Aku
menangis, ketika roda itu melindas, remuk hingga tak terbentuk. Yang terasa,
sakit tak terkira, yang hilang, rasa percayaku padanya, seseorang yang
mengajarkanku bahwa hidup tersusun atas cinta dan kebaikan, tapi ketika berita
itu datang, yang kumengerti hanya satu hal, bagaimana bisa aku mempercayai
seseorang yang membangun hidupnya selama ini, hanya dengan satu hal;
kebohongan.
***
Sebelumnya hidupku sempurna, segala
kebahagiaan seakan tergenggam di tangan, tapi tak lagi saat tuduhan itu datang,
dan Papaku ditahan, karena perbuatan kotornya, aku tak lagi bisa
mempercayainya, takkan pernah. Papaku sang koruptor, seandainya bisa dia
mendapat kecupan dari Dementor…
“Mols…” Itu suara Mama, membujukku
lagi dan lagi seakan tak menyerah, tapi seperti yang sudah-sudah seharusnya
Mama menyerah, Mama tau aku membenci segala macam kecurangan dan kebohongan,
apalagi, bila sang pembohongnya adalah orang yang kucinta, Papa.
“Molly… honey?”
“Papa, membutuhkanmu,dukunganmu,
sayang…”
“Aku tak membutuhkan seorang
pembohong dalam hidupku” dan aku meninggalkan mamaku yang bermuka pucat, karena
lelah dan segala perbuatan tercela Papa.
***
Sebelum
tidur, bahkan di kala usiaku tak lagi sebelia dulu, selelah apapun Papa
sepulang kerja, aku tau dia akan memasuki kamarku, merapatkan selimutku,
mengecup keningku, dan membisikkan kata, “Papa menyayangimu”Aku selalu
pura-pura tertidur walau sebenarnya aku masih terjaga penuh.
Aku
merindukan Papaku, sekarang, di malam-malam insomniaku, karena marah, kecewa,
dan benciku yang tak terkira, dan entah berapa lama aku harus terbiasa untuk
melupakannya; rasa percaya yang ternoda seakan ingin memutuskan cinta karena
ikatan darah.
Ketika
kamu dewasa dan mengerti benar-salah, itulah waktunya kamu mengetahui, bahwa
hidup dimulai. Pesannya, dulu, bukankah seharusnya Papa tau, yang mana yang
benar dan mana yang salah? Terlalu tua untuk keliru! Atau memang lebih mudah
untuk pura-pura tak tau.
Aku merindukan Papa, sebanyak aku
membencinya, aku merindukan segala yang ada pada dirinya; tatapan teduhnya,
peluk hangatnya, dan caranya mengungkap kata kala kita berdua berdiskusi
bersama, tak pernah sekalipun dia memandangku sebagai gadis kecilnya ketika
kita mulai membicarakan banyak hal penting yang terjadi di luar sana.
Suatu
saat kamu pasti akan merasakan perihnya luka, derita karena kecewa, perihnya
air mata, tapi akan selalu ada yang menyembuhkannya, cinta dan rasa percaya.
Aku
menangis, ditengah kebingungan yang menyerang, tak tau apa yang harus
kulakukan, percaya pada yang mana? Pemberitaan media ataukah Papa, yang
jelas-jelas bersalah.
Hanya
satu tempatmu untuk bertanya dikala kamu kehilangan rasa percaya, hatimu,
tempat segala fakta menunjukkan kebenarannya.
Aku
ragu, aku rindu, hatiku menyimpan rasa tak menentu, sudah terlalu lama untukku
merasa terbelenggu.
***
Hari sudah senja, dan mama
pulang dengan wajah lelahnya, tapi masih memberikannya senyuman manisnya
padaku.
“Sampai kapan harus pura-pura
tegar Ma?” ada apa denganku? Aku marah untuk hal yang menjadi masalahku.
“Masih marah pada Papa?” Mama
menghela nafas, lalu duduk di sampingku, dan memelukku, pelukannya hangat, dan
ada rasa menenangkan saat kulitnya menyentuh kulitku, dan aroma wanginya
tercium di hidungku.
“Takkan pernah memaafkannya”
aku ingin meneriakkan kata itu, tapi entah mengapa, air mataku mengalir begitu
saja, tak tau mana yang benar dan mana yang nyata, karena selama ini, di saat
otakku terlalu lelah untuk memikirkannya aku selalu melakukan
penyangkalan-penyangkalan kekanak-kanakkan, ini semua hanyalah mimpi dan aku
akan terbangun sebentar lagi.
“Ketika …banyak kata kejam
keluar dari mulut mereka di luar sana, begitu banyak tuduhan, begitu banyak
cacian dan makian, bisakah kamu membayangkan apa yang Papa rasakan?”
“Menyakitkan”
“Mama
mengenal orang yang Mama cintai lebih baik daripada mereka, dan ketika lemparan
kata-kata itu seolah menyudutkan Papa, Mama tau apa yang harusnya Mama lakukan
untuk orang yang Mama sayangi, mendampinginya, karena…segala yang terjadi pasti
ada alasannya, dan ketika hal tersebut menimpa Papa, akankah adil, bila Putri
kecil yang sangat dicintainya, memvonisnya, bahkan sebelum Papa melakukan
pembelaannya?” Ada getaran dan serak dalam suara Mama, aku tau Mama sebentar
lagi akan menangis, tapi aku mengenal Mamaku dengan baik, alih-alih menangis,
dia memilih tersenyum manis.
“Mols, ingat apa yang Papa
lakukan ketika kamu terluka?” Mama memintaku mengingat hal yang ingin
kulupakan, tapi aku tau tak mungkin terhapuskan, sadar aku takkan menjawabnya,
Mama memilih menjawabnya sendiri “Papa akan mencium lukamu, mengajakmu bercanda
agar rasa sakitmu teralihkan, mengubahnya menjadi tawa, tapi apa yang kamu
lakukan pada saat Papa terluka?”
Tak bisa menjawabnya, hanya
bisa melelehkan air mata, aku menyerah.
***
Aku melihatnya di sana, berjalan
diiringi seorang Polisi, Papaku masih sama, dengan wajah bijaknya, senyum
manisnya, dan tatapan teduh matanya, dia tak terlihat menderita, hanya
tersenyum bahagia.
Ada ragu dan malu saat mendekatinya,
tapi ketika dia memelukku dan mengucapkan “Terima kasih, karena telah
mempercayai Papa, tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding tak bisa
membuktikan kebenaran pada orang yang paling Papa sayang, terima kasih karena
telah membuat Papa tak takut pada hukuman, karena ketakutan itu hanya milik
mereka yang bersalah dan melanggar kejujuran.”
Aku tak bisa berkata-kata hanya ingin
merasakan pelukannya dalam penyesalan, aku hanya ingin minta dimaafkan karena
ketidakpercayaanku pada orang yang tak pernah mengkhianatiku, juga mengkhianati
mereka.
ini Fiktip atau nyata?? bagus ceritanya..
BalasHapusfiktif dan jangan sampai jadi nyata, terima kasih udah membaca :D
Hapus