hingga
pilihan bijak menurut Agit adalah mengabaikan dan menganggap Arika tak pernah
ada dalam hidupnya. Sebuah SMS di pagi hari lebih setahun silam yang mengatakan
bahwa Arika terlibat one night stand dengan Devon membuatnya terluka. Terluka,
karena ia telah memberikan kepercayaan yang besar pada Arika. Beberapa bulan
sebelum ‘tragedi’ Agit memberikan ‘suaka’ kepada Arika, saat itu Arika berjanji
untuk mengubah hidupnya lebih baik. Arika melanggar janjinya! Itu yang
memberatkan Agit. Seandainya itu hanya menyangkut Arika, tapi tidak. Itu juga
menyangkut Lovita, putri kecil milik Arika. Arika meninggalkan si kecil demi
menyusul Devon ke Bali dan kembali lagi seperti Arika sebelumnya— si gadis
manipulatif biang masalah.
Dengan
kepalanya yang masih panas. Arika berkesimpulan bahwa apa yang terjadi dengan
Agit, dikarenakan kecemburuan Agit padanya. Agit juga jatuh cinta kepada Devon,
seperti dirinya. Namun, Agit tak membuka kesempatan bagi dirinya untuk
menjelaskan kebenarannya, Agit membiarkan segalanya menjadi kesalahpahaman.
Tidak jelas siapa yang diuntungkan atau dirugikan. Dan, mungkin memang
seharusnya segala emosi, entah baik atau buruk harus dikatakan. Karena jika
tidak, banyak cara menjadikannya sebagai kesedihan. Mengatakan apa yang hati
rasakan memang tak pernah semudah membalikkan telapak tangan.
***
Seteluk, akhir 2012- pertengahan 2013
Agit
masih menyimpan screen shoot dari
pesan yang dikirim Devon padanya, sekarang sudah setahun lebih. Pengalaman itu
sungguh traumatis buat Agit. Menukar persahabatan dengan permusuhan karena seorang
pria? Agit tak bisa membayangkan, memang dulu, di jaman sekolah Agit pernah
memiliki seperti ini, mantan pacarnya pacaran dengan temannya. Tapi, itu biasa
saja, karena toh itu mantan. Sementara Agit dan Arika bagai saudara dan ini
terjadi di saat usia mereka tak lagi muda, seharusnya mereka lebih dewasa. Peristiwa
seperti ini seharusnya tak boleh terjadi. Agit ingat jelas isi pesan Devon yang
terkirim di facebooknya.
12/3,
3:57am
Hey
Brigitta, how’re you doing?
I talked to
Arika yesterday and she told me that you’ve broken off contact with her. I am
very sad about that. I would feel very sorry if my visit in Sumbawa would
destroy the old friendship between you and Arika. Until now I was not aware
that my visit had such an impact on you. I am sorry about any grief I may have
caused. But I think all experiences are worthwhile. A crisis is always an
opportunity to learn and grow and become wiser than before.
I know that
you have a good heart. So if you acted unjustly towards Arika it must have been
from desperation and not from malice. So I beg you let’s talk about this things
and find reconciliation!
best wishes
Devon
Agit ingin percaya jika apa
yang terjadi antara Arika dan Devon adalah reaksi kimia karena cinta. Walau
cinta menurut Arika tak mungkin begitu adanya. Terjadi begitu, cepat, singkat
dan sangat panas. Agit hanya menyangsikan, bahwa cinta bisa begitu membutakan,
bisa membuat banyak kesalahan terjadi dengan mudahnya. Agit ingin tahu apakah
cinta bisa seperti itu. Agit memang pernah jatuh cinta dan tak hanya sekali.
Namun, reaksi cinta dalam diri Agit seperti mesin diesel, terlalu lama ‘panasnya’. Agit harus bersahabat dulu,
bersama untuk beberapa waktu dan baru memutuskan apakah hatinya sudah
diperbolehkan untuk berlabuh. Dalam cinta, Agit masih membiarkan polos dan
sifar naifnya berlaku. Suatu hari nanti, Agit ingin tahu apakah cinta bisa
terjadi seinstan dan segampang itu, agar Agit bisa memahami. Mengapa Arika
mampu menukarnya dengan rasa benci.
Part 4
Denpasar,
September-Oktober 2013
Retta merasakannya,
kekosongan di dalam dirinya seperti lubang yang menganga, yang siap menelannya
mentah-mentah. Dia berpikir bahwa hidup seharusnya tak mungkin bisa terasa
begitu hampa.
Lelah, ketika dia berpikir
dia sudah berusaha namun hasilnya sia-sia. Terlalu banyak tenaga yang
menghilang begitu saja, tapi hasil tak didapatkannya. Menyesal, kenapa begitu
banyak waktu yang dia buang dengan percuma di masa kuliah. Setidaknya sekarang
lebih baik, berusaha menjalani usia dewasa, dua puluh tujuh tahun! Betapa dia
merindukan menjadi gadis remaja, dia ingin tertawa karena ketika remaja dia begitu
ingin menjadi anak-anak. Sementara ketika anak-anak dia begitu tak sabar untuk
tumbuh dewasa. Keinginan dan kenyataan memang kadang tak sejalan.
Di saat seperti ini,
seharusnya dia memiliki teman bicara, seseorang yang mengubah kecemasannya
menjadi tawa. Secara energi, Retta bertenaga besi. Namun dia tahu, seseorang di
sana bisa membuatnya menemukan kekuatan untuk menjadi lebih berani, Agit lah
orangnya.
“Kamu selalu tahu, di mana
bisa menemukanku ketika kamu butuh.” Ya, Retta tahu itu. Kata-kata yang selalu
diucapkan Agit dulu, kini terdengar seperti mantera menenangkan di telinga
Retta. Namun itu memiliki efek yang hanya bertahan beberapa nano detik,
sesudahnya tiba-tiba saja rasa malu menjalari sekujur tubuhnya. Sungkan dan
segan membuat Retta tak nyaman.
Seingat Retta, Agit selalu
bisa memaafkan. Lagipula, dia tak melakukan kesalahan apapun, kecuali ...
pengabaian. Bukankah pengabaian lebih buruk dari kebencian? Semoga saja semuanya
belum berubah, semoga Agit masih seperti sedia kala.
***
Seteluk,
September-Oktober 2013
Agit
belajar mencurahkan seluruh cinta miliknya kepada apa dan siapapun yang
menerimanya; pekerjaan dan juga hobinya. Itu hidupnya sekarang, belakangan
makhluk hidup begitu mengecewakannya, tapi itu bukan hewan atau tumbuhan.
Seandainya dia memiliki rumah pribadi, dia ingin memelihara kelinci atau
hamster. Seandainya dia memiliki lahan, dia ingin memiliki taman bunga
matahari.
Agit
terlalu keras pada dirinya sendiri, dia membuat jadwal yang tak masuk akal.
Bangun jam dua pagi, mengetik novel atau cerpennya hingga matahari menyapa,
berangkat kerja hingga jam dua, jika tak ada kegiatan di sekolah dia akan
menari Zumba di sore harinya. Malam hanya dinikmatinya hanya beberapa jam
setelah matahari terbenam. Rutinitasnya benar-benar payah, dia seolah tak lagi
tertarik dengan kehidupan bermasyarakat, interaksi sosialnya hanya di dunia
maya, itupun cuma bentuk ocehan. Dia kembali menjadi si sinting yang menjadikan
tembok facebook sebagai teman bicaranya.
“Aku
harus kerja keras, ada dua adik laki-lakiku yang masih harus terus sekolah dan
kuliah!” Itu jawaban Agit ketika keluarganya mempertanyakan alasan kenapa dia
tak pulang di akhir pekan atau saat liburan. Dan tak ada yang berani menanyakan
tentang kehidupan asmaranya, Agit berusaha untuk mematikan keinginannya
memiliki relasi romantis. Agit perlu pertolongan, tapi dia begitu keras kepala.
Memang
ada saat Agit ingin sejenak mengambil jeda tapi setiap kali Agit mencoba,
ketakutan menyerangnya. Agit tak ingin lagi merawat rasa malas, menurutnya
malas adalah umpan untuk kegagalan. Agit kadang menjadi tidak realistis, dia
berharap bisa mencurangi si energi dan bernegosiasi dengan waktu. Agit lupa dia
manusia biasa dan Agit bisa terbaring lemah dan menjadi tak berdaya.
Tak
ada siapa-siapa, dan satu-satunya tempat yang bisa dia beritahu adalah kolom
mungil yang menggodanya dengan pertanyaan; What’s on
your mind? Rasa frustasi akhirnya membuat dia menulis
kalimat yang ... setidaknya mampu mengembalikan miliknya yang hilang.
I
really need my best friend right now. I've been acting like I'm okay, but I'm
not :’(
***
Denpasar, Oktober 2013
Retta
sudah tak tahan, rekan kerjanya sungguh menyebalkan! Resign lagi? Tak mungkin, dia butuh membiayai kehidupannya.
Sekarang dia tengah training dan dia
juga menjadi pendukung dalam event sebesar APEC karena perusahaannya sedang
menjadi sponsor pendukung, memang pengaruhnya nyaris tak ada di sana tapi
setidaknya dia harus menunjukkan loyalitasnya dan tak mungkin untuk kabur
begitu saja. Menjadi wakil area Lombok Barat, Retta tak betah, teman timnya tak
sejalan dengannya. Apalagi nanti untuk kerja lapangan, berkantor di mobil dan
sepanjang jalan, memberi pelayanan hingga ke pelosok terdalam nantinya. Dengan
rekan kerja seperti dua temannya. Retta harus makan hati.Tidak, terima kasih.
Beruntung
Retta bertemu dengan wakil dari Sumbawa Barat yang tengah mengalami masalah,
satu orang dari tim-nya akan resign
sesudah event ini karena baru saja mendapat pekerjaan baru di sebuah Bank. Chauvinisme mau tak mau muncul
dipermukaan. Solidaritas kedaerahan membuat wakil dari Sumbawa Barat merasa
harus memperjuangkan nasib Retta. Kak Han dan kak Deni yang baru dikenal Retta
itu mengajaknya bergabung di tim-nya. Retta tak keberatan, karena mungkin
inilah jalannya untuk kembali bertemu Agit. Agit tinggal di Seteluk, Sumbawa
Barat. Namun, Retta ragu, mungkinkah Agit tak menolaknya? Hingga status update terbaru Agit yang
menguatkannya dan membulatkan tekadnya. Retta harus ada di sana segera, karena
sekarang Agit butuh sahabatnya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar