Oleh
: Langit + Citra
Dari
balik kaca mobil, gadis itu menatap lurus ke depan. Tempat yang jauh dari kata
indah, sebuah tempat kumuh dan kotor, bekas
bangunan pasar tradisional di sebuah kota kecil yang terbakar, yang kini
terdapat plank bertuliskan; di tempat ini akan dibangun gedung serba
guna, pasar penggantinya berada kurang lebih dua ratus meter dari sini. Tak
ada yang istimewa dari tempat ini, kecuali sebuah kenangan yang hanya di
mengerti oleh dirinya.
Namanya Dilla, wanita 28 tahunan
yang baru saja tiba dari Jakarta. Di sebelahnya Adrian, kekasih hatinya.
Otak gadis itu kembali
memutar sebuah memory lampau, seolah
tempat kumuh di depannya terbangun kembali bersama tayangan yang lekat dalam
ingatanya. Aroma khasnya; bau pagi yang sama sekali jauh dari kesan segar,
seperti campuran bau tanah karena hujan yang bercampur dengan aroma ikan dan
keringat, bau harapan dan kerja keras untuk menyemangati kaum kecil, seperti dirinya
dulu.
Pemilik tangan hangat
yang kini menghangatkan telapak tangannya, sekarang memberikan seulas senyum
manisnya, dan senyum itu kini menghangatkan hatinya..
“Kita
akan melanjutkan perjalanan, atau???” Sebuah tanya meluncur
dari bibir sang pria.
“Wait..”
Dilla
menjawab singkat. Matanya masih nanar menatap ke depan. Berharap mendapatkan
sebuah jawaban.
Sudah hampir satu jam keduanya terdiam di dalam
mobil….
Ia baru menginjakan kaki kembali di sini setelah 10
tahun lamanya. Kerap kali kedua orang tuanya menyuruhnya kembali, namun Dilla
hanya mau kembali setelah ia bisa mencati uang. Hanya dengan surat ia
berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, hingga musibah kebakaran itu terjadi
di pasar ini beberapa waktu lalu. Tak ada lagi kabar yang ia terima, bahkan ia
telah bertanya ke sana kemari untuk mencari di mana ibu dan ayahnya berada,
sayangnya tak ada satu orangpun yang tau. Dulu ayah dan ibunya tinggal di ruang
sempit pinggir pasar, yang sekarang juga telah rata dengan tanah.
Seseorang yang ia temui tadi sempat mengatakan, 8
orang tewas dalam musibah kebakaran tersebut, namun tak di ketahui siapa saja
yang meninggal.
Air mata Dilla perlahan menetes. Tak ada lagi ia
bisa menemukan jejak ayah dan ibunya. Tak tau lagi ia harus mencari ke mana.
**
Sepuluh tahun lalu.
Dalam seragam sekolah putuh abu-abu. Dengan coretan warna tinta merah dan biru.
Seorang gadis tujuh belas tahunan berlari-lari kecil menelusuri lorong pasar.
Bau keringat bercampur dengan bau amis ikan yang di jual tak jua menyurutkan
langkah-langkah kakinya. Hari itu ia baru saja mendapatkan surat pemberitahuan
akan kelulusan dirinya sekaligus ia menjadi seorang lulusan terbaik
disekolahnya.
Ia mendatangi Ayah dan
Ibunya yang mencari sesuap nasi di sana demi memberitahukan kabar gembira akan
kelulusanya. Ayahnya hanyalah seorang tukang cukur yang mangkal di pasar,
modalnya hanya gunting cukur, sisir, cermin, dan sikat kecil. Sementara sang
Ibu adalah tukang jahit, bukan tukang jahit yang menjahitkan baju, tapi hanya
tukang jahit yang akan menambal, mengganti risleting atau yang akan memasangkan
kancing. Bersama mesin jahit tuanya,
sang Ibu berada tak jauh dari pedagang pakaian bekas.
Rasa bangga terpancar
jelas diraut wajahnya.
“Ibu, saya lulus”
Hanya kata itu yang
sanggup ia ucapkan. Sementara sang ibu hanya bisa memeluk haru. Banyak kata
yang ingin ia ungkapkan, namun tenggorokanya serasa tercekat. Pun demikian
dengan sang ayah yang berada tak jauh dari tempat ibunya. Kini menghampirinya
dan memeluknya.
“Kami
bangga nak”
Suara sang Ayah seolah
mewakili kata yang juga ingin diucapkan sang ibu. Air mata meleleh di pipi tua
sang ibu. Ada harap yang tersirat dari kedua pasang mata orang tuanya. Ia
berharap sang anak bisa menuntut ilmu setinggi langit, memiliki nasib yang jauh
lebih baik juga harapan dan masa depan yang lebih cerah. Sayangnya keuangan
memang menjadi kendala….
Hanya sepasang cincin
kawin, itulah harta satu-satunya yang berharga. Yang kemudian dijual demi bekal
sang anak 10 tahun lalu.
***
Terik sang mentari siang ini membuat kebanyakan
orang lebih memilih berteduh di dalam rumah atau warung-warung makan. Debu
jalanan berterbangan di hempas angin. Dilla masih saja terpaku di dalam mobil.
Kacamata hitamnya ia kenakan demi melindungi matanya dari silaunya panas di
siang yang terik.
Perlahan ia menengok ke samping kanannya.
“Kita jalan
sekarang”
Lelaki di sampingnya menjalankan mobil perlahan.
Debu-debu jalanan berterbangan terhempas ke udara. Mobil melaju lebih cepat,
hingga menghilang di tikungan.
**
Mobil itu terus melaju menyeruak jalanan aspal yang
berkelok. Hari ini tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan tanggal ini
sebagai hari Valentine. Saling berbagi kasih sayang dalam bentuk yang
bemacam-macam. Berpasang insan turut merayakan dengan kegembriaan, sayangnya
tak demikian dengan Dilla.
Pencarian akan kedua orang tuanya tak ia temukan.
Rencananya sang kekasih akan melamarnya hari ini, di
hadapan kedua orang tuanya, namun perjalanan jauh dari Jakarta tak membuahkan
hasil seperti harapannya. Kedua orang tuanya tak tau di mana rimbanya.
Adrian menghentikan mobil di sebuah rumah makan di
sebuah kota kecil. Lapar menyergap perut keduanya setelah seharian berputar –
putar demi sebuah pencarian.
“Selamat datang.
Mau pesan apa? Di sini makanan favoritnya nasi gudeg. Ingin mencoba??”
Suara seorang perempuan yang membuat Dilla
terhenyak. Ia yang sedang menunduk sontak menengadahkan wajahnya. Saat
menyadari siapa yang ada di depannya ia langsung berdiri.
“Ibu!!!”
Ia spontan menghambur ke dalam pelukan wanita itu.
Di susul seorang laki-laki tua yang berlari tergopoh dari dapur.
**
Sebuah acara pertunangan sederhana tengah
berlangsung disebuah meja warung kecil itu. Dua cincin yang baru saja tersemat
di masing-masing jari manis Adrian dan Dilla mereka lepas. Kemudian di berikan
kepada kedua orang tua Dilla.
“Ibu dan ayah
saja yang pakai. Untuk menggantikan sepasang cincin kawin yang dulu dijual
untuk bekal aku menuntut ilmu”
Valentine kali ini serasa sempurna. Untuk Dilla,
Adrian, dan kedua orangtuanya. Warung kecil ini dirintis dari uang yang setiap
kali dikirimkan oleh Dilla. Perlahan namun pasti, kehidupan terus berubah.
Gambar : Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar