Papa mungkin bisa mengobati lukamu,
tapi tidak patah hatimu
***
Pintu itu terbuka, tiba-tiba dan
mengagetkanku. Kurang dari satu nano detik lagi saat bibir Arden mendarat
sempurna di bibirku, ciuman pertamaku gagal total.
“Athya masuk sudah larut” kata Papa
dalam suara datar yang terdengar menyebalkan, setelah itu aku hanya bisa
menghempaskan kaki ke lantai dengan keras, lalu membanting pintu, Papa masih di
luar, entah apa yang dikatakannya pada Arden. Aku enggan memikirkannya,
seandainya seorang pria berumur empat puluhan tahun tau apa yang diinginkan
anak gadisnya…tidakkah dia mengerti bahwa ciuman pertama itu adalah hal penting
bagiku? Aku nyaris tujuh belas tahun dan belum pernah merasakan ciuman!
***
“I’m
not your little girl anymore dad!” aku menangis saat mengatakannya, aku
membenamkan diri pada bantal, yang kini basah karena air mata. Akibat ulah papa
aku menerima pesan yang menyakitkan dari Arden.
Kita putus
Aku nggak bisa
pacaran
Sama cewek yang
punya papa kolot
“Sampai kapanpun kamu tetap gadis
kecil Papa” Suaranya terdengar lembut, tangannya membelai rambut panjangku. “Semua orang boleh punya pacar, kenapa aku
nggak?” protesku cepat
Lama papa terdiam…lalu dia mulai
membuka suara “Anggap saja belum waktunya”
“Memangnya kapan waktu yang tepat itu?
saat aku berumur lima puluh tahun?” kataku dalam nada keras, aku sungguh kesal.
Papa tertawa, terpaksa, tangannya
masih membelai lembut kepalaku. “Pemuda itu terlihat tak layak bersamamu, pria
yang baik akan menjaga miliknya, menghargainya”. Setelah itu terasa sebuah
kecupan di puncak kepalaku, Papa mematikan lampu dan kamarku menjadi gelap, lalu langkah papa terdengar menjauh dan hingga
menghilang di balik pintu.
***
Aku mengabaikan kata-kata papa aku tak
ingin putus begitu saja dari Arden, jadi aku mencarinya dan mendatanginya,
memperbaiki untuk mempertahankan hubungan yang ada diantara kita “Aku mau
melakukan apapun asalkan kita nggak putus” aku mengatakan hal itu di depan
Arden dan teman-temannya yang sedang berada di ruang ganti, mereka baru saja
memenangkan pertandingan basket antar sekolah.
Arden diam dan mengabaikanku.
“Arden please…” pintaku. “Aku nggak bisa hidup tanpa kamu” aku memohon.
Arden menarik tanganku keluar ruangan,
suara tawa dari teman-temannya terdengar di belakang kami.
“Apa yang bisa kamu lakukan buatku?”
Arden menantang
“Apapun”
“Fine…kamu
yang meminta” mata tajamnya menatapku. Setiap kali mata itu memandangku,
jantung berdetak lebih kencang, dan saat wajahnya mendekati wajahku, lalu
bibirnya menyentuh bibirku, yang kutau bahwa inilah ciuman pertamaku. “Jam
tujuh di rumahku, aku tunggu”
***
“Arden aku nggak bisa?” tolakku
halus
“Kamu sayang kan sama aku?” tanya
Arden
“Tapi bukan begini”
“Terus bagaimana lagi?”
“Nanti…bukan sekarang saat kita
sudah menikah”
“Kembalilah ke jaman purba Athya”
Arden melepas pelukannya dan menjauh, dia marah, dan aku menjadi merasa
bersalah.
“Aku sayang kamu Den” Aku
berjalan ke arahnya dan memeluknya.
“Tapi nggak sesayang itu” dia
menolak untuk memandangku. “Kalau kamu masih ingin ke prom nite minggu depan sama aku, ikuti mauku atau tinggalkan aku.”
Aku menyayangi Arden, dan tak
mungkin bagiku untuk melepaskannya begitu saja, aku jatuh cinta padanya sejak
kami duduk di kelas sepuluh, dulu aku hanya memandangnya dari jauh, kupikir aku
seperti pungguk merindukan bulan tapi segalanya berubah sejak tiga bulan lalu
saat Arden tiba-tiba menyatakan cintanya padaku, ini seperti impianku yang menjadi
kenyataan. Harapanku selanjutnya sederhana saja, di malam prom nite nanti, Arden lah yang menjadi prom date-ku. Jadi tak ada pilihan lain buatku untuk menyelamatkan popularitasku di akhir masa
sekolah nanti, tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti apa yang
diinginkannya. Jadi aku menyerah, dan aku menyerahkan segalanya pada Arden, ini
memang salah, tapi pada saat itu otakku membenarkannya.
***
“Hanya gara-gara kamu mencintai
aku dan telah menyerahkan segalanya kepadaku itu berarti bahwa aku harus terus
bersamamu?” Arden tak mau melihatku, dia asyik mendribble bola di lapangan. “Sorry,
aku punya cewek lain sekarang, dan satu-satunya alasan aku macarin kamu adalah …yang
pertama, kamu cewek paling pinter sesekolah, yang kedua, paket soal ujian kita
sama, yang ketiga dari dulu kamu menyukaiku, hey…don’t be stupid, cowok kayak gue nggak bakalan mau macarin kutu
buku tanpa alasan” setelah itu Arden meninggalkanku, dan ada gadis kelas satu
anggota cheer leader yang baru
menunggunya di tepi lapangan, lalu mereka menertawai kebodohanku.
***
Aku menangis seharian, menyesali
kebodohanku, menyesali cintaku yang tak lebih sebuah obsesi palsu. Mengapa
begitu mudahnya bagiku terlena topeng tampan rupawan monster tak beradab
seorang Arden? Ada rasa berdosa ada rasa bersalah yang kini terasa sia-sia.
Hingga aku mengambil langkah tak bijaksana, melakukan percobaan untuk pergi
dari dunia…darah telah mengalir dan berwarna sangat merah, mataku terasa
terbakar oleh perihnya air mata, di saat kesadaranku mulai menghilang aku
melihat sosoknya di sana…pria yang paling mencintaiku, pria yang tak pernah
meninggalkanku.
***
Lukamu
tak mengenai nadimu, untung papa tepat waktu dan lukamu tak seberapa dalam…”Papa
sedang membalut tanganku yang terluka “ kamu selalu takut darah kenapa memilih
cara yang salah, kalau niat bunuh diri kenapa nggak sekalian bunuh diri di rel
kereta?” lalu papa tertawa, pura-pura bercanda..itu hanya untuk membuatku
tertawa… tapi aku tak kuat untuk pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja....
“Mau
memaafkanku?” aku bertanya, takut dan ragu.
Papa
terdiam
“Kesalahanku
tak termaafkan” bisikku pelan
Papa
masih saja terdiam
“Aku
… maaf… aku salah karena telah…melakukan apa yang tak seharusnya aku lakukan”
Papa
tersentak kurasa dia memahami maksudku, dia berhenti untuk membalut lukaku lalu
menatapku lama, beberapa kali dia menggeleng seakan tak percaya, aku menangis, begitu
pula dengan mata lelah yang kini memandangku.
“Sudahlah”
seakan bicara pada diri sendiri, dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya,
beberapa saat setelah dirasanya cukup menenangkan, dia melepaskan pelukanku “Tak mungkin bisa mengubahnya, nyaris tak
mungkin untuk mengembalikan kekeadaan semula, satu-satunya cara untuk
memperbaiki adalah dengan tak menyesali dan bersedih.”
Papa
melanjutkan membalut lukaku dan setelah lukaku terbalut sempurna, seperti pada
saat kecil dulu papa menciumi bekas lukaku itu. Selalu seperti itu, ciumannya
akan menyembuhkanku dan aku percaya. “Papa
mungkin bisa mengobati lukamu, tapi tidak patah hatimu” Saat mengatakan hal
itu air mataku kembali tertumpah. Namun dalam hati aku tau, seorang ayah mampu
melakukan apapun, aku percaya, jadi aku mengatakannya.
“Jika
tak bisa memperbaiki… maukah papa membantuku mengurangi rasa pedihnya?” aku
meminta dalam tangisku.
“Apapun
jika aku mampu” jawab papa dan dia memberiku senyum yang menenangkan.
Malam
ini cukup sudah kesedihan yang layak untuk kurasa, tak ingin Arden berbahagia
karena membuatku menderita, jadi kuputuskan untuk tetap berada di sana untuk berpesta…inilah
impian terbesarku sepanjang masa SMA tak ingin menjadikannya sia-sia.
“Please…jadilah
Prom Date-ku, karena papa
satu-satunya pria yang mencintaiku apa adanya, yang akan selalu melindungiku
yang tau apa yang terbaik buatku, satu-satunya pria takkan mungkin mencampakkan
aku” kataku cepat dan serak
Papa mengangguk dan seperti biasa papa
selalu bisa mengubah air mataku menjadi senyuman.
Gambar : ourdreamweddingdance.com
Keingetan Ayah :')
BalasHapusSukaaa banget sama ceritanya :)
aku juga suka Cippa, makasiii ya Cippa udah membaca ceritaku hehehe :)
Hapusceritanya bagus nih :)
BalasHapusjadi terharu bacanya..hehe
makasiii udah baca, btw salam kenal ya :)
Hapus