Judul Buku :
Sognando
Palestina:Impian Palestina
Jenis Buku :
Fiksi
Penulis :
Randa Ghazy
Penerbit : Pustaka
Alvabet
Cetakan : Februari
2006
Tebal : 232
ISBN : 979-3064-17-X
Ikhtisar :
Perang, kekerasan, ketakutan. Di balik itu
tersimpan persaudaraan, cinta dan persahabatn. Sekelompok remaja Palestina,
memutuskan untuk hidup dan bertahan di masa sulit. Masa berkobarnya rasa balas
dendam, bom bunuh diri dan pengusiran. Meskipun demikian, mereka berusaha
menjalani kehidupan yang normal, penuh solidaritas, dan keceriaan. Padahal
setiap hari bisa saja menjadi hari terakhir bagi siapa saja. Satu-satunya
senjata untuk bertahan adalah jiwa yang tegar dan keinginan untuk berjuang
sampai titik darah penghabisan.
Ditulis oleh gadis belia berusia 13 tahun,
novel kontroversial yang bermula dari cerita pendek peraih anugerah sastra di
Italia ini telah menggemparkan dunia dan telah diterjemahkan dalam pelbagai
bahasa dunia. Sogando Palestina menuai kritik pedas dari kaum Yahudi yang tidak
rela dunia mendengar, menyaksikan atau membaca selain dari materi yang sejalan
dengan sudut pandang mereka.
***
Cukup
dengan membaca ringkasan di balik buku membuat saya meyakini bahwa buku
memiliki kekuatan. Gadis 13 tahun bernama Randa Ghazy yang bukanlah penduduk
Palestina, sanggup menulis tentang tema yang tak mungkin hanya dikhayalkan
sebelum dituliskan. Apalagi diperkuat oleh testimoni dari New York Times pada
sampul depan buku ini sebagai “Karya Sastra yang luar biasa, langsung meledak
dan memberi persfektif yang berbeda.” Sampul buku tak kalah dalam memberikan
sentuhan yang seolah membawa jiwa penuh luka rakyat Palestina yang tertulis di
dlam buku ini. Itulah sedikit gambaran fisik dari buku yang apabila boleh saya
beri nilai, maka buku ini bernilai 90, nyaris sempurna.
Halaman
pertama membuat saya terhenyak, karena dibuka oleh barisan puisi yang berisi
kekuatan untuk melawan, seperti ini:
Tanpa gentar aku 'kan melawan
Ya, tanpa gentar akan kulawan
Di tanah tumpah darahku, aku
akan melawan
Siapapun yang mencuri milikku
akan kulawan
Siapa yang membunuh
anak-anakku akan kulawan
Siapa yang robokan rumahku,
akan kulawan
Oh, rumahku tercinta!
Di bawah puing-puing
tembokmu, aku akan melawan
Tanpa gentar akan kulawan
Dengan segenap jiwaku, aku
akan melawan
Dengan tongkatku, dengan
pisauku, akan kulawan
Dengan bendera di tanganku,
akan kulawan
Meski mereka potong tanganku
Dan nodai benderaku,
Dengan tanganku yang lain,
akan kulawan
Tanpa gentar akan kulawan
Jengkal demi jengkal, di
ladangku, di tamanku, akan kulawan
Dengan tekad dan keimanan,
akan kulawan
Dengan kuku dan gigiku akan
kulawan
Dan meski tubuhku
Tak lebih dari kumpulan bekas
luka-luka menganga
Dengan darah dari
luka-lukaku, aku 'ka melawan
Tanpa gentar akan kulawan
Kenapa harus melawan dan tak menyerah saja?
Bawa saja ke Mahkamah Internasional! Tentu tidak bisa! Kenapa? Karena pada
kenyataannya mereka hanya orang-orang Palestina yang mngetahui kenyataan bahwa
mereka sendirian. Karena dunia tak peduli, sama sekali acuh tak acuh-apakah ada
satu lagi yang mati atau berkurang. Hanya sekedar angka-angka. Kau mengerti?
Sekedar angka-angka dan dunia cukup berkata “kasihan”. Bahkan kadang-kadang
mereka tak berkata sepatah katapun, karena mereka terlalu sibuk berganti
saluran televisi. Tetapi pada akhirnya hal itu tak penting. Apa gunanya, kan?
Itu hanya perang orang Palestina tidak ada sangkut pautnya dengan dunia.
Orang-orang Palestina harus bertahan!kenapa? karena mereka menjaga masjid suci
Al Aqsha, menjaga tanah wakaf para muslim. Mereka menjaganya untuk dunia! Dan
bukankah Allah Yang Maha Pengasih bersabda: Pertahankanlah tanah dan keluarga
kalian. Apabila ada seseorang yang merampas tanah kalian, menguasai rumah
kalian, merampas hak atas harta benda kalian, maka berjuanglah. Berperanglah.
Perang, yang membuat para remaja yang menjadi
tokoh-tokoh dalam kisah ini, mau tak mau harus segera tumbuh dewasa dan melawan
ketakutannya untuk bisa bertahan. Perang sebagai hal yang menuntut mereka untuk
melawan dan mempertahankan iman. Israel mampu menghancurkan segalanya tapi
tidak Islam dan keimanan warga Palestina. Bagaimana perang menjadi saksi
tentang cinta dan pershabatan dan kerinduan mereka untuk hidup dalam kedamaian.
Adalah Ibrahim yang hidupnya berubahsejak kematian tragis ayahnya. Ibrahim
kemudian meninggalkan bangku kuliah, dan mulai berkeliling kampung-kampung Gaza
selama bertahun-tahun. Dia mencoba menjadi lelaki seperti ayahnya. Sehingga
singkat cerita, Ibrahim bertemu dengan orang-orang yang senasib dengannya,
pemuda-pemuda lain, yang karena kepedihan, dan kehilangan anggota keluarga,
membuat mereka bersatu serta saling menyayangi. Mereka menjadi keluarga
baginya. Nidal, Ramy, Mohammad, Ahmed, Jihad, Riham, dan Wilad, yang
masing-masing mempunyai karakter berbeda, tapi memiliki impian sama akan
kehidupan damai di tanah Palestina.
Buku ini sangat penuh dengan hal yang membuat
pembaca berdecak penuh kekaguman Penulisnya terlalu belia untuk bisa menuliskan
kepedihan dan keputusasaan yang begitu mendalam. Mencoba menukar posisinys
sebagai penulis dan tokoh yang bercita-cita memiliki kehidupan normal yang
dimiliki penulis walau saya yakin sang penulis tak berkeinginan menghadapi
kehidupan dalam pengungsian akibat peperangan. Mungkin jawabannya mengapa Randa
mampu menuliskannya, karena rasa simpati dan empati atas seseorang bernama
Jamal ad-Durrah yang tertulis di halaman persembahan. Nyaris seisi buku
bercerita tentang kepedihan dan tak seperti dongeng yang menjanjikan bahagia buku
ini jelas berkisah tentang perjuangan tanpa ujung karena mereka percaya yaitu janji Allah SWT.
yang akan memberikan surga bagi mereka, kaum yang tertindas dan berjuang di
jalan Allah SWT.
Tentu saja cerita ini membuat Yahudi berang,
karena mereka digambarkan sebagai tentara-tentara yang berperilaku monster yang
membunuh anak-anak dan orangtua, membuat masjid-masjid dibanjiri darah dan mayat, pemerkosa wanita-wanita
Palestina. Tapi penulis cukup bijaksana, karena dia menuliskan bahwa tidak
semua orang Yahudi jahat, bahwa tak
sedikit Yahudi yang menentang kekejaman tentara dan kebijakan pemerintahnya
sendiri. Penulis juga bercerita tentang cinta antara pemuda Palestina beragama
Kristen, Ramy, dan seorang gadis Yahudi, Sarah. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa
masalah di sini bukan hanya teletak pada agama dan kepercayaan, namun juga
terdapat intrik politik.
Walau buku ini memiliki kekuatan memikat dengan
tema kemanusiaannya namun sayang penyajiannya sedikit mengecewakan, terutama
sering tertinggalnya narasi di percakapan yang penuh emosi sehingga membuat
pembaca kebingungan tentang bagian tokoh yang tengah diceritakan. Terutama di
bab satu, hal ini nyaris menghentikan saya untuk membaca. Juga tentang paragraf
yang berantakan dan terkesan seperti kalimat-kalimat tunggal yang sengaja
dibuat kacau karena mengingat penulisnya masih berusia cukup muda, namun
bukankah itu tugas dari editor? Entahlah. Atau juga karena disebabkan oleh
terjemahan yang kurang kuat mengingat bahwa buku ini merupakan terjemahan dari bahasa
Itali.
Akan tetapi pada akhirnya, bahwa buku ini
memberi pembaca gambaran tentang luka dan penderitaan rakyat Palestina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar