Aku pernah bertemu dengan seorang gadis. Gadis
yang setelah beberapa minggu setelah kami berpisah mengirimiku pesan. Gadis
yang mengaku bahwa dia jatuh cinta padaku dengan sangat mendalam. Isi pesannya
membuatku kebingungan, dia menyampaikan perasaannya dengan cara yang muram dan
dia merasa perasaan itu membuatnya tertekan. Tak seperti perempuan kebanyakan
dia bahkan, tak menginginkan sebuah hubungan atau bahkan kesempatan kencan.
Jadi, pesannya tak pernah kukirimkan balasan.
Aku
ingin melupakan gadis itu― gadis yang ditangannya selalu menggenggam buku. Tapi
apa dayaku, ada hal dari dirinya yang menarik tapi juga mengganggu, nama gadis
itu ... Bolehkah hanya jadi rahasiaku?
Kupikir
aku sedikit menyukai gadis itu karena, sepertinya dia dilengkapi dengan
pengertian langka yang bisa dimiliki oleh seorang gadis. Selang beberapa waktu
setelah pertemuan singkat kami yang hanya kurang dari seminggu. Sekarang, aku
bahkan sudah berada di benua berbeda. Di sebuah negara yang memiliki kota kecil
tempat kelahiran kelompok musisi yang menjadi legenda. All You Need is Love adalah salah satu lagunya. Nah, mungkin gadis
itu tahu aku akan pergi jauh jadi otak realistis miliknya mengajukan
pertanyaan, "Apa yang bisa kuharapkan dari lelaki yang baru kukenal yang
akan meninggalkanku beribu-ribu kilometer jauhnya?"
Sebut
aku egois atau ungkapan apapun yang mungkin akan terdengar sadis. Tapi buatku,
seorang lelaki harus memiliki seperuh waktu dari hidupnya untuk mengejar mimpi.
Mungkin kebanyakan orang berpikir cukup untuk menjadi seorang analis bisnis di
sebuah perusahaan negara, namun tidak buatku. Jadi, ketika peluang beasiswa itu
datang, kupikir ada yang harus dikorbankan untuk gelar MSc di bidang Digital
Business Enterprise Management. Termasuk, kesempatan menggunakan
perasaan.
Sepanjang
hidup yang kulakukan hanya menggunakan otak. Ya, belajar, belajar, belajar dan
nyaris belum pernah jatuh cinta. Cinta? Pada akhirnya seorang lelaki butuh
untuk menikah, baik dengan dan tanpa cinta. Jadi, buatku itu nyaris tak
berguna. Rencanaku, mungkin menikahi seorang gadis Denmark untuk memudahkanku
memperoleh kewarganegaraan di Eropa. Aku berniat untuk berkarier di sini, di
kota yang terencana baik, dengan arsitektur menarik dan yang jelas memiliki
pemandangan matarhari tenggelam yang cantik.
***
Setelah
perkuliahan melelahkan juga membosankan dari dosen tamu asal Prancis yang sulit
kumengerti. Kusempatkan diri mampir ke perpustakaan publik yang tak jauh dari flat-ku. Aku menatap jam tanganku dan
memperkirakan masih ada kurang dari dua jam sebelum tutup. Aku mempercepat
langkahku dan kumasuki bangunan bata yang telah lebih seabad usianya. Di lorong
aku bertemu teman sekampusku, Patricia―gadis cantik-eksentrik asal Ekuador yang
menatapku dengan pandangan mencela namun prihatin.
"Kau
tampak seperti Zombie kelelahan. Kau butuh tidur dan berhentilah memburu nilai
A." Dia memutar bola matanya lalu mendengus, " pergilah ke tempat
yang tak terlihat orang lain, mintalah pintu maka akan dibukakan untukmu."
Lama bagiku untuk mengerti apa yang dibicarakannya, entah lelucon, entah omong
kosong. Tapi, beberapa orang tahu bahwa Patricia tergila-gila pada sihir Wicca.
"Wow, thank you Professor Trelawney."
Kataku dalam nada bercanda.
"Aku
serius dengan perkataanku. Jangan sampai kau mati konyol dan mayatmu kembali
tanpa gelar ke negaramu." Dia berbicara dalam nada sarkas yang keras dan
berlalu dengan diiringi bunyi gemerincing dari gelang kakinya.
Aku
tersenyum dan melambaikan tangan di udara pada punggungnya. Mungkin dia benar,
bercangir-cangkir kopi memang bisa mengurangi keinginanku akan tidur tapi
sekarang tubuhku seakan melayang dan tak ada yang lebih kurindukan selain
tempat tidur nyaman yang sebaiknya kulupakan demi esai dan nilai A kebanggaan.
***
Aroma
buku mengingatkanku pada gadis yang tengah memanggilku dari dalam kepala. Di
pertemuan pertama kami, gadis itu tengah mengulang novel The Great Gatsby,
kupikir itu bacaan bagus sebagai dongeng sebelum tidur.
Sialan,
aku tak bisa menahan kantukku. Dan otak tengah mengkhianatiku, karena tengah
mempertimbangkan saran dari si aneh Patricia. Aku berjalan menjauh dari
pandangan orang yang lebih fokus pada buku yang dicari atau tengah mereka baca.
Jadi, kusentuh dinding yang dingin dan berharap … entah bagaimana bisa
kupercaya ketika kenop pintu berada dalam genggamanku dan aku tengah
memutarnya?
***
"Hai,"
sapa gadis yang selalu ada dalam pikiran tapi terus menerus kuabaikan. Dia
bangkit dari kursi kayu pink berbantal mungil dengan motif bunga.
Aku
memandang sekelilingku, kami berada di sebuah tea room dengan wallpaper
bunga dan beberapa rak buku di dindingnya. Ini mungkin bukan tea room, ini seperti perpustakaan mini
dan ruangan pribadi.
"Aku
mengikuti kelinci dan terperosok di sini. Aku bukan Alice!" Dia
menjelaskan dalam nada heran.
Aku
mengusap mataku dan memandangnya lekat-lekat. Dia seperti yang kuingat, tak
bisa dikatakan cantik tapi menarik. Dia berkulit keemasan, menggunakan gaun
hitam sebatas lutut, dan rambut dikepang ke samping, bersepatu datar, dan ada
rasa antusias juga kegembiraan terlukis di wajahnya. "Aku suka tempat
ini," dia berjinjit dan berbisik di telingaku, setelahnya dia duduk di
kursinya, menyesap tehnya dan kembali membaca.
"Kau
boleh duduk kalau mau," katanya tanpa mengangkat wajah dari bukunya. Dia
tengah membaca novel remaja berjudul Before I Die karangan Jenny Downham.
Sekarang wajahnya terlihat sedih dan muram.
Aku
memilih duduk di sofa depannya. Kupikir sebaiknya aku berbaring dan mengabaikan
godaan cream tea dan juga red velvet, yang kubutuhkan adalah tidur
dan melepas lelahku. Tapi, ada gadis yang mencintaiku dan dia bertingkah tak
acuh. Ini membingungkanku. Aku bangkit dan menatapnya, sebaliknya dia malah
membalik halaman bukunya dan meneruskan membaca. Sekarang di tangannya bukunya
berubah menjadi Pride and Prejudice. Aku menggeleng dan berpikir apa yang
tengah terjadi di sini. Hingga aku mengajukan pertanyaan terbodoh yang bisa
otakku pikirkan.
"Kau
mencintaiku?" Kuharap gadis itu menatap wajahku dan menjawab dengan
malu-malu.
"Tentu,
tapi tak sebesar cintaku untuk Mr. Darcy." Dia mengabaikanku. Dia bahkan
tersenyum malu justru pada si buku.
"Bagaimana
bisa kau ada di sini?" Aku menatap pada puncak kepalanya yang tengah
menunduk.
"Si
kelinci mengatakan bahwa kamu terus menerus berpikir tentangku. Bisakah itu
disebut rindu?" Dia mengajukan pertanyaan yang sulit untuk kujawab.
Aku
menghela nafas dan kesulitan untuk tetap sadar. Kantuk menyiksaku tapi mungkin
inilah kesempatan satu-satunya untuk bisa bertemu gadis yang selama ini hanya
selalu ada dalam kepalaku.
Sebuah
ide melintas di kepalaku dan tak lama musik mengalun, sebuah lagu Real Love
dari The Beatles.
"Mau
berdansa denganku?" Jujur, aku malu saat mengatakannya.
"Itu
lagu favoriteku," katanya masih tanpa menatapku. "Tapi aku harus
menyelesaikan bukuku." Sekarang dia tengah membaca Oliver Twist.
"Apa
maumu?" aku terdengar tak sabaran.
Kali
ini gadis itu mengangkat wajahnya dan menutup buku lalu meletakkannya di
pangkuannya. Kali ini adalah The Casual Vacancy.
"Aku
juga tak tahu. Mungkin bertemu denganmu cukup untukku." Katanya ragu.
"Apa
kau ingin aku membalas pesanmu?"
Dia
menggeleng
"Apa
kau mau aku membalas perasaanmu."
Dia
tersenyum namun menggeleng.
"Sulit
mencintaimu yang terlalu sibuk mengejar mimpi yang bahkan lupa bahwa dirinya
sendiri juga butuh dicintai." Dia berkata lirih dan memandangku dengan
sedih. "Tolong jaga diri. Kamu kadang terlalu menyiksa diri sendiri."
Aku
tertawa, mengejek diriku, mengejek dirinya yang sok tahu. Tak lama yang kutahu
aroma kopi mampir di hidungku dari gelas plastik yang masih mengepulkan uap
panasnya―membangunkanku dari atas tumpukan tugas kuliahku. Samar-samar kudengar
gemerincing gelang kaki perlahan menghilang di kejauhan yang berganti dengan
pengumuman bahwa jam kunjung perpustakaan akan berakhir dengan segera.
Wow! AMazInG! Keren banget promptnya bisa jadi seperti ini. :D
BalasHapus