"Tidakkah
kamu merasa konyol untuk memenuhi janji kepada gadis enam belas tahun, dengan
bersedia menjadi valentine-nya?"
Lelaki dua puluh delapan tahun dengan sorot mata serius dan bertubuh tegap yang
tak terlihat seperti orang dengan pengidap Lolita
Complex Syndrome itu, seakan
ingin menghantamkan tinju pada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dia ingin
mematahkan hidungnya dan merobek bibirnya yang memasang senyum mengejek. Lebih
dari segalanya dia ingin membungkam mulutnya agar pertanyaan yang diajukannya
berhenti mengema di dalam kepalanya. Pertanyaan itu membuatnya seperti
merasakan bisikan yang ditakutkan oleh para penderita schizoprenia.
Alis lelaki di depannya meninggi,
ekspresinya seolah berkata bahwa dia sudah tak sabar untuk menunggu jawaban
yang dituntutnya. Akal sehatnya berusaha memenangkan diri dengan menunjukkan
apa gambaran yang akan terjadi bila dia
melukai lelaki itu. Iya akan ada perasaan puas yang melegakan tapi dia tahu dia
akan dikalahkan bukan hanya oleh dirinya yang gagal mengontrol diri, tapi dia
tahu sekali bahwa dalam perkelahian ini dialah yang akan terluka. Kulitnya
tergores bahkan terkoyak dan juga dialiri darah yang membuat lukanya terasa
kian pedih. Sementara lelaki yang hanyalah bayangannya akan menjadi sang
pemenang yang bukannya semakin lemah tapi dia akan memperbanyak dirinya―
sebanyak kepingan pecahan cermin yang dihantam tangannya.
Untuk sesaat Krisna merasa dirinya gila.
Dia menghela nafas tapi dengan segera dia menyesalinya, itu tak lebih dari
bahasa tubuh mereka yang menyerah. Krisna ragu pada dirinya, apakah dia
sedemikian putus asanya untuk bisa mencicipi sedikit cinta di hari yang kata
mereka adalah hari kasih sayang. Hari yang dihiasi cokelat, bunga, boneka
beruang dan aura merah muda di udara. Dia mengenyahkan keraguannya dengan
segera, seakan hanya dengan berkata dalam hati semua akan baik-baik saja maka
segalanya akan sedemikian adanya. Ini lucu dan dungu, ada sosok mengejek dari
dalam dirinya yang kita terbahak, saat Krisna selesai mengancing kemejanya,
meraih sekotak cokelat praline khusus
yang dipesannya, dan melangkah menuju gadis centil yang kini tersenyum manis
dalam kepalanya.
***
Nena mengerucutkan bibirnya lalu
melebarkan bibirnya yang membentuk senyum merekah yang membuatnya kecewa karena
tak lama, dengan marah dia menghapus lipstik berwarna merah menyala dari
bibirnya dengan tissue yang kini
bernoda sewarna darah. Gumpalan tissue
itu kini bergabung dengan gumpalan-gumpalan tissue
yang bernasib sama, yang menyebar hampir di seluruh lantai kamarnya yang
dihiasi karpet berbulu. Tanpa perlu efek dramatis dari lipstik itu dia tahu
bahwa sebuah lipstik tak mampu menipu. Pulasan lipstik tak bisa menyamarkan
usia seorang perempuan.
Kekesalannya memuncak manakala dia membuka
lemari pakaiannya dan dia menyadari betapa miskinnya dia. Tak ada satupun gaun
yang bisa dipakai untuk kencan malam valentine-nya yang tinggal satu jam lagi.
Secara membabi buta Nena menarik belasan gaun miliknya yang tergantung untuk
dihempaskan ke tempat tidur. Kekesalan berubah menjadi kemarahan yang berakhir
menjadi keputusasaan saat Nena menyerah dan menelpon adiknya yang hanya berada
di kamar sebelah untuk meminjamkan Nena floral
mini dress yang bulan lalu Nena berikan sebagai hadiah ulang tahun.
"Tapi aku belum sempat memakai
gaunnya," rajuk Nilam. "Bukannya mbak Nina punya jutaan gaun
lainnya?" Tambahnya dalam nada kesal yang berlebihan.
Nina menghela nafas panjang, dia berusaha
menggunakan akal sehat dan berkompromi dengan dirinya dan setelah dirasa keputusannya
tepat, akhirnya dia mengajukan penawaran untuk adiknya yang dia tahu tak bisa
menolak kertas bernominal.
"Ya atau tidak, seratus ribu untuk
nyewa gaunnya...." Nina memejamkan mata saat mengucapkannya, dia masih
merasakan sisa kekesalan menyiksa dirinya.
"Dua ratus lima puluh ribu ditambah stiletto dan clutch bag yang serasi." Tak ada pilihan lain bagi Nena selain
membiarkan adiknya memerasnya, dan dalam hati dia memaki mereka yang
membenarkan ungkapan bahwa darah lebih kental daripada air. Jika menyangkut
uang saudaranya bahkan bersedia menjadi penghisap darah.
***
"Entah bagaimana gadis itu
sekarang...." Krisna menerka-nerka dengan bimbang dan seseorang dalam
dirinya berusaha menghiburnya dengan menyuruhnya bersabar sebentar lagi. Sulit
baginya untuk bersabar karena waktu menunjukkan gadis itu sudah seharusnya tiba
dan saat ini mereka mungkin sedang menukar senyuman, berbalas tatapan dan
saling memberi pujian. Apakah harapannya terlalu berlebihan? Krisna tertawa
kecil, menyadari kekonyolannya. Makan malam valentine,
tak lebih dari sebuah ide konyol yang pernah dia lakukan. Seorang Krisna bahkan
rela meninggalkan tumpukan pekerjaannya dan berdandan dandy, demi janji. Janji?Janji yang telah dibuatnya dulu sekali.
Janji? banyak lho yang tak menepati janji.
Krisna mengedarkan pandangan dan berusaha
menemukan gadis bermata bulat besar, berponi lebat dan bibir mungil yang
senyumannya membuat Krisna menggigil. Gadis itu masih belum tampak oleh matanya
yang lelah, dan kali ini dia memutuskan untuk mengenakan kacamatanya. Kesan
serius dan membosankan langsung menyelimutinya. Dia meletakkan kacamatanya di
meja dan memutuskan untuk membiarkan si waiter
menuangkan wine ke dalam gelasnya.
Krisna mulai menghiburnya dengan kalimat sarkastik untuk memotivasi dirinya; Satu-satunya alasan kenapa kamu tak bisa
mendapatkan gadis itu, adalah karena kamu tak pernah mau melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh gadis itu. Hari ini dia melakukannya dan gadis itu belum
tiba dihadapannya. Dia menatap arlojinya dan jika jarum panjang tiba diangka
12, tak ada pilihan selain meningalkan tempat ini dengan segera.
***
Nena menyesali keputusannya meminjam gaun
milik adiknya; terlalu sempit di bagian dada dan terlalu panjang lima centi
hingga ke bawah lututnya. Di menginginkan sesuatu yang nyaman yang membuatnya
bebas bernafas tapi bisa memperlihatkan lebih banyak kakinya yang jenjang dan
berkulit keemasan. Stilletto ini
sungguh menyiksa dan entah bagaimana kulit kepalanya tiba-tiba memproduksi
minyak secara berlebihan yang menyebabkan rambut ikalnya seperti sulur layu
tanaman merambat di rumah tua dalam film horror.
Nena berusaha tersenyum, terlalu takut kekhawatirannya bisa menjadi pemicu
timbulnya kerutan di wajah secara tiba-tiba.
"Aku masih Nena," dia
mengingatkan dirinya sendiri dan berusaha meredakan ketegangannya. "Aku
memiliki senyuman yang membuat siapa saja terpesona." Kepercayaan dirinya
meningkat hingga delapan puluh persen. Dengan segera dia menjepit kedua sisi
rambutnya yang lepek ke puncak kepala dengan sirkam berwarna perak,
memperlihatkan kilau mungil di kedua telinganya dan beberapa tahi lalat di
leher dan dadanya seolah mempermanis penampilannya. Setidaknya gaun ini
berfungsi benar untuk memperlihatkan keindahan bahu dan leher jenjangnya.
Sekarang dia siap untuk memperlihatkan wajah di depan kencannya. Dengan segera
dia keluar dari toilet dengan perasaan lebih baik. Sayang, alih-alih ke tempat
dia yang tengah menunggu, Nena justru kembali ke mobil menambahkan cardigan berwarna lilac pucat di atas gaunnya, mengganti stiletto dengan flat shoes,
dan menambahkan kacamata minusnya. Dengan cemas, dia melangkahkan kaki menunju
pria yang bisa saja telah pergi karena menunggunya selama ini.
***
Sepuluh tahun berlalu dan hari ini
keduanya bertemu. Rasanya baru kemarin gadis enam belas tahun centil itu
melemparkan senyuman kepada remaja kikuk yang sering tersandung karena
pandangan rabun atau kepalanya yang terlalu berat dipenuhi rumus dan solusi
dari masalah yang berisi angka-angka yang nantinya akan ditukar nilai sempurna
dari gurunya, kepala 'besarnya' tak mampu menopang tubuh kerempengnya. Ketika
itu keduanya berbeda, si gadis centil adalah dancer sekolah yang cantik dan ceria, sementara si pemuda, perlu
diperbaiki dibanyak tempat untuk bisa dilihat keindahannya.
Di hari valentine sepuluh tahun lalu, si gadis mengungkapkan perasaannya
namun diabaikan oleh si pemuda. Dan, tepat minggu lalu si pemuda yang telah
dewasa menemukan sebuah kartu valentine lama,
yang seharusnya dia kirimkan dulu untuk gadis yang begitu dia inginkan tapi
begitu ketakutan untuk dimilikinya. Krisna mengingat telah mengganti kartu valentine itu dengan sepucuk surat bernada
sombong yang mengatakan; 'Aku mau menjadi valentine-mu―tapi
tidak hari ini namun sepuluh tahun dari sekarang'. Menurutnya, jika perasaan
remaja mereka itu benar maka mereka akan bertemu lagi dalam versi dewasa dalam versi
lebih baik dan siap untuk kisah cinta, karena si pemuda merasa remaja tak boleh
jatuh cinta. Masa remaja adalah waktu yang tepat meraih cita-cita. Si gadis
menurut dan menunggu hingga minggu lalu secara misterius email itu dari si pemuda datang dan akhirnya menjawab keraguannya
sepuluh tahun ini.
Nena merasa lega namun juga gelisah di
saat yang sama, tapi setidaknya dia percaya percaya bahwa selama ini Krisna
hanya butuh waktu untuk mematangkan diri seperti halnya dia yang membutuhkan
waktu untuk... bukan mencari tapi membangun jati diri.
***
Keduanya berjabat tangan, bertukar
senyuman dan beberapa saat kemudian mereka hanya sibuk dengan pikiran
masing-masing. Krisna sibuk mengingat saran teman-temannya dan Nena tak bisa
berhenti memikirkan tips-tips percintaan dari allwomenstalk.com. Mereka payah
karena tak bertanya pada hati tentang apa yang dirasakannya saat ini. Keduanya
lupa tentang makan malam valentine
yang seharusnya atau juga tentang sepuluh tahun penuh terkaan. Hari ini mereka
bertemu dan berjarak sedekat ini namun keduanya masing-masing membangun tembok
perbatasan.
"Hmmm, adakah buku bagus yang kamu
baca belakangan ini?" Hebat Nena, setidaknya begitulah cara menghadapi
pria kutu buku, seingatnya.
"Hmmmm... hanya majalah Esquire."
Sialan, Krisna berdusta. Padahal dia baru saja membaca What If dari Randall
Munroe. "Kamu?"
"Hanya sedang membaca ulang Therese
Raquin." Dia menyebut novel yang sedang dibaca Nilam, kalaupun Nina
membaca itu hanya antara Vogue atau Cosmopolitan.
Ada lebih banyak jeda daripada kata-kata, hingga mereka
memutuskan menyibukkan diri dengan mulai makan dan memuji makanan, hanya
basa-basi tak berarti. Sepuluh tahun menanti dan ternyata hanya begini,
keduanya dikecewakan oleh ekspektasi. Nena benci tak melihat pria bertampang
serius dengan kacamata dan dahi berkerut. Ada banyak pria semacam ini yang dikenalnya.
Jika begini tak ada bedanya Krisna dengan Adam atau Ryan, dia ingin pria yang
melengkapinya. Begitupun Krisna, dia pikir dia akan dibuat bersemu merah oleh
gadis yang akan menggodanya dengan tatapan seksi juga tawa tawa manja yang
membelai telinganya. Makan malam valentine
dengan gadis yang sebagian besar isi kepalanya tertinggal di novel klasik―
justru mengingatkannya dengan versi perempuan dirinya yang membosankan.
Tak lama mereka mengakhiri malam itu, dan
di mobil, di tengah perjalanan pulang mereka masing-masing mengutuk sepuluh
tahun panjang penuh harapan yang sia-sia. Mereka membuka topeng, kembali
menjadi apa adanya mereka; Krisna, pria kutu buku payah yang memiliki pesona
misterius dalam dirinya dan Nena gadis seksi yang bisa menggoda pria mana saja.
mereka ga jadi diri sendiri :(
BalasHapusSayangnya ya :(
Hapus