Judul Buku : The Known World
(Dunia yang Kukenal)
Jenis Buku : Fiksi
Penulis :
Edward P. Jones
Alih Bahasa : Meda Satrio
Penyunting : Anton Kurnia
Pewajah Isi : Siti
Penerbit : PT. SERAMBI
ILMU SEMESTA
Cetakan II : November 2006
Cetakan I : Juli 2006
Tebal : 653
halaman
ISBN : 979-16-0134-8
Blurb:
Mengambil
latar belakang di sebuah kota kecil di Virgnia pada akhir abad ke-19, tak lama
setelah pecah Perang Saudara di Amerika Serikat, cerita ber-pusat pada sebuah
keluarga tuan tanah kulit hitam. Perjalanan hidup membawa Henry Townsend, yang
terlahir sebagai budak dan kemudian dimerdekakakan oleh ayahnya, menjadi
seorang tuan tanah yang memiliki dan mempekerjakan budak-budak kulit hitam.
Setelah kematiannya, jandanya mengelola tanah pertanian mereka dengan bantuan
seorang budak kepala yang kemudian justru menjalin cinta terlarang dengannya,
dan memicu sebuah konflik yang berakhir tragis.
Novel
yang ditulis dengan ambisius dan brilian ini menjelajah masa lalu dan masa
depan kemudian kembali lagi ke masa kini. The Known World merajut kehidupan
perbudakan manusia dan segala kerumitan dan permasalahannya sekaligus memotret
fenomena penyimpangan seks, pertentangan kelas, dan diskriminasi ras yang lazim
terjadi pada masa itu dalam sebuah tatanan masyarakat yang timpang dan
hipokrit.
***
Saya ingin memulai tulisan ini
dengan kalimat memikat di halaman awal; Jiwaku
kerap bertanya-tanya, bagaimana aku mampu melupakan …
Nampaknya itulah yang ingin menjadi
tujuan sang penulis untuk pembacanya, bagaimana kisah ini tak bisa dilupakan
para pembacanya. Seringkali untuk saya pribadi, sebuah novel akan membuat saya
tertarik jika novel tersebut mencantumkan award
yang diterimanya, seperti novel ini. Tak main-main, merupakan peraih Pulitzer
Prize 2004 dan Pen/ Hemingway Award.
Sebisa mungkin saya
berusaha untuk tak memberikan spoiler
walau godaannya ternyata sulit sekali ditolak, jadi karena usaha tersebut
terlalu berat buat saya jadi untuk menghindarinya saya hanya akan menyampaikan
perasaan saya untuk para tokohnya. Berduka untuk keluarga Townsend walau jelas
saya takkan bisa menghargai janda Henry Townsend. Caldonia. Marah dan bersedih
untuk Moses. Bangga dan bahagia untuk Alice, Priscila dan Jamie, dan
terberkatilah pasangan Elias dan Celeste!
Seperti judul review ini, bagaimana jika kau harus mengenal dunia yang tak ingin
kau kenal? Namun jawabannya adalah, seandainya saja ada pilihan. Nampaknya di
sini memang ada pilihan untuk sang takdir, menyerah padanya atau justru
melawannya. Keduanya bisa saja asal siap dengan resikonya. Seperti untuk Augustus
Townsend pertama-tama memerdekakan
dirinya disusul sang istri, Mildred, lalu putera mereka, Henry.
Tetapi
diperlukan waktu jauh lebih lama untuk membeli keerdekaan Henry daripada apa
yang diperkirakan ayahnya. Robbins menyadari betapa Henry anak yang cerdas.
Harga untuk kecerdasan tidak tetap dan karena berubah-ubah, harga itu akan
sebesar berapapun yang mampu ditanggung oleh pasar, dan semua beban itu akan
jatuh pada pundak Mildred dan Augustus (Halaman 40)
Kita yang tak akrab dengan
perbudakan dan saya pribadi yang menyesali kenapa harus ada perbudakan seakan
dipaksa untuk bertoleransi pada hal yang se-tak masuk akal membeli puteramu
sendiri dari orang yang pernah merampas hak kemerdekaanmu, tragis memang tapi
itulah yang harus keluarga Townsend hadapi
Lalu Moses, si budak kepala yang tak
hanya harus betanggung jawab atas lahan pertanian setelah ditinggal mati si
tuan, namun dia nampaknya juga harus bertanggung jawab atas kebutuhan batin
janda tuannya. Apa yang Moses lakukan? sebagai pekerja loyalitas Moses tak
tercela, namun kadang seseorang menjadi sungguh tak bijaksana ketika dia
menginginkan lebih dari apa yang berhak dia terima. Bahkan walau itu dengan
cara mengorbankan dua miliknya yang berharga.
William Robbins, layak disebut
pecinta negro. Dia adalah tuan tanah dengan banyak budak negro (113 budak) juga
lelaki yang jatuh cinta pada negro. Dia memiliki simpanan bernama Philomena
serta dua anak haram; Dora dan Louis. Nampaknya dia juga tak bisa tak mengagumi
talenta dari negro miliknya. Robbins sangat menghargai kecerdasaan dan
keterampilan yang dimiliki orang lain, bahkan itu budaknya. Kalau tak bisa
dikatakan mencintai Henry layaknya anaknya sendiri karena kecerdasaannya
mungkin layak jika Robbins dikatakan sebagai penggemar berat Henry. Dia bahkan
menyewa seorang guru, Fern Elston untuk Henry yang bahkan pada usia 31 tahun
telah menjadi tuan tanah dengan 31 budak. Tidakkah Henry sangat luar biasa?
pantas Robbins sangat mengaguminya.
Lalu Caldonia yang menurut saya
(beradasarkan emosi, di sini saya harus mengatakan betapa Caldonia dan ibunya
nyaris serupa) sungguh sangat tak layak untuk Henry (mungkin itulah yang
membuat sang penulis memilih Henry untuk mati muda dan menuju surga dengan
segera. Henry nampaknya dinobatkan jadi tokoh yang pantas dikagumi) Nantinya
Caldonia akan menikahi Louis, anak haram William Robbins setelah dia terlibat affair dengan kepala budak miliknya,
Moses. Selain itu, di sana terdapat tokoh-tokoh yang tak kalah penting; si
sinting Alice, keluarga Elias dan Celeste, Keluarga Skiffington dengan
persaingan antar saudara sepupu John dan Counsel yang tak terduga di akhir
cerita. Kisah ini kompleks, kisah ini indah, kisah ini penting.
Seperti kata Jonathan Yardley dari Washington
Post Book World. "Luar biasa …
karya fiksi Amerika terbaik yang pernah bertengger di meja saya selama
bertahun-tahun." Isu yang dimuat dalam novel ini jelas menarik, diramu
dengan deskripsi detail yang indah yang tentu saja membawa perasaan untuk
pembaca. Idenya luar biasa, kompleks tapi tidak membingungkan. Kisah ini
membuat pembaca dengan sabar dan cermat menghubungkan bagian ke bagian lain kisah,
hubungan dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Kerumitannya tidak menyulitkan, karya ini nyaris tanpa cela. Memang, dibutuhkan
kesabaran namun seperti yang kita tahu kesabaran memang selalu memberi kepuasan
di akhir dengan bayaran yang setimpal.
Mengutip dari Boston Globe "Sempurna…
Anda akan sulit meninggalkan The Known World hingga halaman terakhir." Salah satu kepiawaian si penulis
adalah dia sepertinya tahu rasa penasaran pembaca dan menggoda pembaca dengan
cuplikan-cuplikan singkat tentang kelanjutan kisah, tentang nasib di kemudian
hari para tokohnya. Dia sungguh-sungguh membuat pembaca dipermainkan dengan
cara yang benar.
Menurut Jeffrey Lent," Novel paling bertenaga dan amat menyentuh yang
pernah saya baca. Edward P. Jones mengubah sebuah mahakarya modern, yang tidak
sekedar memaparkan kisah tak terlupakan, tetapi juga diiringi keanggunan dan
keluwesannn, serta misteri yang akhirnya mengguncang imaji…" Kata-kata Lent nampaknya mulai 'terbaca' sejak
lembar pertama. Ada paragraf indah yang begitu kuat yang sungguh membuat saya
kagum. Ia memakan tanah tidak hanya untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan ladang ini, melainkan karena dengan memakan tanah ia terikat dengan
satu-satunya hal dalam dunia mungilnya ini yang memiliki arti hampir seperti hidupnya
sendiri. (halaman 12)
Dan jika suatu hari kalian bertemu
buku ini, kukatakan ambil dan bacalah karena jika tidak mungkin kamu baru saja
melewatkan kesempatan untuk melewatkan karya yang sangat luar biasa.
Tentang Pengarang:
Edward P. Jones lahir dan tumbuh di
Washington D.C, kemudian menempuh pendidikan di University of Virginia. Ia
adalah pemenang PEN/Hemingway Award dan finalis National Book Award untuk
kumpulan cerita pendek pertamanya, Lost
in the City (1992). Kini, penerima Lannan Foundation Grant ini tinggal di
Arlington, Virginia, Amerika Serikat. Selain menjadi Finalis National Book
Award, novel ini memenangkan National Book Critics Circle Award 2003 dan
Pulitzer Prize 2004 untuk kategori fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar