Saya
sengaja tidak ingin berbicara dengannya malam ini..
Saya ragu dengan perasaannya padaku.
Saya ragu dengan perasaannya padaku.
Saya
sengaja tidak ingin berbicara dengannya malam ini..
Saya ragu dengan perasaannya padaku.
Saya ragu dengan perasaannya padaku.
Apa yang membawa saya ke negeri timur jauh ini hanya sebuah
naluri, naluri untuk memahami ketidakselarasan yang tidak bisa aku pelajari di
negeriku, negeri cinta dengan eiffel yang menjulang serupa tangga bulan. dan
bila dalam perjalanan ini saya bertemu dengannya, itu merupakan ketidak
sengajaan yang indah. melebihi indahnya langit malam Mumbai atau senja di New
Delhi. Sekarang aku tidak ingin bercerita tentang Asia atau Eropa, tapi tentang
Dia, gadis dari negeri sembilan Matahri, dengan bulan biru bersinar di matanya.
Saya bertemu dengannya
ketika usia saya masih begitu muda, ketika di negeri sembilan matahari itu
cinta masih jadi sebuah mainan dan perkenalan dunia, tapi bagiku seperti apa
yang jadi budaya di negeriku, aku sudah begitu paham apa itu cinta. L.O.V.E is
passion, L.O.V.E is life dan L.O.V.E is ourself. Jadi detik itu juga ketika
bulan biru bersinar di retina matanya, aku bedoa pada Jesus : Jadikan dia
takdirku.
Aku tidak paham, apa
perasaannya sebesar perasaanku. Kenapa setiap apa yang dia lakukan selalu
membuatku semakin khawatir saja. dengan jarak ribuan kilometer yang kini
membentengi kami, aku semakin gila kalau harus mengingat dia bisa saja bertemu
dengan orang lain yang bisa menjaganya di dekatnya. Aku hanya bisa memberinya
kesungguhan, apa itu cukup? Setiap detik aku habiskan di sini, tapi hatiku
tidak pernah di sini, dia mengembara ke negeri sembilan matahari, menawarkan
kehangatan dan kenyamanan padamu. Sabarlah putri berdarah unguku, aku akan
datang secepatnya untuk menggandeng tanganmu menuju altar suci yang akan
mengabadikan kita dalam sebuah kereta yang sama.
Minggu, 11 Juli 2011
Aku meminum kaleng bir terakhirku, apa yang sering aku lihat di profile Social Networkingmu membuatku semakin “gila”, siapa dia? siapa mereka? kenapa aku tidak bisa seberuntung dia atau mereka, bisa menemanimu dengan jiwa dan raga. Apa kamu cukup hanya dengan “kata-kata”ku saja,, karena sekarang baru ini yang aku bisa. Nanti kalau aku sudah menyelesaikan semua di sini, aku kan membawamu ke negeri cinta, melewati transisi Spring, Summer, Autumn, dan Winter. Kita akan berjalan di sepanjang jalanan Paris, melihat keindahan Saint Etiene atau Marseille, atau mengunjungi kastil-kastil di Monaco.
Aku meminum kaleng bir terakhirku, apa yang sering aku lihat di profile Social Networkingmu membuatku semakin “gila”, siapa dia? siapa mereka? kenapa aku tidak bisa seberuntung dia atau mereka, bisa menemanimu dengan jiwa dan raga. Apa kamu cukup hanya dengan “kata-kata”ku saja,, karena sekarang baru ini yang aku bisa. Nanti kalau aku sudah menyelesaikan semua di sini, aku kan membawamu ke negeri cinta, melewati transisi Spring, Summer, Autumn, dan Winter. Kita akan berjalan di sepanjang jalanan Paris, melihat keindahan Saint Etiene atau Marseille, atau mengunjungi kastil-kastil di Monaco.
Setidaknya, jaga
separuh hatiku ini sampai aku datang, aku tidak mau kamu berbicara dengan orang
lain ketika aku sedang berbicara denganmu, aku tidak mau kamu sedikitpun
melihat laki-laki lain dengan perasaan simapati atau apapun, karena aku meminta
penyerahan hatimu sebesar aku menyerahkan hatiku untukmu. Aku melakukan ini untuk
memastikan tidak ada satu detikpun dalam hidupmu untuk pria lain selain aku,
karena aku sangat yakin : Kamu adalah Tulang Rusukku. Kamu paham bukan Putri,
aku tidak hanya mencintaimu, tetapi memujamu, dan aku pastikan bahwa tidak
seorangpun yang memiliki perasaan sebesar ini padamu selain aku, bahkan untuk
setengahnya.
Coffee shop ini
tinggal berisi beberapa orang saja, aku nyalakan laptopku. Aku ragu apa
harusnya aku menghubungimu, aku sendiri bimbang apa disana kamu menungguku.
Sebuah pesan singkat masuk ke E-Mailku, ternyata dari kamu, isinya membuatku
memutuskan untuk tidak tidur malam ini : Remon, Je t’aime.. .
Aku ragu, apa aku harus membalas pesanmu ini.. atau.. terbang ke negerimu dengan penerbangan pertama, dan menyelipkan cincin di jarimu sambil berkata, Rizha, Je t’aime..
Aku ragu, apa aku harus membalas pesanmu ini.. atau.. terbang ke negerimu dengan penerbangan pertama, dan menyelipkan cincin di jarimu sambil berkata, Rizha, Je t’aime..
New Delhi, 11 Juli
2011
*) Sedikitnya data
teknis membuat penulis mengeksplor isi hati tokoh utama untuk dijadikan fokus
cerita, cerita ini berdasarkan sebuah cerita nyata teman Kompasianer yang
sedang berhubungan dengan “Paris Boy”. Hope you’re lucky to be happy with him
:)
Tulisannya si Yudha Agustian partner in crime-ku yang akhirnya turut serta dalam membebaskanku dari si kompeni dalam kisah ini, hahaha,versi aslinya ada di sini http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/07/11/rizha-je-taime/
gile, jago banget tu yang nulis. bisa keren gitu hahaha,,,,
BalasHapusya nih jadi pengen kenal ma yang nulis, tapi ga pengen inget2 lagi ceritanya wkwkwkwkwkwk
BalasHapus