Sumbawa Besar, Akhir Oktober 2012
Agit
sebenarnya ingin membenci, tapi menurut Agit membenci adalah emosi yang tak
boleh dimiliki, karena itu menyakitkan sekali. Dan, nantinya hatilah yang
paling merasakan pedih. Agit sungguh tak mengerti kenapa bisa begini.
Memutuskan
ikatan persahabatan hanya karena seorang pria? Agit jarang menggunakan kata
pria, lidahnya lebih sering mengucapkan kata cowok untuk menyebut gender
tersebut. Namanya Devon dan sekarang Agit berharap tidak pernah bertemu
dengannya. Devon itu berusia dua puluh sembilan tahun, tiga tahun lebih tua
darinya, itulah kenapa dia menyebutnya pria, itu bukan karena jumlah umurnya
yang menjadikan dia layak disebut pria, tapi sikapnya. Devon adalah pria
pertama yang membuat Agit nyaman berdiskusi dengannya, dan juga orang pertama
yang membuat Agit merasa dipandang sebagai seorang perempuan bukannya cewek.
Eits
sepertinya kita harus meluruskan sebelum kesalahpahaman menjadi sebuah
persoalan besar. Karena hubungan Agit dan Devon benar-benar menjadi masalah
yang besar. Agit tidak memiliki perasaan ... semacam suka atau sayang atau
sejenisnya kepada Devon. Agit hanya merasa Devon adalah orang yang tepat untuk
diajak berdiskusi, walau harus Agit akui mereka memiliki kendala, bahasa
Inggris Agit tidak terlalu bagus, belum lagi indera pendengarnya sering kali
berfungsi tidak maksimal, dan logat Swiss-Jerman Devon terlalu kental. Sekedar
informasi Devon adalah seseorang yang Agit dan Marsha kenal dari situs CouchSurfing,
dan mereka memberi Devon tumpangan di rumah orang tua mereka.
Bertemu
seseorang yang menunjukkan wajah antusias ketika mendengarnya bicara dan mereka
memiliki hobi yang sama serta adanya ‘unsur pemanfaatan’ Agit yang menjadikan
Devon sebagai narasumber di kelasnya yang sungguh seperti sebuah kesempatan
langka yang menjadi kenyataan. Di kelas XII Agit sedang membahas materi Sistem
Pemerintahan di Dunia dan kebetulan negara si Devon ini satu-satunya negara
yang bersistem referendum. Terdengar sederhana, kan? Tapi tidak bagi Arika.
Arika, Agit, Marsha, Devon dan beberapa teman lainnya menghabiskan waktu
bersama selama liburan, hingga di penghujung liburan, sepulangnya mereka dari
Pulau Moyo, masalah itu seolah berguling menjadi bola salju yang membesar,
membesar dan menghantam!
Agit
awalnya cuma minta ijin untuk merekam Devon dengan meminjam kamera Marsha. Dia
hanya akan meminta Devon untuk menceritakan beberapa fakta tentang pemerintahan
negaranya. Tapi, Devon berpikir akan jadi ide bagus jika dia berkunjung ke
sekolah, dia bahkan bercerita bahwa ibunya adalah guru. Sayang, ayah Agit nggak
suka Devon mengikuti Agit pulang ke kosannya.
“Apa
kata orang kalau kamu membawa-bawa orang asing dan memberi tumpangan di
tempatmu? Kamu itu ngekos bukan punya rumah pribadi, apa kata orang?” Ayah Agit
mengulangi kata apa kata orang dua kali, seakan itu adalah penegasan yang tak
boleh dibantah, dan memang begitulah adanya.
“Kenapa
sih kita harus selalu mikirin kata orang, pak?” khas Agit, menjawab pertanyaan
dengan pertanyaan.
Ayahnya
terdiam sejenak dan mulai mengeluarkan kata yang tak boleh dibantah. “Pokoknya
nggak boleh, titik.” Betapa orang tua bisa menjadi seorang diktator kejam tanpa
ampunan. Agit tak mengerti kemarin ayahnya sangat ramah pada Devon dan sekarang
ayahnya bahkan menunjukkan ekspresi permusuhan, mereka bahkan merayakan Idul
Adha bersama. Ayahnya bahkan tak ingin berjabat tangan ketika Devon pamit, hari
itu rencananya Devon dan Agit akan berangkat ke kosan Agit tapi rencana
berubah, Devon akan menyusul nanti. Untuk sementara Devon tinggal di tempat
Arika.
***
Seteluk-Maluk-Seteluk, Oktober 2012
Agit
itu nggak boleh capek, badannya emang payah, dan imunnya sangat manja. Agit
sakit, tapi dia kasihan ketika besoknya Devon memenuhi janjinya. Devon muncul
di sekolahnya, padahal dengan mempertimbangkan sikap ayahnya Agit, dia berharap Devon tak usah datang menemuinya.
Walau sebenarnya Agit sangat berterima kasih pada ‘kehebohan kecil’ yang
diciptakan Devon di kelasnya, cekikikan-cekikikan genit anak-anak cewek dan
pandangan tak bisa di jelaskan di wajah anak-anak cowok. Belum pernah pelajarannya
mendapat antusias seperti itu sebelumnya. Bahkan, bahasa dan pemahaman tak
menjadi kendala.
Agit
memang nggak enakkan, tadinya dia
hanya akan berterima kasih atas kebaikan Devon dan mereka akan saling
mengucapkan selamat tinggal sesudah Devon mengunjungi sekolahnya. Tapi, tidak
begitu. Devon malah mengajak Agit untuk mengunjungi pantai Maluk, terakhir kali
ke Maluk adalah ketika Agit KKN, Agit KKN di tempat bernama Sekongkang dan
untuk mencari hiburan Agit dan teman-temannya kadang ke sana. Tapi, Agit benci
pantai. Agit nggak suka suasana pantai, Agit suka laut! Pantai terlalu sering
dikomersilkan dan jadi sasaran dari mereka yang tidak bertanggung jawab.
Sementara laut selalu memberi efek menenangkan buat Agit. Agit selalu bahagia
saat berada di lautan.
Mereka
duduk di kursi yang saling berhadapan. Ada meja kayu diantara mereka, masih
terlalu panas untuk duduk-duduk di pasir. Devon yang pertama kali dikenalkan
Agit dengan mangga beberapa waktu lalu, kini menjadikan mangga sebagai
favoritnya, dia menikmati jus mangganya. Sementara Agit memilih larutan
penyegar. Badannya demam dan terasa ada yang membakar di dalam tenggorokkan.
Mereka diam untuk beberapa saat, mengacuhkan betapa indahnya lautan, karena
masing-masing suara dalam kepala mereka sebenarnya ingin membicarakan apa yang
seharusnya mereka bicarakan. Tapi, Agit akan lebih suka kalau seandainya bisa
melupakan apa yang ingin dia bicarakan. Apa yang ada di otaknya menjadi semacam
beban yang membuat dia bisa melihat bintang-bintang berputar seperti halo di
sekeliling kepalanya.
“Mau
membahas kenapa ayahmu bersikap buruk padaku?” Devon menatap dalam pada mata
Agit, Agit memilih untuk mengalihkan pandangan dari mata berwarna biru
kehijauan itu. Matanya membuat Agit teringat banyak hal indah, biru dan hijau
dua warna alam yang membuat nyaman. Namun, sinar matanya membuat Agit tak ingin
menatap mata itu lama-lama.
“Entahlah,”
Agit mengangkat bahu. Agit sungguh-sungguh tak tahu dan kalaupun Agit tahu Agit
takkan mengatakannya.
“Apa
itu semacam proteksi untuk anak gadisnya?” Pertanyaannya bernada tuntutan akan
sebuah alasan. Dia tak memerlukan jawaban sesederhana ya atau tidak, apalagi
sebuah kebisuan.
“Mungkin,”
“Aku
tak ingin kata mungkin.”
“Jadi?”
“Apa
kita harus membahasnya?” Agit terdengar tak sabaran, apalagi beberapa SMS dari
Arika membuat dia sedikit kerepotan. Arika bercerita tentang betapa begonya
Devon yang bersikap terlalu sopan pada perempuan. Dasar Arika, memangnya dia
mau lelaki mesum kurang ajar? Tapi yeah Arika adalah jenis orang yang suka
tantangan, malah terlalu berani hingga rela menanggung resikonya dengan suka
cita. Arika menikmati hidup dengan cara dan aturannya sendiri, tapi ketika dia
mendapat masalah dia selalu menyeret orang-orang dalam hidupnya dan itulah yang
kurang disukai Agit.
“Menurutku
harus, apa dia khawatir? Aku tak berniat jahat, sungguh.” Agit mulai merasa tak
nyaman, dia mengambil majalah dari tasnya dan memutuskan untuk membaca. Agit tahu
itu adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan, dia benci menjawab apapun yang
tak bisa atau tak ingin dijawabnya. Masalahnya sekarang Agit tak melihat
kesempatan untuk bisa menjawab pertanyaan Devon dengan ‘pertanyaan’.
“Aku
ingin membaca dan sepertinya laut memanggilmu untuk berenang.” Agit bahkan tak
mau mengangkat wajahnya, padahal itu majalah lama dan dia sudah pernah membaca
isinya. Tadi, Agit asal saja mencomot majalah dari rak bukunya. Dia sengaja mengabaikan
Devon dan menunjukkan wajah antusias tak alamiahnya pada artikel berjudul (Not)
Just a Geek yang berisi profile singkat para cowok nerd yang menurut Agit itu seksi, Agit selalu suka pada cowok
bertampang cerdas dan sedikit malu-malu. Apalagi cowok-cowok itu adalah mereka
yang berada di belakang layar kesuksesan sosial media, yeah si famous Mark Zuckerberg salah satunya,
tapi Agit lebih suka pada David Karp, si founder
dan CEO Tumblr. Dari sini harusnya kita bisa menebak bahwa Devon bukan tipe
Agit, apalagi Devon berasal dari dunia politik. Agit tak punya alasan untuk
memberi kepercayaan padanya.
Sayang,
Devon sepertinya tak ingin menyerah.
“Kamu
tahu, kadang aku merasa kamu seperti ibuku ... “
Hah?
Agit nyaris naik darah! Agit dipikir kayak emak-emak?
“Kalian
sama-sama guru, suka sekali membaca. Seharusnya kamu tak terjebak di sini. Kamu
harus tinggal di tempat kamu bisa menemukan banyak buku. Toko-toko buku,
perpustakaan, juga galeri seni. Aku tahu kamu adalah tipe yang tertarik kepada
seni. Matamu berbinar ketika melihat sesuatu yang indah.”
Agit
lama bisa mencerna dan mengerti apa yang Devon katakan, tapi setelah itu dia
mengangguk-angguk pelan. Entah apa yang harus Agit katakan untuk merespon
kata-kata Devon, dia sungguh tak punya ide.
“Kamu
dan ibuku pasti akan cocok satu sama lain. Devon mengambil majalah dan
menutupnya. Kalian akan membahas Les Miserables, The Great Gatsby, Anna
Karenina. “
“Hey
Devon, kamu lihat gadis di arah jam tiga? Dia memperhatikanmu.” Gadis sintal
berkulit cokelat dengan anting sebesar gelang yang menurut Agit tidak cocok
dengan suasana pantai, nampak tengah memperhatikan Devon. Gadis-gadis seperti
itu banyak di sekitar pantai dan seseorang seperti Devon adalah target mereka.
