Sepanjang
Januari, saya seharusnya sibuk luar biasa. Akan tetapi mengingat bahwa membaca
adalah kebutuhan dan seperti mereka yang menghadapi stress cenderung makan banyak, mungkin itulah yang saya alami.
Stress
kerja membuat saya menjadikan buku sebagai pelarian. Saya membaca lebih banyak
dari yang seharusnya. Padahal itu justru menjadikan saya kehilangan banyak
waktu sebelum tenggat tugas yang makin hari makin beranak pinak (Kelas XII
jelang UNAS, tim debat mulai latihan, tim LCC juga, proyek PTK belum kelas
tambahan harus memasukkan usulan DUPAK. Saya harus mengingatkan diri sendiri;
SAYA TERLALU TANGGUH UNTUK MENGELUH) Tapi, sudahlah, yang penting saya tak lagi
tertekan. Padahal sebenarnya tertekan etapi dengan mengalihkan pikiran pada apa
yang buku-buku kisahkan, setidaknya menjadikan segalanya terasa lebih baik.
Lihat sisi terangnya aja.
Hampir di ujung Januari. Boleh setor daftar bacaan yang terpaksa
dirapel ya teman-teman, gegara jarang main FB :D Padahal sengaja postingnya
ditunda-tunda mulu gegara sok sibuk membaca, eh :P
Saya skip dulu ya kategori A book based on a fairy tale dan A
National Book Award winner.
Baiklah, inilah daftar buku yang mengisi hidup saya sepanjang
Januari ini:
1. A Book Set in Europe:
Pulang-Leila S. Chudori
Paris, Mei 1968.
Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap di sana.
Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap di sana.
Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.