Tidak ada yang lebih seksi dari lingerie
yang terbuat dari kulit para kekasih. Percayalah padaku, ketika kulitku dan
kulit mereka menyatu … oh betapa indahnya itu! Aku ingin sekali memilikinya.
Kan kubunuh yang kucinta demi obsesiku yang gila, demi dendamku yang membara.
***
Setiap wanita harus jatuh cinta pada seorang keparat sebelum bertemu dengan
pria yang tepat. Beruntungnya aku, aku memiliki tiga keparat dalam hidupku. Aku
mencintai mereka, dengan kadar yang sama, hanya dengan cara yang berbeda.
Sudahkah aku bertemu pria yang tepat? Tentu saja! Ketika tiga keparat itu
disatukan dalam bentuk benda mati yang seksi, mereka menjadi pria yang tepat.
Dan maafkanlah, jika perbuatanku kalian anggap laknat. Ini cuma bentuk 'terima kasih'
untuk mereka; si gila hormat, si pengkhianat,
dan si bejat. Percayalah padaku, balas dendam itu rasanya nikmat.
Nikmat, senikmat cokelat yang lezat. Ketika cokelat menyentuh lidah, rasanya
selalu seperti jatuh cinta. Jika saja aku cukup hanya dengan cokelat, maka tak
perlu bagiku membuang banyak waktu mempertanyakan hal yang sama; seberapa besar
cintanya padaku. Cinta? Siapa yang pernah jatuh cinta? Sebagian besar mereka
mengikuti naluri rekannya, para hewan. Mereka hanya tertarik secara seksual.
Bedanya, jika hewan demi kelangsungan hidup maka manusia demi menikmati hidup.
***
Pagi datang, aku masih kelelahan. Tapi Franz berada di sisiku dan memberikan
senyumannya yang berupa seringaian. Aku membalasnya dengan kecupan. Kulitnya
dingin dan pucat, tapi bukan karena apa yang leluhur Eropanya wariskan. Aku
tidak gila, aku ingat segalanya. Sarapan terakhir kami tempo hari. Aku
memandanginya dengan penuh cinta, dan kukatakan kalimat yang membuatnya
meneteskan air mata darah.
"Aku mencintaimu sayangku, itulah kenapa aku harus membunuhmu." Tak
ada ragu dalam ucapanku.
Seharusnya Franz si hantu bertanya padaku; "Dimana rasa bersalahku?"
Untunglah dia begitu dungu jadi, aku tak perlu disiksa rasa yang mungkin bisa
menyakitiku.
"Apa sarapan pagi yang kamu mau? Akan kubuatkan untukmu. Sup air mata para
musuh kupikir cocok untukmu. Aku menyimpannya air mata pria-pria yang membuatmu
terbakar cemburu; Ardhi dan Dennis menangis ketika pipinya kuiris. Aku masih
mengingat kilau air mata mereka memantul di pisau perak mengkilat. Pisau yang
sebelumnya kujilat, karena ada noda darahnya begitu memikat. Mungkin akan lezat
bila kukecap, tapi kuurungkan karena … aku cuma pembunuh bukan kanibal penuh nafsu."
Aku berkata cepat dan penuh semangat. Kuharap pagi ini Franz merasa hangat,
kasihan dia terlihat begitu kedinginan. Ah, apa peduliku.
***
Aku berjalan keluar kamar, tak
sabar untuk merayakan pagi dan secangkir kopi. Sedikit musik mungkin itu akan
lebih baik lagi.
Musik? betapa cintanya Ardhi pada musik. Kesukaannya, yang bergenre psychedelic. Aku memutarkan semua lagu
di playlist-nya yang ber-title Musik Asik, setelah dia mulai
lemas pasca kucekik. Dan aku bernyanyi "Push th' little daisies and make 'em come up . Push th' little daisies
and make 'em come up. Push th' little daisies and make 'em come up . Push th'
little daisies and make 'em come up." Sedikit terserang panik ketika
kupikir dia masih bernyawa. Tapi sang ragu pergi setelah kepalanya kubenturkan
berkali-kali. Aku merayakannya dengan diiringi lagu Voodoo Lady. Ardhi adalah orang yang beruntung, dia mendengar musik
kesayangan ketika maut menjemput.
"Hai
Ardhi!" Aku menyapanya, dan dari kehampaan dia muncul begitu saja, dari
sewarna udara hingga menjadi manusia yang nyaris nyata.
Ardhi tentunya ingin bicara,
tapi apa daya, aku telah mencekiknya.
"Mau berbagi kopi denganku?"
Aku menawarinya. Bodoh. Dia tak ingin kopi, dia hanya ingin nyawanya kembali.
"Maaf," aku memberinya
cengiran. Di antara pria yang kukenal. Ardhilah yang memiliki selera humor
menyenangkan yang kadang mengerikan. "La
la la la, leluconku tak pernah kau bayangkan, la la la la bagaimana rasanya
menjadi sesuatu yang tak lagi memiliki kehidupan?"
Selain tak memiliki nyawa, dia
bahkan tak lagi memiliki ekspresi juga emosi. Ah, sekarang dia membosankan
sekali. Kutinggalkan dia, sekarang aku mau mandi. Kupikir, aku harus membasuh
letih.
***
Kamar mandi, mengingatkanku
dengan Dennis. Aku meletakkan mayatnya di bath up seharian. Aku hampir
melupakannya. Mungkin Dennis belum menjadi hantu. Mungkin hantunya masih betah
berbaring di dalam tubuhnya yang ceking. Kenapa aku menyukai Dennis? Karena ...
Aku harus memilikinya, walaupun dia begitu menjijikan. Dennis, si pecandu film
porno. Mengingatnya kadang membuatku mual dan merasa bodoh.
Dengan segera aku berlari ke
sana, mengecek keadaan terakhirnya. Dialah yang terakhir kuajak bertemu malaikat
maut. Di cermin yang menempel di dinding, aku melihat pantulanku yang kusuka.
Kulit sewarna karamelku terlihat lembab oleh keringan, bercak-bercak darah yang
menempel terlihat seperti sesuatu yang menarik. Dan rambut berantakanku justru
membuatku bangga. Dia terlihat indah bahkan ketika ada dinodai darah yang
mengering.
Aku duduk di samping Dennis yang
kaku. Aku membelai bahunya dengan sayang. Aku ingin bertanya, tapi tak ada hal
yang bisa kutanyakan. Yang kulakukan hanya mengecup puncak kepalanya berkali-kali.
Tapi, aku berhenti ketika rasa logam terkecap di lidahku. Aku mengusap darah
yang menempel di bibirku.
"Dennis yang manis, Dennis yang manis ... Tidak inginkah kau menangis?
Dennis yang manis , Dennis yang manis matimu sungguh tragis ... Dennis yang
manis, Dennis yang manis, bolehkah bibirmu kuiris tipis?" Aku
bersenandung untuk menghiburnya. Mayatnya terlihat tak bahagia, begitu juga
hantunya muncul dengan tiba-tiba.
Aku bingung, apakah harus mandi
atau kembali tidur saja. Aku bingung, apa perlu menguliti mereka secepatnya
atau menunggu hingga tenagaku pulih. Aku khawatir aku perlu waktu berhari-hari.
Aku belum memindahkan Franz dan Ardhi
dari garasi. Aku harus membuat mereka menjadi bersih. Aku bingung, ada banyak
sekali hal yang harus kulakukan dengan segera. Entah dimulai dengan menciptakan
alibi atau menghapus jejak-jejak yang bisa menjadi bukti. Tapi, dimana tenaga?
Aku membutuhkannya segera. Aku tak sabar menunggu untuk memiliki lingerie baru yang indah.
***
"Kulit monster-kulit
monster, jijik dan jelek. Kulit monster-kulit monster ayo kita siram bensin dan
bakar. Kulit monster-kulit monster. Menakutkan kayak setan." Aku tak
menyangka, aku masih ingat lagu ejekan masa kecilku dulu. Sambil menguliti
mereka aku menyanyikannya dengan gembira.
Aku masih ingat, tiga bocah itu.
Di masa kanak-kanak mereka mengejek dan menyiksaku. Di usia dewasa mereka jatuh
cinta padaku. Dan sekarang, mereka mati di tanganku.
Apa mereka mengingatku?
Tidak, karena kurang dari
sebulan aku memilih pindah sekolah, terlalu takut dan tertekan. Itu lama
sekali, bertahun-tahun silam. Dulu, akulah gadis kecil yang terserang cacar.
Dan, ketika dewasa menjelang mereka lupa padanya. Karena, si kulit monster
sekarang adalah model dengan kulit terindah hasil polling sebuah majalah pria dewasa.
Bagaimana aku menemukan mereka,
tak susah; Franz, berprofesi sama denganku. Kami satu agency. Ardhi, musisi tak berbakat yang hanya mengandalkan tampang
dan sensasi. Kami sering bertemu di berbagai party. Dan Dennis, dia yang mencariku. Rupiah dari orang tuanya
membuat dia mampu mengencaniku.
Sambil mengusap peluhku. Aku
memandangi mereka yang lebih menjijikan dari si kulit monster dulu. Kulanjutkan
apa yang harus kulakukan. Kugoreskan dan kupisah kulit dari dagingnya.
Kunikmati kepuasan yang kudapatkan dari setiap sayatan. Kuabaikan tiga wajah
sedih yang menghantuiku
Untuk memecah hening dan sepiku,
kusenandungkan untuk mereka sebuah lagu ciptaanku. "Oh sayangku, ingin kunyanyikan untukmu lagu baru ... Sayangku, ini
peringatan untukmu ... Sayangku, rayulah kecantikan si jelita maka dia takkan
percaya ... Sayangku, ejeklah si buruk rupa maka dia akan membencimu selamanya."
Nada lagunya kayak gimana yah Kak? hehehe aku suka diksinya, tiap akhir kalimat. Lanjut bca cerpen selanjutnya yuhu~
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusCit. Bersihkan iklan2nya dong.
BalasHapus.salam.