Date a girl who reads

Date a girl who reads

Selasa, 29 Oktober 2013

Ketika Hidup Menjebakku




Gambar: di sini


Aku melihat mereka mati berkali-kali. Mati dijalan raya terlindas gengsi. Mati di kamar-kamar pengap terjebak asap. Mati frustasi gara-gara patah hati. Mati karena sesat dan kehilangan arah. Aku pernah menjadi bagian dari mereka semua. Nyaris mati, namun hidup menyelamatkanku.
***
                “Apa itu masa depan?” Tanyaku pada remaja tanggung kerempeng dengan muka penuh bopeng. Masa puber membuat jerawat beranak pinak dan wajahnya rusak. Dia menatapku muak.
                “Cuma waktu yang masih sangat lama.” Dia memandang ke luar jendela.
                “Tidakkah kamu memikirkannya?” Aku ingin dia memikirkannya.
                “Kadang-kadang jika aku sempat!” jawabnya tanpa berpikir.
                “Apa cita-citamu?” Kenapa aku begitu ingin tahu?
                “Apa itu urusan anda?” dia balik bertanya.
                “Ya, karena aku yang akan membantumu untuk meraihnya.”
                “Apa anda sudah meraih cita-cita anda?”
                Surat skors dan usai sudah.

***
                “Tugas anda berat ya?” tak terdengar seperti pertanyaan, itu adalah ejekan.
“Hanya melelahkan,” Sebenarnya aku tak ingin menjawabnya.
                “Yakin tidak ingin pindah? Saya mengenal orang yang bisa mengurus kepindahan anda lho, cuma tiga puluh lima juta, murah.”
                “Bukankah di kontrak tertera sepuluh tahun baru boleh mutasi?”
                “Itu kan di kontrak, atau anda menikah saja dengan PNS di kota anda, nanti bisa pindah dengan alasan ikut suami, mudah toh?”
                “Kenapa daerah harus buat peraturan kalau begitu?”
                “Daerah tidak punya SDM yang memadai, kalau bukan gara-gara kita yang kekurangan kesempatan di kota ini, siapa lagi? Tapi saya ketemu jodoh di sini, ya sudah menetap. Tidak perlu kembali.”
                “Saya tahu itu, tapi kenapa harus bikin kontrak kalau masih bisa dinegosiasi?”
                “Polos sekali.” ibu itu mendengus dan meninggalkan meja saya. Bergabung bersama ibu-ibu di meja sebelah sambil mencicipi rujak dan membolak balik katalog-katalog barang dapur sampai kosmetik yang boleh dikredit dan kalau cash bisa didiskon sepuluh persen.
***
                “Terus kita mesti bagaimana? Enam bulan sekali dan kita hanya bertemu beberapa hari.”
                “Mungkin putus adalah jawabannya.” Aku tak ingin berpikir lagi. Suara klik dan telepon terputus. Aku terbiasa dengan ini, laki-laki bisa datang dan pergi. Tapi, pada akhirnya nanti, pasti akan ada yang kembali.
                Aku tersenyum pada cermin yang menampilkan wajah muramku.
                “Apa yang kau cari, La?” tanyaku lirih.
                “Takdir dan pikiran dangkalku berkonspirasi, inilah yang kudapatkan,” jawab si gadis sinis di dalam cermin. Kutinggalkan bayanganku dan menghadapi layar netbook. Mengecek aktivitas maya teman-teman yang dengan begitu sombongnya dulu pernah kupandang sebelah mata. Apakah kehidupan mereka lebih baik dariku?
                Nimas yang ibu rumah tangga dengan bisnis kue keringnya,  cukup sukses tengah membangun rumah dan menanti kelahiran anak kedua. Farah, no wonder... tersenyum lebar dengan latar belakang sunset dengan pria tua asing barunya. Lian dan Akbar—mereka menikah dan akan terbang ke Aussie, beruntungnya Akbar dapat beasiswa lagi.
                Ingin tersenyum tapi tak bisa memungkiri hati sedikit iri.
***
                Pada awalnya aku tak menginginkannya. Selalu begitu. Apa yang kita terima kadang bukan yang kita harapkan. Tapi, kemudahan membuat kita menjadikannya sebuah pilihan yang diinginkan.
                “Kenapa bukan fakultas Hukum, seperti kita semua?” sepupu-sepupuku mencercaku.
                “PMJK dan ucapkan selamat! Aku mensyukurinya jadi aku tak perlu repot-repot ikut SNMPTN. Berapa banyak dari kita yang kuliah dan ujung-ujungnya.... bukankah kita hanya mencari gelar?”
                “S.Pd? Sarjana Pulang desa?” sebuah ejekan yang harus kubalas dengan senyuman.
                “Setidaknya, para guru didoakan setiap upacara senin pagi, katakan padaku, siapa yang mendoakan para notaris atau pengacara?”
                Mereka meninggalkanku dengan gerutuan, bola mata berputar juga gelengan kepala. Tak mengerti dengan jalan pikiranku.
                Akupun tak mengerti, aku sendiri memiliki cita-cita lainnya, yang jauh lebih hebat. Menjadi Sosiolog barangkali, mencicipi belajar ilmunya di Brown atau creative writing di Princeton. Bisa saja, dengan sedikit kerja keras beasiswa akan kudapatkan.Tapi menghabiskan waktu bersama teman-teman dan bersenang-senang membuat aku memilih berpikir dengan lebih sederhana.
                Aku hanya belajar di kampus beberapa saat  dan mendapat gelar, selebihnya bonus. Jadi kubunuh cita-cita besarku, mengambil formulir jalur khusus yang dengan mudah akan kudapatkan. Tak perlu jauh, hanya di Universitas kota seberang. Di sana aku hanya perlu bersenang-senang, tempatnya indah  salah satu pusat pariwisata favorite dunia. Tempat yang memiliki pantai eksotik, makanan yang sesuai lidahku yang penggila pedas, serta pesta-pesta semalam suntuk, tak perlu memikirkan materi kuliahku, salahku, aku menggampangkannya! Empat tahun hebat berlalu, lulus tepat waktu dan ta ra! setelah wisuda dengan predikat nyaris cum laude. Dan demi menunjukkan bahwa aku mampu. Aku lulus lho di tes PNS yang ‘bergengsi’ itu! Di sebuah Kabupaten baru yang berdiri karena kenekatan tanpa kesiapan.
                Gadis itu. Gadis yang pernah berpikir ‘dengan pengorbanan minimal mendapatkan hasil maksimal’. Yang semasa kuliah dengan ‘polos’ mendatangi rental komputer langganan si kutu buku kelas dan hanya tinggal mengedit tugas demi tugas dan selalu mendapat B+ dan beberapa A untuk tugas yang tak pernah dipikirkannya.  Yang selalu mengantuk dan bad mood di jam kuliah karena energinya telah dihabiskan untuk pesta sepanjang malam.Yang karena keberuntungan akhirnya dia mendapat tujuan-tujuan yang hanya dipikir dalam waktu singkat.
Sayang sekali gadis manis, kini pikiran-pikiran dangkal itu menjebakmu ke negeri antah berantah! Di mana musik-musik berdentum? Di mana gelak tawa kawan-kawanmu? Di mana lagi kau temukan tempat untuk menangis, ngambek, dan beberapa butir obat tidur bisa menenangkanmu? Kau hanya berada di dua tempat;  di kelas dengan pelajar yang jauh lebih dewasa darimu dan kamar pengap tempat kau menumpahkan kekesalan.
Hingga, saat kau memiliki kesempatan untuk pergi, kenapa kau masih bertahan di sini? Aku memang suka mengejek diriku sendiri.
***
Aku masih ingat tahun-tahun awal dan aku sempat  berpikir untuk menukar nasibku dalam beberapa kesempatan.
“Cowok pemberani nggak ngajak kawin lari!” aku menggelengkan kepala dan menolak tawaran Gusti. Kami berbeda kepercayaan dan Gusti  bukan orang yang dilahirkan dengan tanggung jawab. Kita bisa selalu bersama di saat bahagia, tapi saat menderita? Seandainya hanya ada hidup bahagia selama-lamanya, maka tawarannya  takkan kutolak.
“Cuma cowok sengak yang ngajak kawin kontrak!” Aku ingin memaki si jangkung pirang yang sebelumnya membuatku terharu, karena dia masih mengingatku setelah beberapa tahun tak bertemu. Menyebrangi separuh dunia untuk menemuiku, bersama menikmati akhir pekan romantis sebelum lamaran memuakan, menikah hingga kontrak kerjanya usai. Lalu setelahnya? Aku belum gila!
“Putuskanlah, sekarang atau tidak sama sekali?” Meninggalkan apa yang tengah kujalani ternyata aku tak cukup berani.
“Kamu mungkin akan mengatakan tak lagi mencintaiku, tapi pekerjaanku takkan pernah mengatakan itu.”
“Dan keputusanmu?”
“Kalau jodoh kita pasti bertemu di lain waktu.”
***
Dan aku bertahan, bukan karena tidak ada lagi kewarasan. Aku bertahan karena jika tanpa kepedulian maka akan ada banyak kesia-siaan yang takkan sampai di masa depan. Beberapa diantara mereka mungkin takkan menyelesaikan tahun ketiga karena ada yang masuk ke sawah, terpaksa menikah, menjadi penambang liar bahkan mengadu nasib ke luar negeri, menjadi pahlawan devisa yang tak dihargai.
Di sini, tempat yang pernah kubenci karena terpaksa untuk kutinggali. Aku pernah— tak hanya satu dua kali, ingin berlari pergi. Tapi di sini aku bertahan karena di sinilah aku menjadi diriku yang memiliki arti. Tak perlu menjadi hebat, tak perlu menjadi luar biasa, tak perlu berbahagia dengan iringan musik dan tawa.

Aku hanya perlu menghadapi hari ke hari dengan penuh rasa syukur; mendengarkan mereka, melihat kehidupan yang sebenarnya. Belajar menjadi diriku yang seharusnya. Belajar untuk memaknai bahwa hidup adalah guru terbaik. Suatu hari, aku akan pergi tapi episode ketika aku hidup di sini adalah salah satu episode yang paling berarti.

8 komentar:

  1. ehem, kok... sepertinya kali ini berat ya...???

    BalasHapus
    Balasan
    1. biasanya nulis yang silly hehehe sesekali pengen yang kayak gini hehehe, pengen keluar dari zona nyaman mbak :)

      Hapus
  2. Rada sulit dimengerti, :(
    Lebih suka gaya bahasa mbak yang manis :)
    tp keren kok, pingin bisa nulis yg bagus kyk mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. tetap suka nulis kisah-kisah manis, tapi kadang nulis yang kayak gini kurasa perlu, yuk sama-sama menulis, semangat Retno :)

      Hapus
  3. kunjung ke blog aku juga dong mba. lagi coba-coba baru untuk nulis cerpen. kumpulansegalacerpendisini.blogspot.com

    BalasHapus
  4. ceritanya sangat bagus. buka blog saya juga dong mba. lagi mencoba menulis cerpen. kumpulansegalacerpendisini.blogspot.com . terimakasih

    BalasHapus