Aku
menguap dan berharap mencium wangi Teh yang menenangkan. Kubuka mata dan
menatap sekitarnya. Kecewa, hanya kamarku
yang seperti biasa. Aku bangkit dan tersadar, hei Leon kau telah tiba di asrama! Namun aku masih ingin meyakinkan
diri―setidaknya
berpura-pura, bahwa aku masih ada di sana, di sebuah kamar sederhana berdinding
kayu tua. Lebih dari segalanya aku merindukan gadis yang akan mengucapkan
selamat pagi dengan senyum manis dan secangkir Teh di tangan mungilnya yang
gemetaran.
“Selamat pagi” aku mengucapkan dalam
bahasanya, bukan Guten Morgen,
seperti bahasa sehari-hariku. “Liburan telah usai saatnya menghadapi kehidupan
nyata!” aku bicara pada diri sendiri, salah satu pengaruh buruknya yang
menulariku, gadis itu sering bicara sendiri, tidak, bukan bicara dia sering
bersenandung, lagu-lagu lama.
“Hey” sapa Pierre, dia bahkan tak
menatapku. Terburu-buru menyambar dasi dan mengancingkan kemejanya. “Aku pergi.”
dia teman sekamarku. Kuhampiri wastafel, mencuci muka, menggosok gigi dan
kuhadapi realita, aku kembali ke sekolah, mencerdaskan otakku, untuk bekal mendapatkan
pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Kumpulkan
uang sebanyak mungkin dan kau akan kaya! Sebuah nasehat dari seorang
kapitalis, yeah ― ibuku. Uang? Sesuatu
yang terdengar seperti lelucon, gadis itu malah menertawaiku dari dalam otakku,
manusia tidak membutuhkan uang, manusia butuh bahagia. Bekerja karena kau
mencintainya, dan kerjakan segala yang kau cinta. Sederhana. Hey gadis, kupikir kau harus enyah dari
otakku sekarang juga! Tapi sebelum dia menghilang, sekilas aku menangkap
senyum manisnya.