“Berikan senyummu,” Agit setengah berbisik, tapi Devon malah memandanginya
dengan antusias. “Kamu kemarin dan hari ini berbeda.”
“Kamu
hanya melihatku dengan sudut pandang berbeda, kemarin di rumah aku adalah si
gadis yang memakai tank top dan hotpants, dan kamu terkejut ketika aku
di sini. Aku bekerja di sini, memakai jilbab dan baju sopan. Dan sekarang...”
Agit merentangkan badannya dan mengamati tunik merah hitam casual lengan panjang dan legging
sebatas mata kakinya. “Di saat kerja aku berjilbab, semacam seragam.” Dan di
luar walau tak berjilbab tapi aku berusaha sopan. Di rumah, selamanya aku dianggap
gadis kecil orang tuaku. Di sini, aku tak boleh begitu. Aku sedang berusaha
untuk mengubah pola pikirku, ini bukan soal fashion.
Ini kenyamanan dan yeah, mungkin aneh buatmu dan jangan bertanya ... kumohon...
aku tak ingin menjelaskannya.”
“Bukan
itu, tapi sikapmu. Bukan yang kamu kenakan yang menjadikan siapa kamu ...
Brigitta ... kamu sedang tidak menjadi dirimu sendiri.” Agit benci ketika
seseorang menggunakan nama utuhnya bukan panggilannya. Di rumah, jika orang
tuanya memanggilnya begitu, itu berarti dia ada dalam masalah, dan sekarang
nampaknya itupun akan berlaku sama. Agit melipat kedua tangannya di dada dan
wajahnya tak lagi memiliki ekspresi. Devon berdiri, mengambil ransel pinjaman
Agit yang berisi barang-barangnya, karena ranselnya sendiri terlalu besar.
Devon mengeluarkan dompetnya dan meminta Agit untuk ke kasir. Dia mengeluarkan
kain pantai Bali berwarna kuning dan menyerahkannya ke Agit. “Aku akan ganti
baju, dan sebaiknya kamu menungguiku berenang.” Agit memutar bola mata.
***
Maluk-Seteluk, Oktober 2012
Agit
minta pulang cepat. Dia tidak ingin berlama-lama di pantai. Jangan sampai
mereka melewatkan sunset bersama.
Agit tak mau melewati moment romantis
bersama seseorang seperti Devon. Sebenarnya dua hari lalu mereka menikmati sunset bersama di perahu sepulangnya
mereka dari pulau Moyo. Agit masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana Arika
tertidur dan bersandar di lengan Devon. Arika mencari-cari kesempatan.
Sementara dia dan Devon duduk saling berhadapan dan berbagi sebuah papan. Marsha
dan teman-teman lainnya, duduk agak jauh dari mereka. Agit merasa terintimidasi
duduk berhadapan dengan Devon, apalagi dia mulai mengajaknya bicara. Berbicara
dengan keras dan setengah berteriak, melawan suara mesin perahu yang bising.
“Aku
suka namamu! Dalam bahasaku Brigitta berarti kekuasaan, kamu adalah gadis yang
kuat. Itulah yang dibutuhkan oleh perempuan, menjadi kuat dan memiliki
kekuasaan.”
Agit
kurang suka arti namanya menurut versi orang Swiss. Brigitta, bukan nama yang
dipilih oleh orang tuanya karena mereka kebule-bulean. Brigitta adalah dua kata
dalam bahasa Sumbawa yang digabungkan. Bri
berarti senang dan Gitta artinya
melihat. Yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang senang dilihat atau
diperhalus menjadi sesuatu yang senang dipandang karena keindahannya. Agit tak
mau repot-repot menjelaskannya pada Devon. Agit memilih untuk mengalihkan
pandangannya dari pria yang ekspresinya menjadi cerah karena hampir dua menit
sekali bibirnya membentuk sebuah senyuman. Agit memutuskan memandang matahari
terbenam yang tampak memberi efek ajaib pada langit yang berwarna jingga
keemasan. Agit bahagia karena laut selalu memberinya alasan untuk bahagia.
Sementara tanpa Agit sadari, bahwa Devon mengambil kameranya dan membidik
gambar Agit yang setengah bersandar pada badan perahu dan memandang ke mentari
terbenam. Ada dua hal indah terekam di sana.
Di
sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali Devon mengajak Agit mampir di
pantai-pantai yang mereka lewati. Agit sedang dalam mood jelek lagipula demam Agit semakin tinggi. Dia tak ingin
menunjukkan betapa dia sedang sakit, mereka akhirnya mampir di sebuah tempat
makan sederhana. Agit bahkan tak menyentuh makanannya. Sebenarnya Agit kasihan
pada Devon, karena dia merasa telah merusak perjalanannya. Tapi, mau dikatakan
apalagi, kesehatannya sendiri toh tak ingin bersahabat dengannya. Mereka
akhirnya pulang ke kosannya Agit, tak seperti Agit yang biasa dia tak banyak
bicara walau Devon mengajukan banyak topik yang sebenarnya menarik.
Agit
duduk di sofa tiupnya yang seperti sebuah balon bundar, sementara Devon
bersandar pada sofa itu, itu membuat Agit risih, apalagi dengan postur
jangkungnya Devon dan mengingat betapa mungilnya Agit, mereka sekarang tampak
dekat dan sejajar dalam posisi ini.
Mereka
terdiam dan pura-pura tertarik pada televisi yang memutar film horror lama, The Sixst Sense. Setidaknya
bukan drama romantis dimana adegan ciuman dan saling menggoda nyaris menjadi
menu utamanya. Untuk pertama kalinya Agit bersyukut televisinya payah karena
televisinya tak lagi berfungsi sempurna, layarnya hanya berwarna hijau, itu
membuat semua orang tampak seperti monster atau alien. Devon bertanya kenapa
televisinya seperti itu, dengan cuek Agit menjawab bahwa televisinya aktif
melawan Global Warming—salah satu
usaha mendukung program Go Green!
Di
adegan ketika ibu si Cole tampak sangat frustasi, Agit menggunakan moment ini, dia meniru dialog yang sudah
dihafalnya—Agit sudah menonton film ini belasan kali karena Fox Movies memang
memutarnya sering kali.
“God, I
am so tired, Devon. I'm tired in my body. I'm tired in my mind. I'm tired in my
heart. I need to sleep.” Suara Agit terdengar serak, ketika Agit bangkit
tak sengaja Devon menyentuh lengannya dan dia merasa badan Agit terlalu panas,
kekhawatiran terlukis di wajahnya.
“Kamu
sakit?”
“Aku
akan baik-baik saja, aku harus pergi sekarang, aku akan numpang tidur di
tetangga.” Agit tak berbalik, dia hanya menyambar dua handphone-nya. Biasanya dia akan mengecek handphone-nya, tapi malam ini dia bahkan lebih lelah dari ibu yang
memiliki anak laki-laki berindera keenam. Mengambaikan sejumlah SMS dan missed call di handphone-nya. Agit
memakai mode silent, dia hanya ingin
tidur tanpa terganggu, walau menumpang tidur di kamar tetangga sebelah saat
sakit tidak memberi kenyamanan, tapi tidak ada pilihan lainnya. SMS-SMS di handphone-nya bertambah banyak dan itu
berasal dari satu orang. Di suatu tempat di sana, ada kecemasan seorang Arika,
yang berpikir kejadian romantis kemarin malam bersamanya tengah terjadi antara
Devon dan Agit. Bukti bahwa dia bukan sahabat sejati Agit, karena jika dia
mengenal Agit secara baik, maka dia tak perlu berpikir picik.
Agit
tak mungkin jatuh cinta pada orang yang baru ditemuinya. Tidak ada orang waras
yang berniat jatuh cinta pada orang yang dia tahu takkan pernah lagi bisa dia
temui.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar