Setelah
hujan, pasti ada pelangi. Tapi, kini tak lagi. Di dalam cinta dan mimpi segala
sesuatu pasti bisa terjadi. Sayangnya tak seperti yang kuinginkan. Ananta pergi
dan tak kembali. Sedih, tapi lelah untuk terus menangisi. Perih sampai tak
yakin apa masih bisa terobati. Kata mereka ada pedih yang harus kita alami,
tapi jika aku boleh meminta, jangan berikan aku kehilangan sedalam ini.
Aku
menunggunya, selalu. Walau dia tak pernah memintaku. Di saat terakhir yang
kuingat dia hanya menatapku dengan tatapannya yang sendu. Dan dia pergi, tanpa
mengucapkan selamat tinggal, karena
mungkin dalam hatinya tahu, ucapan itu hanya akan terasa menyakitkan karena
mematikan harapan untuk bisa berjumpa lagi. Tap, dia juga tak mengatakan sampai jumpa lagi, mungkin
dia hanya tak ingin membuatku tersakiti apabila seandainya kita tak bisa
benar-benar berjumpa lagi. Tapi dalam hati, aku yakin dia pasti kembali, pasti,
yah suatu hari nanti.
Hingga
semalam di dalam mimpi dia berkata sesuatu yang nyaris tak bisa kupercaya...
dia berjanji untuk pulang, di saat langit berwarna kelabu. Dia memang pulang,
kembali padaku tapi bukan seperti dia yang dulu, dia kembali menjadi debu. Oh
Tuhan aku masih ingat hari itu.
“Mama mau kamu menyimpan sedikit diri
Ananta.”
Guci
itu diletakkan di tanganku. Awalnya nampak ragu ketika guci itu berpindah
tangan. Bagiku, itu tak ada pengaruhnya. Aku tetap merasakan kesakitan ketika
menerimanya. Sakit itu di sini, di dalam hatiku. Ketika yang berdiri di depanku
- alih-alih Ananta- adalah Ananda, saudara kembarnya.
“Ananta, seharusnya pulang awal Desember ini.
Tapi, maaf dalam keadaan seperti ini.”
Ananda menghela nafas, agak panjang dari
biasanya.
“Maaf, aku baru bisa mengatakannya padamu."
Suaranya terdengar serak. "Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa
Ananta."
Akhirnya
dia berkata sesuatu tentang Ananta. Aku
memandang Ananta seperti dalam adegan lambat film hitam putih. Ananda merogoh
sakunya. “Harusnya Ananta memberikkanmu
ini.” Kotak mungil beludru merah berisi cincin berlian.
Saat
itu aku seperti melihat diriku tersenyum dalam tangisku, di dalam hatipun aku
merasakan. Setidaknya dia pulang, setidaknya di sana dia tak pernah berhenti
mencintaiku, tapi ternyata waktu berlalu dan aku tak lagi bisa menerimanya
dengan semudah itu.