"Apa yang
kamu minta dalam doamu?"
"Agar aku bahagia
selalu?"
"Misalkan, bahagia hanya
mau datang padaku jika aku tanpamu."
"Maukah kamu
meninggalkanku?"
Penggalan-penggalan kalimat
tegas dari bibir Banu, masih teringat jelas. Seakan telingaku masih mampu
mendengarnya. Kedua mataku seolah masih bisa melihat wajahnya, bahkan untuk
detail terhalusnya. Dalam ingatanku yang seringnya kuragukan, ternyata peristiwa
yang menancapkan luka terdalam sulit dihapuskan. Perempuan memang bisa
melupakan kuncinya, tak pernah ingat dimana meletakkan kacamatanya, bisa juga
terlalu lelah untuk memasukkan hal-hal kecil penting ke dalam kepalanya. Tapi,
jika itu menyangkut perasaan, ingatan itu seakan abadi untuk selamanya.
***
Di usia sembilan belas tahun aku
jatuh cinta pada orang yang sungguh sempurna di mataku. Namun, ketika usiaku
dua puluh dua tahun, yang kutahu aku telah jatuh cinta pada orang yang salah.
Perlu waktu lama untuk menyadarinya. Tapi memang, siapa yang bisa berpikir
benar ketika cinta meracuni kesadaran?
Tumbuh remaja dengan kepercayaan
diri yang rendah adalah sebuah bencana. Sulit bagi remaja yang ditelantarkan
orang tua untuk mengenali apa itu cinta yang seharusnya. Dibesarkan oleh lagu,
novel dan film yang mengatakan bahwa cinta mampu memenangkan segalanya. Dengan
naifnya aku percaya saja. Dan kesimpulanku tentang cinta sungguh layak
ditertawakan. Aku percaya saja pada kutipan yang mengatakan bahwa cinta adalah
ketika kebahagiaan orang lain adalah sumber kebahagiaan kita.
***
"Aku cinta padamu."
Kata itu diucapkannya dalam tempo singkat, beberapa detik saja. Sementara untuk
mendapatkannya, tahukah kalian apa yang harus kutukarkan? Malam-malam penuh
kegelisahan ketika dia meminta satu hal yang sulit untuk kukabulkan;
keperawanan. Di usia itu yang kutahu itu bentuk pengorbanan, sekarang yang
kusadari bahwa dia tak menyukaiku, dia hanya tertarik secara seksual. Tidak
lebih!
Semuanya baik-baik saja saat aku
dimabuk cinta. Aku tak merasa sakit ketika tamparan mampir di pipiku. Itu cuma
caranya mengekspresikan cemburu, ketika ada pria lain yang bicara padaku.
Kata-kata kasarnya tak menyakiti telingaku tak juga menggores hatiku, karena
aku tahu akulah alasannya dia begitu. Ketika ada barang yang pecah, sesuatu
yang dilemparkan atau hantaman yang mampir pada benda sekitar. Aku menyebut
pacarku beraliran romantis brutal, dan hari ini, bagiku dia adalah seorang
kriminal.
***
Menikahinya di jelang usia dua
puluh dipikiranku bahwa; Alina dan Banu memang tercipta satu dan lainnya― untuk selamanya. Otak tololku
dengan bodohnya merangkum kisah cinta kami seperti ini; Jatuh cinta pada
pandangan pertama, merayakan cinta dengan penuh suka cita―lupakan nilai moral, etika,
apalagi agama. Hamil jadi alasan untuk menikah agar bisa bebas dari keluarga
tak bahagia untuk membentuk keluarga baru yang sempurna. Usia muda? kita perlu
membuat kesalahan yang menjadi penyesalan. Bukankah hidup guru yang tegas,
ujian dulu baru ambil pelajarannya? Modal kami sederhana saja; cinta, cinta,
dan cinta. Bukankah itu lebih dari segalanya?
***
Segalanya berubah sejak kepalaku
telah mampu berpikir secara dewasa. Aku yang tadinya hanya perlu meminta ketika
menginginkan sesuatu kini harus berusaha. Dan segalanya berbeda ketika putri kami
telah lahir ke dunia. Sementara Banu masih menganggap bahwa tanggung jawab
hanya untuk mereka yang telah berusia senja. Kedua orang tua meminta kami
mandiri, beberapa kali memberi modal usaha juga pinjaman ketika kekurangan.
Tapi, tak lagi sejak orang tuaku tahu apa yang mereka berikan habis di meja
judi dan narkoba dan orang tuanya juga lepas tangan.
Kupikir aku tak bisa tinggal
diam jadi kuputuskan aku harus berusaha dan hasil memang tak pernah menghianati
setiap kerja keras. Toko online-ku
yang menjual aneka kosmetik dan juga snack
import cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Singkatnya, sekarang
kami mandiri secara ekonomi. Namun, walau setiaku tetap terjaga tapi buat Banu
tak ada lagi kehidupan cinta diantara kami berdua, rasanya hambar dan tak
menyenangkan. Ya, akulah penyebabnya! Aku berusaha, hanya saja kami tak punya
waktu yang banyak dan tak lagi menemukan minat yang sama. Sementara, bayi kami
berada di orang tuanya, karena mereka tak percaya kami mampu membesarkan anak
kami sendiri. Itu sedikit membantu karena aku harus fokus pada usahaku. Toh,
agar Banu tak perlu meminta lagi pada orang tuanya untuk kebutuhan
'kebahagiaannya'. Banu hanya akan bahagia jika ada penunjangnya. Jika tak ada,
akulah korbannya.
Dan, semakin hari kadar
kebahagiannya semakin minta ditingkatkan. Siapa lagi yang bisa mewujudkan
kebahagiannya, jika bukan aku istrinya?
Dengan berat hati aku mengambil
keputusan. Banu harus mendapat perawatan untuk menyembuhkan kecanduannya.
Sejauh ini aku sudah lelah melihatnya menderita dan hanya bahagia jika cairan
'kebahagiaannya' telah disuntikkan dan mengaliri venanya. Tapi sampai kapan?
sampai dia terbunuh, dan aku harus menanggung luka fisik dan mental lebih dari
ini? Tidak, cukuplah! Dan inilah pertama kalinya, sejak berbagai kejadian buruk
itu, aku berdoa … Tuhan aku ingin Banu bahagia. Karena bahagianyalah sumber
bahagiaku. Siapa yang tahu betapa bodohnya doaku. Dan Tuhan begitu mengasihi,
Dia mengabulkan doaku. Tanpa kuketahui apa yang sungguh kubutuhkan aku malah
meminta apa yang kuinginkan dan lihatlah apa yang kudapatkan.
Kebahagiaan itu datang dalam
wujud teman lama kami, namanya Shania. Shania baru saja kehilangan kekasihnya
karena kecelakaan. Sadar bahwa kami tengah mencoba berdamai dengan masalah.
Kami berbagi segalanya bersama. Shania bahkan membantu usahaku, mendengar
kisahku, sedihku dan segala curahan hatiku. Shania membantu mengobati
luka-lukaku. Luka yang kudapatkan ketika Banu terlalu sulit mengendalikan
dirinya. Bodohnya aku, kepercayaan berlebihan bisa membutakan. Shania adalah
sumber kebahagiaan Banu yang baru. Aku merasa terkhianati dan Shania sebaliknya
malah menusukku dengan cara yang kejam sekali.
***
"Apa yang kamu minta dalam
doamu? Agar aku bahagia selalu? Misalkan, bahagia hanya mau datang padaku jika
aku tanpamu. Maukah kamu meninggalkanku?" Banu dengan masih berbaring di
tempat tidur kami malah melontarkan permintaan yang tak pernah aku pikirkan.
Aku baru saja memergokinya membagi tempat tidur kami dengan Shania. Tiga tahun
tamparan yang pernah mampir dipipiku bahkan jika disatukan, rasanya tak
sebanding dengan tusukan yang sedang merobek hatiku. Sebaliknya Shania tak
bicara. Dia hanya memunggungiku. Dengan mengenakkan kimono tidurku, dia duduk
di depan meja riasku. Dari cermin yang memantulkan wajahnya yang kulihat tak
ada sedikitpun penyesalan terlukis di sana, sebaliknya dia memberi senyuman
ketika aku memutuskan meninggalkan mereka berdua.
***
Setahun berlalu. Aku dan putriku
meninggalkan kota kami yang lama, dan memutuskan untuk hidup baru―secepatnya setelah perceraianku
dikabulkan. Satu hal yang kutahu, jangan
pernah meletakkan kebahagiaanmu pada orang lain. Letakkanlah kebahagiaanmu hanya
pada Tuhanmu.
Pagi ini aku mendapat telepon
yang mengejutkan, dari Shania. Setahun ini kabar mereka―baik Banu atau Shania tak pernah kudengar. Shania memohon
untuk dapat bertemu denganku sekali saja. Dengan enggan aku mengiyakan
permintaannya.
Tak ada lagi Shania yang
kukenal, dia yang duduk di hadapanku lebih mirip dengan orang lain, seseorang
yang jauh lebih tua. Seseorang yang terlihat jauh berbeda. Dia tersenyum
padaku, tangannya menggengam erat tanganku.
"Maafkan aku, karena aku
membuat keputusan semauku." Dia berkata dengan suara parau.
Alih-alih membicarakan
pengkhianatannya, dia malah mengatakan seolah ini masalah lainnya. Aku membuang
mukaku, tak ingin menatap wajahnya lebih lama. Aku takut rasa iba meluluhkanku.
"Bukankah kita harus
meluruskan masalah kita, bukannya memutuskan tali silaturahmi kita?"
Kata-katanya terdengar seperti kata yang mungkin diucapkan oleh seorang
sahabat. Tapi, mengingat perbuatannya sulit bagiku memaafkan.
"Alina … sulit bagimu
memaafkanku. Aku tahu." Kedua tangannya masih menggengam tanganku. Ingin
rasanya aku menariknya dan pergi berlalu. "Kamu menceritakan semuanya, aku
melihat semuanya. Sebagai sahabat kamu sungguh mempercayaiku. Sebagai istri kamu
menempatakan suamimu di atas segalanya. Kamu tahu apa kesalahanmu? kamu tak
menghargai dirimu dengan cara yang semestinya! Setelah begitu banyak hal yang
kamu dapatkan kamu malah menginginkan suamimu mendapat kebahagiaan. Entah
kebodohan entah cinta yang membutakan."
Aku marah karena seorang
pengkhianat justru menghakimiku.
"Alina, aku berterima kasih
padamu. Karena di saat terpurukku kamu ada untukku. Dan aku harus
menghancurkanmu agar kamu bisa bangkit. Dan yang kulihat aku berhasil."
Aku tidak membutuhkan motivasi
dari orang seperti ini. Aku menarik tanganku dan ingin bergegas pergi, tapi
kaki-kakiku yang gemetaran seperti membeku , terpaku di lantai.
"Aku mengidap AIDS, aku
mengetahuinya lebih dari setahun lalu. Maafkan aku jika membelamu dengan cara
menyakitkan seperti ini. Inilah satu-satunya caraku untuk menyelamatkanmu dari
hubungan yang bisa membunuhmu. Setelah beberapa saat berlalu kuungkapkan hal
ini pada Banu dan yeah jika tak menularinya melalui aku, maka pasti melalui
jarum suntiknya. Tapi jarum suntik tak bisa membuatmu terbakar cemburu."
Shania berbicara dengan perlahan agar aku dapat mencerna kata-katanya. Aku tahu
ini terdengar menyakitkan. Aku tahu ini sulit buat kuterima.
"Selamat menikmati hidup
barumu. Aku bangga melihatmu yang sekarang." Shania berbisik di telingaku.
Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku tak ingin melihatnya.
Aku masih terpaku, dan sebelum
Shania berlalu dia menyempatkan diri memberiku kecupan di pipi. Dari kejauhan
barulah muncul keberanianku untuk sanggup memandangi langkah-langkahnya yang
ringgih. Satu hal yang ingin kupahami, mengapa harus ada air mata lagi yang
kini meleleh di pipi.
umh ;)
BalasHapus