Ada dua wanita dalam hidupku;
seseorang yang kucintai, dan seseorang yang akan kunikahi
***
Aku
baru saja akan memencet bel saat pintu itu menjeblak terbuka.
“Aku mendengar suara mobilmu” suara
renyahnya menyapa telinga, senyum manisnya memanjakan mata, itulah sebabnya aku
jatuh cinta padanya, tapi…otakku langsung membuatku tak yakin manakala otakku
menampilkan sosok gadis lain, yang berbanding terbalik dengan gadis yang ada di
hadapanku. Gadis di otakku, pasti akan membiarkanku menunggu beberapa lama di
depan pintu, dan setelah dia membuka pintu dia akan berkata “aku senang membuatmu menunggu, pria yang
baik adalah pria yang mau mengorbankan sedikit waktunya untuk wanita yang
dicintainya”
“Hey, mau masuk nggak?” dia bertanya
lagi, lalu berbalik, berjalan di depanku dalam langkah ringan, kaki rampingnya
telanjang dan menimbulkan bunyi menyenangkan saat menyentuh lantai kayu
rumahnya.
Aku
suka mengamati sosoknya dari belakang, dia tak terlalu tinggi, cukup ramping
walau sedikit berlemak di beberapa tempat, dia memakai kaos longgar berwarna Orange cerah yang di bagian bahunya agak
melorot dan memperlihatkan kulit kuning langsatnya, kaki jenjangnya juga
terlihat sempurna, dia cuma memakai hot
pants jeans yang digunting begitu
saja dari skinny jeans panjang
lamanya, dalam jarak yang tak terlalu jauh, aku masih bisa mencium aroma
tubuhnya wangi Vanilla yang menggoda,
walau aku lebih terbiasa mencium wangi Jasmine yang feminime yang tercium dari tubuh gadis yang akan menemuiku di malam
minggu seperti ini dalam balutan lace
dress berwarna hitam, dengan rambut di angkat ke atas yang menampilkan
leher jenjangnya, dia gadis yang membuat stiletto
dan push up bra berfungsi sempurna
ditubuhnya, dia yang berprinsip “beauty
is pain” berbanding terbalik dengan motto “beauty comes from within” gadis di depanku.
“Hari yang berat?” dia bertanya, setengah
berteriak, sekarang dia berada di dapur yang tak begitu jauh dari tempatku. Aku
memilih melepas jas-ku, menghempaskan diri di sofa yang menghadap ke TV plasma
yang tak dinyalakan, sepertinya sebelum kedatanganku, dia sedang menikmati buku
Into The Wild dan musik dari IPod-nya yang kini sedang memutar lagu Jenny Don’t
Be Hasty-nya Paolo Nutini.
“Yeah,
aku benci berakhir pekan di kantor, ada hal yang harus dikerjakan!”
“Secangkir
kopi akan membuatmu lebih baik” dia tau apa yang kubutuhkan, aku memang membutuhkan
kopi saat ini walau ketika aku menghadapi hari yang berat gadisku yang satu
lagi akan menyuguhkanku dengan secangkir Chamomile
Tea .
“Stress?” sambil meletakkan cangkir kopi
di meja, dia memandang jauh ke dalam mataku, aku suka caranya menatapku, agak
lama lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedikit berbeda dengan pandangan
menggoda malu-malu gadisku yang satu.
Aku
mengangguk pelan, dia duduk di sampingku dan menyentuh tanganku.
“Siap
mendengar ceritamu…” aku merasakan lembut jarinya di jariku.
Sayangnya
aku tak siap untuk bercerita “bukan waktu yang tepat” kataku cepat “kurasa…”tambahku
lagi, agak tak yakin, kuharap aku tak mengatakan hal yang salah hingga
membuatnya terluka, tapi dia malah tertawa, aku lupa, gadis di depanku berbeda,
bukan gadis berhati selembut marshmallow-ku.
“Sudahlah!”
dia masih mengamatiku, kupikirkan dia dapat merasakan kekhawatiranku. “Hmmmmm….kamu
tau?” dia memainkan dasiku, melonggarkannya, melepas kancing teratas kemejaku
lalu mengacak-ngacak rambutku “Hey…I love
your messy look” ekspresi yang ditampilkannya nyaris sama seperti ekspresi
yang ditampilkan gadis lainku saat mengucapkan “Aku suka melihatmu rapi setiap
waktu ”saat mengatakan hal itu, dia pasti akan merapikan kerah kemejaku.
“Hmmmm…
aku ingin bicara” aku mengatakannya dengan ragu-ragu, sambil menyentuh kotak beludru
kecil berisi cincin berlian yang ada di saku celanaku, yeah sudah saatnya untuk
memilih satu diantara mereka, sudah kutentukan pilihanku.
“Tunda
dulu, sampai dinner kita usai” dia
bangkit dari sampingku, dan melangkah dengan semangat kembali menuju dapur “Aku
baru saja memasak sesuatu, entah apa aku menyebutnya, rasanya cukup enak dan
pedas, takkan membuatmu sakit perut, percayalah, aku mencampurkan, ayam dengan
bawang Bombay dan bawang merah, serta banyak cabe dan asam jawa, aku
mencampurkan apa yang ada di dapurku hahahaha” dia tertawa seakan apa yang
dikatakannya konyol, aku tau masakannya selalu memanjakan lidahku, hal berbeda
dengan gadisku yang kutau hanya ahli memilih Resto yang tepat untuk makan malam.
“Aku
juga masak cah kangkung, sama udang goreng tepung hmmmm mau dibikinin sambel
terasi?” dari balik dapur dia teriak lagi.
“Boleh”
jawabku cukup keras untuk di dengarnya. Sambel terasi, kesukaanku, sesuatu yang
dibenci gadis dalam pikiranku sekarang, karena wanginya bukan menambah selera
makannya tapi justru merusak, dia tumbuh dengan makanan Western, bukan selera sederhana Indonesia, itulah yang kadang membuatku
terintimidasi.
***
Kami
menikmati makan malam dalam diam, berkali-kali aku menarik nafas dan
menghelanya, sungguh aku merasakan keanehan, deg-degan yang menyiksa, kuulangi
lagi menyentuh kotak mungil di sakuku, makin menambah pacu jantungku. Aku hanya
hendak melamar, bukannya menuju medan perang.
Saat
hidangan terakhir, Pudding Susu Vla
Mangga, hanya tersisa setengah akhirnya au memutuskan inilah waktunya.
“Sashi…”aku
hendak mengatakannya tapi degup jantungku yang terlalu keras tiba-tiba saja
menggugupkanku. “aku…hmmmm…aku…” aku memandang wajah Sashi yang bertanya-tanya,
sementara aku masih berusaha untuk mengatakannya, pada akhirnya aku menyerah
menunjukkannya dengan kata-kata, aku tau komunikasi verbal bukan kelebihanku, jadi,
aku mengeluarkan kotak mungil berwarna merah itu, mata Sashi berbinar saat
menatapnya.
“Elman?”
dia setengah tertawa, setengah terkejut.
Aku
mengangguk
“Ayo…
coba pasangin di jariku” ada senyuman lebar di wajahnya, ada binar bahagia di
wajahnya, juga suara renyahnya sekarang terdengar lebih bersemangat. Dia menyodorkan
jarinya, aku menyentuh tangan lembutnya, ada rasa aneh saat aku menyentuh
tangannya, dia tersenyum menatapku, seandainya gadis yang di depanku adalah
Amelia, bukannya Sashi, dia pasti menginginkan ada lagu favorite-nya yang diputar
dan ada sebotol Wine, untuk
merayakannya kemudian.
Aku
memasang cincin itu di jari manisnya, sayang…cincin itu kekecilan, hanya
tertahan di ruas kedua jarinya, aku menggeleng, menatapnya penuh penyesalan,
dia tersenyum. “Congrats El!” dia
bangkit dan mencium pipiku sekilas, ada tawa bahagia, dan saat itu akulah yang
justru merasakan patah hati.
“Kamu
dan Amelia, sempurna bersama, aku bahagia untuk kalian berdua, ayo pulang dan
pasangkan cincin cantik ini dijarinya.” Dia masih bersemangat dan kali ini
bahagia seperti menguap dari tubuhnya.
“Sas?” aku tak percaya, Kenapa dia begitu
bahagia? bagaimana bisa dia bahagia untuk sesuatu yang kuharap akan membuatnya
menderita? Harusnya dia sedikit terluka, setidaknya…setelah apa yang terjadi
diantara kita, kupikir seharusnya dia mungkin agak kecewa, dengan begitu aku
mungkin bisa membatalkan segala rencana.
“Okay…wish you luck!” dia malah mengambil
jasku dan mengantarku ke pintu, “jangan lupa rekomendasikan aku pada Amel,
untuk jadi pengiring pengantin.” Setelah pintu itu tertutup, ada penyesalan di
hatiku, seandainya aku mengatakan pada Sashi bahwa sejak dulu aku mencintainya,
seandainya sejak dulu bahwa hubungan diantara kita tak lebih dari persahabatan,
mungkin cincin ini akan terpasang dijarinya, bukan di gadis yang sekarang akan
kutemui.
gambar : Google
gambar : Google
Thanks! Follow me if you would like to catch up with me. :) I see you like writing story but too bad I'm not so well with your language.
BalasHapusTake care.
Sebuah pilihan yang sulit saat menghadapi saat itu... butuh lebih dari sebuah ketegaran cinta untuk menghadapinya
BalasHapussalam kenal yah