(Adrian)
Kita
bisa menolak cinta
Kita
bisa mengabaikan cinta
Kita
bisa mendustai cinta
Kita
bisa menyangkal cinta
Tapi
sejujurnya, semua itu tak mudah, begitu menyiksa dan seperti dihantui dosa.
***
“Sudah
berapa lama sekarang?” Ardian bertanya.
“Aku
tak memahami perputaran waktu, dimensi kita dan dimensi mereka berbeda” aku
menjawabnya, tidak melalui kata, tapi dia sendiri yang membacanya, lama-lama
kami terbiasa untuk berkomunikasi tanpa suara, dan tentu saja tak ada yang
mendengarkan, selain kami berdua.
“Tapi
aku bahagia” Ardian berbicara, melalui pikirannya.
“Bahagia
seperti bahagia yang kurasa?” aku bertanya
“Mungkin
sedikit berbeda…atau mungkin sama saja” Ardian seperti dilanda rasa bimbang
“Kamu
melihat mereka berdua?” Pertanyaan yang tak seharusnya ditanyakan, karena kami
berdua tak pernah melepaskan pandangan dari keduanya.
“Tentu
saja…mereka memiliki satu dengan yang lainnya sekarang, dan mungkin…”
“Tidak!!!!”
aku berteriak
“Adrian…harus
sampai kapan?”
“Selamanya
… hingga akhir waktu…hingga di ujung batas!!!” aku seakan ingin melawan
kehendak yang seharusnya tak terbantahkan, tapi…otakku yang mati secara harfiah
tapi hidup secara tak harfiah mengatakan padaku, bahwa aku belum ingin pergi,
aku masih ingin di sini, menikmati, keadaan ini suasana ini, walaupun…sungguh
aneh harus menipu diri lagi dan lagi tanpa ingin berhenti, yah kami keluarga,
dan apa? Mereka, Gadis dan Tiara, walau telah membawa raga Ardian pulang ke
rumah, dan berpura-pura kita adalah keluarga, tapi…aku makhluk transparan
seharusnya tak memiliki perasaan tapi entahlah walau sudah kubangun tembok
pertahanan tapi air mata itu tak tertahankan!
Ardian
hanyalah Ardian bukan Adrian tak pernah Adrian, walau Gadis kadang bingung
siapa ayahnya sebenarnya, dia pikir ini hanyalah kesalahan dalam pengejaan,
tapi Tiara meyakinkan bahwa Ardian hanyalah Ardian yang harus pergi untuk
sebuah peran untuk Adrian, seseorang yang mati sia-sia dalam kecelakaan,
saudara dari kekasihnya, yang membuat kekasihnya itu pergi dan memilih
meninggalkannya sendiri dan membawa serta putri yang dipikirnya telah mati,
Gadis!
Seandainya
mereka tau bahwa kami adalah dua orang, seandainya mereka tau bahwa kami dulu
saling bertukar peran.
“Seandainya
Tiara tau kamu pemerkosanya..apakah kamu siap?” Ardian membacaku.
Mau
tak mau aku tertawa…
“Bilapun
dia tau…yang dipikirkannya itu adalah kamu! Wajah kita satu, dan yang
dikenalnya hanyalah kamu! Dia takkan pernah membenciku, tapi hanya kamu! Karena
aku adalah sisi gelap, makhluk tak terlihat tak pernah dianggap, tak lebih dari
bayangan kelam, hina, dan hitam.”
“Bisakah
kamu tidak menghina drimu sejauh itu! kamu pernah ada kamu pernah nyata!”
Ardian berteriak
“Tapi
tak pernah dianggap apa-apa!”
Aku ingin menangis, saat aku tak bisa menjadi
nyata, sedari dulu hingga kini selalu menjadi sesuatu yang tak terlihat dan
rasanya sungguh menyakitkan.
“Mengapa
tak berhenti untuk menyiksa diri?” Ardian bertanya seakan dia tak bisa menjawab…haruskah
kuteriakkan dengan gambling sekarang?
“Haruskah
segala kebaikan dan keberuntungan menjadi milikmu? Se-la-lu?”Aku terdengar
seperti wanita tua perengek.
“Adrian..”
“Kukatakan
saja semuanya!”
“Sejujurnya
itulah yang tak pernah bisa kubaca” Ardian jujur mengatakannya, bahkan saat
kami tak lagi berkomunikasi suara ke suara dari kata ke kata lainnya, tapi
untuk hal satu ini Ardian memang takkan bisa mengerti, karena untuk hal ini,
benar-benar kukubur, kuberi kunci.
“Bolehkah
kukatakan bahwa aku iri?” akhirnya kukatakan dengan berani “Aku iri untuk
kebaikan hati, aku iri untuk rasa sayang yang kamu miliki, aku iri karena kamu
memiliki ibu Lestari, aku iri karena kamu memiliki Tiara, wanita yang kamu
cintai dan juga mencintaimu, tak pernah mencintaiku, dan ketika iri itu berubah
jadi benci, sungguh aku tak menyangka bahwa akan berakhir seburuk ini. Aku
melakukan segalanya hanya karena ingin agar kamu menderita seperti yang pernah
kurasa”
“Derita
apa? Kamu bahagia Adrian!”
“Punya
papa? Punya harta? Punya tahta?”
“Bukankah
itu segalanya?”
“Apalah
artinya jika tanpa cinta”
Akhirnya
aku mengatakannya, akhirnya segala terbuka, aku selalu berteriak memaki cinta
dan sekarang harus kukatakan padanya bahwa kebutuhanku hanyalah satu; kata yang
kubenci, rasa yang kuhindari yaitu CINTA.
(Ardian)
“Kamu
memilikinya… “ aku meyakinkannya.
“Tidak!”
“Yah
kamu memilikinya” keyakinan yang harus kupertegas agar dia bisa menerimanya. “Jika
tanpa cinta, mengapa kita bisa hidup seperti ini, berada di satu tempat, kamu
tak bisa pergi tanpaku dan aku tak bisa pergi tanpamu! Berapa kali hal ini
terjadi.
“Berkali-kali”
aku mendengarnya menjawab pertanyaanku dari dalam hatinya. Sekarang aku tau,
dia telah membuka pikirannya, mencabut selubung yang dulu ditutupinya, benteng
itu hancur sudah. Dia menyadarinya tapi tak ingin mengakuinya.
“Kamu
mencintaiku seperti aku mencintaimu” Aku memberitahukannya seakan itu hal yang
harus kuperjelas, cinta kadang tak perlu kata hanya perlu rasa tapi akan lebih
baik jika diucapkan dalam bahasa yang indah.
Dia
tertawa, singkat, pelan, dan…berubah menjadi tangisan, lalu tawa dan…
“Bodohnya
aku…”
“Tidak”
walaupun kita adalah dua makhluk tak terlihat tapi saat pelukan itu menyatu,
yang kami tau ada harapan baru di mata dua wanita yang kami cintai, saat dia
melihat ada senyum mengembang di raga beku yang tebaring kaku. Di Tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar