Date a girl who reads

Date a girl who reads

Sabtu, 18 Mei 2013

Cerpen: Crayon Untuk Leon




Aku menguap dan berharap mencium wangi Teh yang menenangkan. Kubuka mata dan menatap sekitarnya. Kecewa, hanya kamarku  yang seperti biasa. Aku bangkit dan tersadar, hei Leon kau telah tiba di asrama! Namun aku masih ingin meyakinkan dirisetidaknya berpura-pura, bahwa aku masih ada di sana, di sebuah kamar sederhana berdinding kayu tua. Lebih dari segalanya aku merindukan gadis yang akan mengucapkan selamat pagi dengan senyum manis dan secangkir Teh di tangan mungilnya yang gemetaran.
          “Selamat pagi” aku mengucapkan dalam bahasanya, bukan Guten Morgen, seperti bahasa sehari-hariku. “Liburan telah usai saatnya menghadapi kehidupan nyata!” aku bicara pada diri sendiri, salah satu pengaruh buruknya yang menulariku, gadis itu sering bicara sendiri, tidak, bukan bicara dia sering bersenandung, lagu-lagu lama.
          “Hey” sapa Pierre, dia bahkan tak menatapku. Terburu-buru menyambar dasi dan mengancingkan kemejanya. “Aku pergi.” dia teman sekamarku. Kuhampiri wastafel, mencuci muka, menggosok gigi dan kuhadapi realita, aku kembali ke sekolah, mencerdaskan otakku, untuk bekal mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang.  Kumpulkan uang sebanyak mungkin dan kau akan kaya! Sebuah nasehat dari seorang kapitalis, yeah ibuku. Uang? Sesuatu yang terdengar seperti lelucon, gadis itu malah menertawaiku dari dalam otakku, manusia tidak membutuhkan uang, manusia butuh bahagia. Bekerja karena kau mencintainya, dan kerjakan segala yang kau cinta. Sederhana. Hey gadis, kupikir kau harus enyah dari otakku sekarang juga! Tapi sebelum dia menghilang, sekilas aku menangkap senyum manisnya.

Cerpen: Temani Aku Menatap Matahari




Kadang sugesti kuperlukan untuk menipu diri
Bukan untuk lari, tapi hanya menenangkan hati
Bahwa aku takkan mati secepat ini
***
          Terlalu lama menipu diri, mungkin hari ini harus kuakui , aku akan mati, sama seperti yang lain. Mati lebih alamiah dibanding kehidupan, tidak semua bisa hidup, tapi semua yang hidup pasti berujung mati. Apa yang harus kutakutkan? Aku hanya perlu menghadapinya. Mati tak lebih sulit dari pengabaian ayahku selama ini, mati tak lebih menyakitkan dari ibu yang lari dengan pemuda gimbal tukang tattoo yang (dulunya) berkeliling menjual jasanya di pantai dekat Villa kami. Kini aku sendiri, menghadapi sel-sel kanker yang menggerogoti, dan mati.

Cerpen: Sepatu Kaca Berwarna Merah



Seperti dipaksa bangun oleh dering alarm di pagi hari, begitulah cara banyak orang memaksaku bangun dari dongeng ala sang Putri, tentang kehidupan dengan fantasi tinggi, aku tidak sedang bermimpi, aku hanya sedang memprediksikan bagaimana masa depanku nanti!
***
            Aku ingin melupakan bahwa hari ini adalah ulang tahun kedua puluh limaku, ya ampun angka itu sungguh mengejekku. Aku tak ingin ada acara makan malam keluarga seperti biasa, apalagi harus mengucapkan permohonan dalam hati saat aku memadamkan lilin yang mengintimidasiku itu, oh Tuhan, setiap permohonan yang kulakukan pasti akan berujung kekecewaan, aku tak lagi percaya dengan keajaiban, untuk kali ini aku ingin menyerah saja.
            Aku memilih menghabiskan senja hariku di taman sambil menikmati Ice Cream Vanilla dengan Chocochips, potongan Brownie juga cacahan kacang Mede. Di sini dulu, aku sering melewatkan banyak waktu bersama cinta pertamaku, Adera namanya, kami melakukan banyak hal di sini, katanya di sini dilarang bersedih, karena tempat ini  adalah tempat penuh tawa, tapi lima tahun lalu, aku mematahkan kata-katanya, aku menangis, saat dia mengucapkan selamat tinggal, dan kita berpisah, tak tau apakah mungkin lagi untuk berjumpa. Otakku mau tak mau mengenang kembali kejadian jauh sebelum kami berpisah, delapan tahun lalu, hari aneh di awal perjumpaan kami yang juga diwarnai oleh sedih dan tangis.

Cerpen: Loony Loopy Lottie



Sometime it is easier to smile even if you're hurting inside, than to explain to the whole world why you're sad
***
            Senin selalu jadi hari paling membosankan. Dengan berat hati aku harus mengucapkan“ I Love Monday” hanya untuk menyemangati diri, dalam hati aku justru merasa bahwa saat lidahku mengucapkan kalimat ajaib itu, tahukah kau seperti apa rasanya? Seperti mengatakan bahwa “I Love You” pada mantan pacar brengsek yang mengkhianatiku! Mantan brengsek rasanya tak seberapa parah, hanya saja jika si jalang selingkuhannya itu bukanlah sahabatku.
          Syukurlah aku bisa melewati Senin ini dengan sukses walau melelahkan, pekerjaanku tidaklah begitu mudah juga tidak begitu menyenangkan hanya saja, karena aku tak bisa meninggalkannya, jadi aku harus mencintainya. Itulah yang membuatku bertahan, selain mengingat bahwa aku punya tagihan-tagihan setiap bulan, hey bukankah kita semua hidup di dunia yang matrealistis?