Kamulah gadis itu, yang gampang bahagia tapi juga mudah gelisah. Bahagia, karena sekitarmu terdiri dari mereka yang bahagia―saudara-saudaramu, juga para sahabatmu. Mereka menularinya dan kamu hanya perlu merasakannya dengan instan dan tiba-tiba. Kamu bahkan tak perlu mengusahakannya.
Lalu gelisah. Jika gelisah adalah warna maka dia akan bernama Magenta, sewarna darah yang mengering di tanah; memualkan, menakutkan, menjijikan―membuat tertekan. Apa yang membuatmu gelisah? segalanya, lebih seringnya memang karena ketidakpastian. Kamu terlalu takut dikejutkan oleh keadaan.
Kamu bahagia, ketika alarm-mu berbunyi, nyaring sekali, memaksamu terbangun dari mimpi. Namun, bagaimana kamu bisa bermimpi? bukankah sepanjang malam kamu gelisah sekali? Kamu tidak bermimpi, hanya berhalusinasi. Alarm itu hanya pertanda bahwa masih ada kesempatan lagi pagi ini.
Kesempatan bertalian dengan harapan. Dan pagi berarti, kamu akan semakin dekat dengan apa yang begitu ingin kamu hadapi―apa yang sebenarnya, darinya kami ingin berlari.
Dari meja kamu meraih botol plastik berwarna biru muda, seingatmu volumenya 1 liter, kemana beratnya? kemana airnya? tumpah? Iya ke dalam tenggorokanmu yang kering dan dahaga. Kegelisahan membuat dalam tubuhmu terbakar, kamu meredamnya dengan menyiramkan air seteguk demi seteguk. Kamu tak kehausan, kamu hanya perlu ditenangkan. Air berguna, sayang melalui keringat dia menguap entah kemana. Seandainya saja dia membawa kecemasan serta.
Kamu tersentak ketika pintumu menjeblak terbuka. Kepala ibumu dan rambut singanya muncul di sana. Kamu gembira dan gelisah di saat yang sama.
"Sudah bangun rupanya." Katanya sambil lalu disaat kamu mengharapkan kata, "Selamat pagi, sayangku. Raihlah hari baru!" Tapi, ibumu tidak seperti itu.
Tak lama dari tempat ibumu berada, cinta telah menyebar ke seluruh rumah melalui wangi kopi untuk ayahmu, wangi susu cokelat untukmu, juga aroma roti-mentega dengan taburan gula. Cinta ibumu lebih praktis, dia bukan penggemar kata-kata manis.