Aku ingin selamanya berada di
tengah hutan.
Berbaring di atas dedaunan kering
keemasan.
Diiringi suara alam dan angin
yang membelai pepohonan.
Aku ingin menjadi bagian dari
hutan.
Berkawan dengan keliaran dan
menikmati ketakutan akan peradaban.
***
“Merasa
bersalahlah pada pepohonan yang telah mati sia-sia, karena kau menggunakan
berlembar-lembar tisu secara percuma untuk menangisi pria sialan yang
mencampakkanmu!” Lusi seolah mendengar suara dramatis Desi, berkacak pinggang, dan menyorot dengan
matanya yang besar dan galak. Tapi, pada akhirnya Desi akan berada bersamanya
dan memeluknya. Membuatnya merasa tenang. Lusi tak ingin menangis lagi. Jadi, dia melepas tisu kusut
di genggamannya dan menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangannya.
Sekarang, Desi mencampakannya setelah Lusi menukar persahabatan mereka dengan
lelaki yang tidak mencintainya.
“Apa
yang kau tangisi, Lusi?” Dia
bertanya pada diri sendiri. “Kau mendapatkan apa yang kau inginkan, seharusnya
tidak ada penyesalan.” Gadis itu mengenakan kacamata Jackie Onnasis-nya dan
memasuki mobil sesudahnya, sebuah perjalanan dengan sea plane dan dia tiba di ‘surga’.
Sejujurnya, jauh di dalam hatinya dia begitu merindukan perjalanan sebelumnya,
setahun yang lalu saat semuanya masih baik-baik saja. Mereka bertiga menumpang
di atas perahu nelayan sederhana, sekitar satu jam di tengah lautan bertukar
kata dan tawa. Tapi, satu hal yang disadari
Lusi yang tak ingin dibenarkan
oleh kepalanya –
Desi dan Emile saling bertukar tatapan yang bemakna lebih dari jutaan kata.
Lusi ingin menyangkal ingin melupakan.
“Hutan atau lautan?”Tanya Lusi
pada mereka.
Dan, mereka menjawab hutan secara bersamaan dalam nada
yang terdengar harmonis yang entah
kenapa memiliki kekuatan magis. Mereka bertatapan, lalu bertukar
senyuman, ada aura romantis yang manis.
“Sebuah tenda di tengah
hutan. Ketika hampir menutup mata, telingaku yang nyaris tersentuh tanah akan
mendengar langkah-langkah rusa, kerik jangkrik, nyanyian malam pepohonan.” Dengan
mata berbinar Lusi bercerita tentang keinginannya.
“Bukankah diving dan snorkeling lebih
menyenangkan?”
Lusi
tak mencoba mempengaruhi Desi, tapi ia berusaha membuat
Emile tergoda tak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan
kerlingan mata dan bahasa tubuhnya yang seksi. Okay dia bertahan tapi takkan lama, lelaki...
Lusi percaya mereka gampang ditipu daya. Adam tergoda Hawa.”Bagaimana dengan
bikini dan cahaya matahari?”
Ada tawa renyah dalam
durasi yang tak lama, demi kesopanan yang pantas.
“Yang aku herankan...”
Desi seolah sedang berpikir “bagaimana bisa seekor domba bertanduk begitu ingin
berenang sementara dua ekor ikan ingin menjadi umpan para binatang buas?”
Lusi menganggap itu
lucu sekali, menggunakan zodiak sebagai perumpamaan...dia tak percaya pada kata zodiak, karena dia lebih yakin bahwa sifat-sifat kebinatangan
itu tak selalu melekat pada si pemilik bintang yang menanunginya.
“Hmmm....sulit dijawab
sepertinya, walau tak sedilematis. Kira-kira seekor kucing akan memilih ikan
goreng atau tikus?” tanya Lusi kemudian.
“Aku memilih Whiskas,”
jawab Emile―sang
kucing.
Lusi bersungut dan
otaknya memutar rangkaian kata ‘Seharusnya dia membidik makhluk indah di
depannya bukannya pemandangan di
kejauhan— biru dan kehijauan yang terekam dalam memori kameranya’. Desi mulai membuatnya
benci karena dia mulai menggoreskan pena ke kertas, entah apa yang dia
tuliskan. Lusi mulai berjalan ke sisi
Emile mengambil topi di kepala pria itu, memakaikan pada kepalanya sendiri dan bersandar di sisi Emile. Dengan ekor
matanya Lusi melihat, Emile dan Desi
saling bertukar pandangan. Lusi menyangkalnya dengan mencoba terlelap.