"What is your idea of a
perfect morning?" ketika aku menanyakannya, kamu
tertawa kecil. Tawamu memudar berganti senyum yang menawan. Aku suka keduanya.
Di atas segalanya aku suka kamu yang terlihat bahagia.
"Pagi adalah saat terbaik untuk
perayaan. Pagi itu indah, membawa harapan, kesempatan, dan yang terbaik ketika
membuka mata, kamu masih diberi kehidupan. Bangun dan bersyukur, lalu ...
Selamat datang hari baru, aku siap menjalanimu. Jangan lupa tentang sarapan
lezat dan musik yang membuatmu bersemangat, Bob Marley bagus tapi boleh juga
Queen atau Kiss atau The Beatles. Sesuatu yang baru juga tak masalah, Brighter
Than Sunshine dari Aqualung, mungkin? Oh
jangan bicarakan musik atau aku takkan berhenti mengoceh. Aku suka musik,
pendengar yang baik tapi tak menguasai satu instrumen-pun. Payah. Parah! "
Kamu menutup wajahmu, menghalangi malu agar tak tertangkap mataku. Pipimu
bersemu dan tawamu membuatku menyadari betapa indahnya dirimu. Aku suka sinar
matamu yang berbinar ketika kamu membicarakan hal yang menyenangkan hatimu.
Bolehkah aku menipu diri, menganggap bahwa akulah yang menjadi alasan
bahagiamu?
"Kamu tahu, aku suka
menari-berdansa-salah--maksudku bergerak mengikuti musik sesuka hati. Aku
penari buruk, karena gerakan yang kubuat semauku. Aku terusir dari kelas menari
karena tak bisa mengikuti pelatihku dan karier menariku berakhir dengan cara
yang tak menyenangkan. Tapi setiap pagi aku selalu menari, anggap saja salah
satu cara untuk menyambut datangnya matahari. Yaampun jangan lupakan kopi. Aku
suka sekali kopi, tapi boleh berganti dengan teh, susu, atau cokelat sesekali.
Air putih? Dua gelas tepat saat bangkit dari tempat tidur. Oh jus buah itu
sehat dan ide bagus juga. Jika kamu sarapan denganku, maukah kamu membagi
rotimu?"
Aku mengangguk. Dia bicara cepat dan
seolah kata-kata tercipta cepat dari balik lidahnya. Aku suka gerakan bibirnya
ketika dia membentuk kata. Oh seandainya saja aku bisa menciumnya.
"Apa aku membuatmu bosan? Aku
sungguh banyak bicara! Ketika kecil, ayahku menjadikan masalah kebiasaan
bicaraku. Dia memanggilku burung beo mungil cerewet. Suatu hari ayahku berhasil
menemukan cara agar aku diam dan mengunci mulutku." Dia terdiam sejenak
dan merapikan rambut membandel ke belakang telinganya. "Ayahku memberikanku
buku, saat membaca aku meninggalkan dunia dan tenggelam di dalam bacaanku.
Bukankah itu ide hebat? Ayahku memang hebat, bukan? Oh, aku bicara banyak. Dia
menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Teruslah bicara atau kamu
ingin kembali membaca?" Apa aku memberikannya pilihan yang salah.
"Boleh terus bersamamu?"
Dia terdiam. Ada keheningan yang
menggantung diantara kita.
"Aku senang jika ada kamu di
sini." Katamu lagi. Merah jambu, menempel cantik dipipimu.
"Aku suka mendengarmu bicara.
Aku juga suka melihatmu membaca."
"Kenapa kamu jarang
bicara?"
"Laki-laki memamg miskin
perbendaharaan kata."
Dia mengangguk memaklumi.
"Ayahku pendiam,
sepertimu." Dia mengamatiku dalam-dalam. "Saat dia terdiam bersamaku,
dia terlihat seperti selalu memikirkan sesuatu. Begitu juga kamu."
"Hmmm..."
"Apa yang sering kamu
pikirkan?" Kamu terlihat sungguh ingin tahu
Aku tersentak mendengar pertanyaan
tiba-tibamu. Aku menatap wajahmu yang tengah menunggu jawabanku.
"Kamu." Lalu aku memberi
senyum malu-malu milikku.
"Jangan sengaja
menggodaku." Kemu memukul lembut lenganku dengan buku Mary Poppins
milikmu." Kenapa kamu mau bolos denganku?" Dia menatap tepat pada
mataku. Aku mengalihkan pandanganku. Aku menunduk. Tatapanmu membuatku
ketakutan, aku tak ingin kamu melihat apa yang kusembunyikan darimu. Cinta.
Takut jika kamu tak menginginkannya.
"Anggap saja aku bosan dengan
pelajaran matematika." Aku bicara dalam nada yang kuatur sedemikian rupa,
aku tahu nadanya bergetar.
"Kamu adalah murid kesayangan
guru matematika kita, siapa namanya? Hihi" Kamu menertawakan kebodohanmu.
"Bu Atika."
"Nilaimu bagus, selalu.
Tidakkah angka-angka itu memusingkanmu?" Sekarang kamu seolah menulis
angka-angka imajiner di udara.
Aku menggeleng.
"Angka-angka itu memusuhiku.
Aku selalu keliru, mengerjakan soal terburu-buru. Mereka mengintimidasiku.
Angka-angka itu tak menyukaiku." Kamu cemberut dan kedua pipimu
menggembung. Lucu.
Kita terdiam lama dan seolah
membiarkan waktu berputar semaunya. Kamu bersandar di dinding triplek rapuh
yang bisa saja rebah. Sebelah kakimu berada di atas kakiku. Kita bertelanjang
kaki membiarkan dinginnya ubin merasuki. Dari sela-sela dinding kami menikmati
angin bulan November yang dingin. Aku berharap tak ada satpam sekolah atau guru
BP yang mendapati kami tengah membolos
di kantin yang sebentar lagi akan dibongkar dan diganti bangunan permanen.
Tadinya aku tak ingin meninggalkan
kelas. Tapi, melihat wajahmu yang tertekan mau tak mau aku ikut merasakan apa
yang kamu takutkan. Kamu belum mengerjakan PR-mu satupun dan tak siap
menghadapi ulangan harian. Aku membantumu karena rasa kemanusiaan? Tentu saja
tidak. Aku membayangkan berada di posisimu dan kuipikir itu sangat tidak
menyenangkan. Ada kalanya memang lebih baik berlari dari pada menghadapi
sesuatu yang mengintimidasi. Jika kami sama-sama tak masuk kelas hari ini,
setidaknya ada ulangan susulan di perpustakaan, dan aku bisa mengerjakan
bagianmu. Entahlah, jika tentangmu Odelia, bahkan seandainya bisa seisi duniapun akan
kubawakan.
Odelia. Tidakkah kamu menyadari
keindahan namamu mewakili segala keindahan dirimu? Tapi, tak banyak yang dapat
melihat keindahanmu. Orang lain tak bisa melihat dengan cara yang tepat.
Seandainya mereka melihat apa yang kulihat, seharusnya memang mereka tak perlu
melihatnya, karena jika mereka mengetahui segala yang indah darimu, aku takut
mereka juga jatuh cinta padamu.
Aku menggoyangkan kakiku dan
kubiarkan kakimu ikut bergoyang lembut di atas kakiku. Aku sengaja membiarkanmu
terganggu dan menghentikan bacaanmu lalu menutup buku. Merespon kejailanku.
Kamu tersenyum, saat deretan gigimu terlihat maka belah dagumu juga terlihat.
Manis, cantik dan membuat mataku betah untuk terus menatap.
Ada tanda bahaya di dalam kepala aku
tak dibiarkan menatap bibirmu. Aku takut tak bisa menahan godaan untuk
meciummu. Aku harus melupakan keinginanku itu. Sekarang hati dan pikiranku
tengah berperang. Jika peperangan di dunia terjadi karena matinya rasa peduli,
namun peperangan antara hati dan pikiranku begitu peduli padamu dan berusaha
untuk melakukan segala yang terbaik buatmu.
"Mau melakukan hal yang
menyenangkan?"
"Seperti apa, misalnya?"
"Hmmm... " Matamu menatap
ke atas, seolah di sanalah terdapat jawaban yang ingin kamu temukan.
"'Bagaimana jika? ' itu namanya, kita memulai semua pertanyaan dengan
bagaimana jika secara bergantian dan masing-masing kita harus menjawab dengan
jujur..."
***
"Kedengarannya
menakutkan," Aku ingin bercanda tapi nadaku tak terdengar begitu
ditelingamu.
Kamu cemberut dan aku memaksa
tertawa, aku tak pandai dalam berandai-andai.
"Bagaimana jika, bagaimana jika
aku tak bisa menjawab pertanyaanmu?" aku memberimu pertanyaan pertama.
"Kamu pasti bisa
menjawabnya," katamu dengan yakin.
Aku mengangguk, baiklah. "
Siapa yang mulai bertanya?"
"Ladies first, huh?"
"Baiklah," aku menyerah.
"Bagaimana jika kamu diberi
kesempatan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, apa yang akan kamu
minta?"
"Kebahagiaan bagimu," Kata
hatiku, " Keliling dunia kukira, lelaki harus melihat dunia!"
Kata-kataku terdengar ragu.
Dia menghela nafas lalu memperbaiki
posisi bersandarnya.
"Kamu pergi, jauh dan itu membutuhkan
tenaga dan waktu." Katamu, nyaris terdengar seperti lagu sendu.
"Mungkin nanti aku akan merindukanmu." Aku tak tega memandang
ekspresi itu di wajahmu.
Aku berusaha memberimu senyum yang
menenangkan.
"Ada pesan buatku?"
Kamu terdiam cukup lama dan setelah
helaan nafas panjang kamu berbicara. " Terbanglah sejauh sayapmu mampu
membawa terbang tapi ingat kemana harus pulang," Setelahnya kamu
membereskan bacaanmu, memasukannya ke ranselmu dan memakai cardigan abu-abumu, lalu mengikat rambutmu yang tergerai. Memasang
sepatumu, tanpa kaus kaki. Kamu berdiri dan berbicara pelan sekali dalam nada
menyesali, "Seharusnya aku tak memulai permainan ini. Kupikir aku lebih
baik masuk ke kelas saja."
Jawabanku salah, karena jika benar
kupikir kamu masih lebih memilih bersamaku dan bukannya menghadapi apa yang
kamu benci. Kubiarkan kamu pergi tanpa mengikuti.
Aku masih ingat hari itu, detailnya,
setiap bagian bahkan yang terhalus sekalipun. Itu hanya sepotong kenangan di
masa lalu, di jaman putih abu-abu. Saat itu aku begitu jatuh cinta padamu, tapi
bibirku begitu kelu untuk memberitahumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar