Date a girl who reads

Date a girl who reads

Rabu, 05 September 2012

Ketika Ibu Membawa Masa Lalu



Aku lebih suka menciptakan kisah masa kanak-kanakku dengan indah, hingga aku mengubur segala kenangan pahitnya, alhasil, aku sungguh-sungguh melupakan masa laluku.

***

             Jika kamu bertanya bagaimana diriku, maka akan kudeskripsikan bagaimana aku, aku wanita dewasa, mandiri, menarik. Jangan tanyakan usia, karena itu adalah pertanyaan yang membuat sensitif bagi wanita manapun, aku cukup matang untuk menikah, dan akan menikah sebentar lagi dengan sepupuku, ini jaman modern, menikahi keluarga sendiri memang terdengar seperti perjodohan yang menyedihkan, dimana si cewek terlalu putus asa karena tuntutan usia, dan para keluarga memaksakan adanya perayaan. Sejujurnya, ini bukan perjodohan, aku dan sepupuku saling jatuh cinta itu saja. Tidak melanggar hukum adat maupun hukum alam, menikahi saudara sepupu tidak termasuk incest, kan?
             Hari-hari ini aku disibukkan oleh pekerjaan yang melelahkan, menyelesaikan yang harus diselesaikan sebelum aku memasuki masa cutiku (aku adalah Head of Public Relations di salah satu Hotel bintang lima terkenal) juga oleh persiapan pernikahanku, belum lagi acara makan malam keluarga nanti malam dan juga, astaga aku lupa, aku harus menemui ibuku sekarang, driver-ku sudah menjemputnya dari airport dan sekarang aku harus menemuinya di apartement-ku. Ada rasa aneh dan canggung saat aku harus menemui ibu, wanita yang melahirkan aku.
             Beliau duduk di sana, terlihat anggun dan bijaksana, duduk tenang di sofa ruang keluarga “Apa kabar nak?” sapanya hangat, aku mencium tangannya lalu kedua pipinya, aromanya, hangat, berbau alami kayu manis, cendana, dan mawar. Aku duduk disampingnya, beliau memelukku.
             Aku tersenyum padanya, menatap jauh ke dalam matanya, berapa lama kami tak berjumpa? Yang kutahu, aku pergi begitu saja dengan salah satu kerabat Ayah, yang sekarang kupanggil Papa dan Mama, mereka mengangkatku sebagai anak, dan jadilah aku sebagai anak bungsu dari dua kakak laki-laki.
             Kurasa jawaban ‘baik’ tak cukup mewakili rentang perjalanan waktu yang terlewati antara kami, tapi aku tak punya jawaban lain.
             “Baik bu, ibu apa kabar?” aku menggenggam tangan beliau, sedikit kasar pada telapaknya, menunjukkan bahwa beliau pekerja keras. Berbanding terbalik dengan tanganku yang kuku-kukunya dirawat oleh teknik perawatan kuku ala Prancis, manicure, hal yang wajib kulakukan di akhir minggu, bersamaan dengan perawatan memanjakan diri lainnya yang disukai para wanita.
             Beliau tak menjawab hanya menatapku dalam tatapan teduh seorang ibu, aku tau beliau sangat merindukanku walau harus kuakui aku tak terlalu rindu, kadang aku bahkan nyaris melupakan wajah beliau, walaupun harus kuakui aku mewarisi wajah ini dari dirinya.
             “Nak” Itulah yang dikatakannya sebelum terhenti dan membiarkan air matanya mengalir di pipi. “Kamu sudah dewasa” serasa tak percaya, beliau mengulangi lagi, kalimat itu. “Kamu sudah dewasa.” Yang kulakukan hanya tersenyum dan mengangguk kaku.
             “Kamu akan menikah…”
             Aku mengangguk lagi dan tersenyum
             “Ibu bangga padamu nak…”
             Aku tersenyum dan merasa bahwa bayangan beliau sedikit bergoyang, seperti pemandangan terhalangi kaca berembut kala hari hujan.
             “Ibu senang melihatmu, nak” Beliau mengusap rambutku dan bersenandung kecil, lagu masa kecilku, yang sejujurnya sudah kulupakan, aku tak lagi mengingat masa-masa lalu, saat aku masih tinggal dengan ibu di kota kecil tempat kelahiranku dulu. Sejujurnya aku sendiri yang mengubur memori itu dan menciptakan kenangan baru, yang lebih menyenangkan dan lebih indah.
             “Kamu akan menikahi kakakmu, nak” ada sela tawa entah bahagia atau hanya ingin membuatku senang. Dalam konsep ibuku, sepupu itu adalah seperti kakak sendiri, dan yah aku memanggil calon suamiku hingga kini dengan sebutan kakak. Kak Diaz.
             Aku mengangguk, entah bagaimana aku tak bisa membuang rasa canggung ini.
             “Masih ada dalam kenangan ibu saat kamu kecil dulu, kamu dan kakakmu itu sering bermain-main di halaman belakang rumah nenekmu, kamu akan tertawa-tawa dan pulang dalam keadaan menangis, kakakmu itu memang paling suka menggodamu.”
             Aku memutuskan untuk tertawa kecil, kurasa itu akan terdengar lucu tapi tak begitu menurut ibuku.
             “Ibu masih ingat nak, saat kamu ketakutan, kakakmu bandel, menakuti-nakutimu dengan capung dan belalang, yang barusan ditangkapnya dengan teman-teman nakalnya. Kamu selalu di samping ibu, duduk diam sambil menyanyi, kita menyanyi bersama-sama ya nak, masih ingat lagu kesayanganmu?” jujur aku tak ingat “ ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu …yang selalu bersinar di langit…” ibu menyanyi dengan parau. Aku ingin melanjutkan nyanyiannya, tapi entah mengapa tak bisa terucap di lidahku, kupikir masa kecilku dulu, aku lebih akrab menyanyikan lagu lainnya, seperti; Its Raining Its Pouring, My Bonnie, atau Old MacDonald juga BINGO. Sejujurnya itu adalah lagu yang sering kudendangkan saat aku telah pergi dari ibu. Saat aku bersama keluarga baruku.
             “Masih ingat nak, apa yang ibu lakukan sambil kita bernyanyi bersama? Ibu membersihkan beras tante Novi, calon ibu mertuamu itu, menjahitkan baju-bajunya yang sobek, membersihkan biji-biji kapuk dari bantal dan kasurnya, bahkan menumbuk kopi tradisional, Om mu memang suka kopi jahe kampung. Ibu sering terkenang nak, bagaimana kita dulu, agar bisa makan. Mesti bekerja untuk keluarga sendiri, ayahmu terlalu cepat pergi jadi ibu sendiri membesarkanmu, untung Om Agung sayang padamu nak, sekarang kamu jadi orang sukses nak, ibu bangga” beliau mengangkat kerah bajunya untuk mengapus air mata.
             “Alhamdulilah, kita tak lagi terhina nak.” Beliau mengelus pipiku menatap dalam pada mataku. “Terima kasih sudah buat ibu bangga” dia menangis, tak sanggup menatap matanya yang tergenang cairan kesedihan. Aku bangkit dari sofa dan berlari menuju kamar. Aku mengenang segalanya sekarang, saat ibuku harus seperti pembantu di rumah saudara iparnya, bagaimana tanteku memerintahnya seakan beliau manusia tanpa lelah, bagaimana Kak Diaz akan merecoki ibuku dengan membuatku menangis, bagaimana…sejujurnya tak ingin kukenang, telah kulupakan segalanya, tak lagi ingin menengok ke belakang. Tapi bayangan itu seolah datang dan memberitahuku bagaimana pahitnya masa laluku. Kupandangi fotoku dan kak Diaz yang tertawa bahagia-lepas dalam figura kayu mengkilat, entah mengapa, kini, kenangan masa kecil itu mengaburkan tawa bahagia di sana, tak bisa kuputuskan memilih yang mana. Apa aku harus kembali mengenang masa lalu dan mempertimbangkan masa depanku ataukah seperti dulu, berpura-pura, selamanya? 


Gambar : Google



Tidak ada komentar:

Posting Komentar