Untuk saat ini, menjalani sebuah komitmen
itu menurut saya seperti membaca fiksi yang
sangat bagus.
Anggaplah
itu, Pride and Prejudice atau The Known
World.
Iya
saya membacanya, menikmati kata perkatanya.
Namun,
selalu ada jeda untuk membalik halamannya.
Untuk
menatap sekilas ke kejauhan, untuk
mengedipkan mata, untuk menyandarkan kepala.
Mungkin
saya akan berbicara dengan orang di sekitar, mungkin saya akan mendengarkan
mereka yang perlu di dengarkan. Saya melipat halaman dan menutup bukunya
sebentar.
Saya
kembali, membalik bab baru. Menandai bagian penting, bagian terbaik, bagian yang
tak ingin terlupakan, saya ingin mengabadikannya, mungkin saya berjanji membaca
ulangnya suatu hari nanti.
Saya
mungkin menyesap kopi, berjalan melanjutkan tujuan, atau malah jatuh tertidur―bukan karena bosan tapi lebih karena membaca seperti bermimpi
dengan mata terbuka dan saya hanya terlalu nyaman jadi melanjutkannya sambil
memejamkan mata, bukankah kita menutup mata ketika ingin melihat hal yang
begitu indah?
Di
suatu ketika saya membacanya lagi, memberinya marginalia. Berdebat dengan
kepala bahwa cerita ini mungkin salah satu bagiannya juga pernah saya alami.
Saya berpikir, membaca lagi dan membandingkan hingga tahu-tahu saya menutup
bagian akhirnya.
Saya
mendapatkan perasaannya, perasaan yang buku itu berikan, tapi inilah
perpisahan.
Saya
menilainya saya mungkin merensinya, saya ingin menguatkannya dalam ingatan.
Tapi mengingatkan diri lagi, saya telah menutupnya.
Setelahnya,
iya saya kembali ke keadaan yang sebenarnya. Menyelesaikan bacaan lainnya yang
tertunda, yang tak sempat saya kerjalan, membaca laporan, membaca esai
anak-anak, membaca buku refrensi apa yang diajarkan besok, membaca tips-tips dari
majalah, membuka lagi buku teori Sosiologi, saya masih berharap belajar ini
lagi suatu hari nanti. Membaca artikel yang mereka bagikan di beranda, membaca
apa yang ada di sekitar dan ya hingga apa yang buku itu berikan memudar dan
siap memilih buku bagus lainnya.
Dan
setiap orang seperti buku yang bagus dengan kisah yang berbeda. Dan dalam
setiap komitmen saya menghubungkan mereka yang bersama saya dengan buku apa
yang tengah saya baca.
Di
sana pernah ada dia si cowok komik
dan serial fear street, hey kita
berjalan bersama untuk menemukan bacaan bagus.
Pernah
ada dia, si teenlit dan buku-buku pengembangan diri di saat hantaman masa
remaja menyiksa.
Pernah
ada dia di deretan chicklit dan majalah perempuan yang
menyuruh perempuan jadi diri sendiri dengan standar majalah mereka yang mahal
dan tinggi.
Pernah
ada dia diantara Mapping Human
History hingga Letter to Daniel, saat mulai ingin memetakan hidup.
Dan pernah
ada dia, saat tangan dengan tumpukan buku-buku
yang harus dibaca sebelum mati, saat saya mulai membaca karya Murakami, Adiga,
hingga Tolstoy. Saat episode hidup memaksa untuk berpikir lebih matang dan
mulai menomor-duakan kesenangan.
Pada
akhirnya mungkin sebuah komitmen nantinya lebih mirip seperti buku catatan,
dimana ada seseorang yang bersedia menulis dan kemudian membacanya secara
bersama-sama dengan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar