Lima Puluh Satu
(Zara)
Tidak
ada yang lebih menyedihkan selain menyaksikan tragedi yang sama terulang lagi,
tanpa bisa kau cegah kejadiannya.
***
Putriku menatap kosong, air matanya
mengalir dipipinya, ada ketakutan, ada kecemasan, ada keputusasaan, pemandangan
tidak menyenangkan yang cenderung menyiksa. Pipinya teraliri garis berwarna
hitam pucat, tak lagi hitam yang benar-benar hitam, karena riasan matanya
meleleh, wajahnya kusut, pucat pasi seolah kebahagiaan takkan pernah jadi
miliknya, tubuhnya gemetar hebat, dan rambutnya acak-acakkan, aku tak tega
melihatnya seperti bukan gadis cantik yang kusebut putriku.
Sisa pesta masih terasa di bawah sana,
tapi apa yang terjadi di atas sini, biarlah hanya menjadi rahasia. Kasus
pemerkosaan adalah aib besar bagi setiap korbannya.
Aku menatap hampa pada pemuda dengan
wajah tak sabaran dan frustasi, seharusnya ada kebencian juga ada kemarahan tapi
entah mengapa ada rasa kasihan yang tak dapat kujelaskan. Apa yang dia lakukan
terhadap gadis kecilku? Apakah dia tidak punya ibu? Apakah dia tidak punya
saudara perempuan? Hingga demikiannya tega melakukan perbuatan laknat seperti
ini.
***
“…bolehkah aku diberi kesempatan
bicara?” pemuda itu setengah berteriak “bisakah kalian tidak hanya memandang
dari sudut pandang gadis yang menganggap dirinya korban?” Pemuda itu terlihat
tampan, tapi sedikit berantakan, satu yang kuperhatikan, alih-alih menatap anak
gadisku, dia lebih berminat untuk terus menerus menatapku. Aku menyadari
matanya tak lepas dari diriku, membuatku kikuk, risih dan tentunya
bertanya-tanya.
Lagi-lagi sebuah pukulan telak
mendarat di wajah si pemuda, sekarang suamiku nyaris mematahkan tulang
hidungnya. Pemuda itu sedikit meringis tapi dia tetap tak menunjukkan
tanda-tanda penyesalan.
“Daniel, sepertinya masalah ini memang
harus di selesaikan oleh pihak yang berwajib” Damar, ayah dari Sheza yang harus
buru-buru tiba di rumahnya karena kasus ini, menyarankan hal yang terbaik menurut
pandangannya. Aku pernah berada di posisi ini dan ketika kamu menjadi korban
maka hanya ada satu hal yang kamu inginkan, melakukan penyangkalan, bahwa hal
ini tak terjadi, bahwa hal ini hanya mimpi.
“Aku ingin membunuh bedebah kecil ini”
Kegeraman suamiku telah diambang batas, dia meludah ketika memandang wajah si
pemuda. Ada rasa iba saat kulihat wajahnya tak berdaya, dan tanpa pembela. Apa yang
terjadi padaku? Putrikulah korbannya!
***
Di sofa, Aimee, didampingi dua
sahabatnya; Nikita dan Sheza terlihat seperti manekin dalam toko yang lama tak
dikunjungi pembeli, wajah mereka … tidak menunjukkan wajah sedih hanya tumpukan
kebosanan. Berkali-kali aku memilih untuk menatap lama pada wajah si pemuda,
yang bisa kubaca, pemuda itu terlihat seperti bangkai anjing yang dikerumuni
lalat, seluruh mata di ruangan ini memandangnya dengan jijik, menatapnya juga membuatku…mual…tapi juga…membuatku…ini
hanya perasanku saja yang sedang kebingungan, aku segera membuang pikiran yang
tak seharusnya menghampiri otakku yang sedang kacau seperti sekarang.
Tiba-tiba keheningan itupecah “Semuanya
terjadi begitu cepat” Sheza mengangkat bicara “semuanya gara-gara aku, tidak
ada pesta tidak ada pemerkosaan seandainya aku ..tidak begitu bodoh” dia
berbicara juga menangis.Semua mata yang ada dalam ruangan menuju pada tubuh
mungil yang gemetaran.
“Aku rasa apa yang kita saksikan tak
seperti yang terlihat” Sheza menangis, air matanya mulai menderas. “Bolehkah
kukatakan satu hal…okay aku lesbian! Dan apa yang kulakukan sekarang hanyalah
menuruti kemauan Aimee yang ….dia berdusta! Aku tau siapa dia, sebelumnya kita…percayalah
padaku segalanya tak seperti yang terlihat, Aimee mengancamku! Dan pesta ini
hanya untuk menyenangkan Aimee dia ingin agar…ini Cuma masalah sepele remaja,
aku hanya ingin mengatakan satu hal, aku benci dibawah tekananmu A!”
Aku tak mengerti dengan keadaan ini.
“Ini tak lebih dari skenario penuh
kebohongan! Bolehkah aku mengatakan yang sebenarnya sekarang?” Sheza setengah
berteriak.
“Shut
up, bitch!” Nikita tiba-tiba berteriak, ada apa dengan gadis-gadis ini.
Mereka kehilangan tata krama ataukah kami para orang tua yang tak pernah
mengajarinya?
“aku yakin tidak ada pemerkosaan,
tidak ada…dan Papa…aku seorang lesbian ini adalah sebuah pengakuan, karena aku
lelah dengan banyak ancaman dari mereka yang kusebut teman, jujur aku tak tahan”
Sheza bergetar, tubuh mungilnya terlihat rapuh, ayahnya yang seorang single
parent agak tak bisa dengan mudah memahami apa yang terjadi pada putrinya,
dimana garis merah dari masalah.
Semuanya serba membingungkan sekarang,
karena sekarang Aimee yang terlihat bagai mayat hidup mampu melakukan hal yang
di luar dugaanku. Dia berteriak!
“Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrgghhhhhhtttttt!!!!!!!”
“Berhentilah berdusta A!” Sheza
berteriak “Sudah saatnya elo bilang ke semua orang kalo … dengarkan aku” Sheza
menatapku, dan datang padaku menggenggam tanganku “Aimee perlu perawatan
kejiwaan” itu terdengar seperti pukulan yang menghantam
Aimee entah mengapa tertawa, aku tak
bisa memahami semuanya sekarang.
“Percaya padaku,sebelum terlambat!
Aimee punya masalah mental dan juga obat-obatan” hanya itu yang dikatakan oleh
Sheza sebelum dia meninggalkan ruangan yang sedari tadi terasa mencekam. Di
belakangnya ayahnya mengikutinya, juga saudara laki-lakinya.
Sebenarnya ada apa dengan semua ini? Apa
yang terjadi pada putri yang tak lagi kukenali.
Aku dan suamiku juga si pemuda dan
Nikita yang berada di sini, hanya terpaku, lidah kami terasa kelu, dan tubuh
kami seperti membatu.
“Jika kalian ingin percaya…aku tak
melakukan apa-apa” si pemuda yang sedari tadi ingin mendapatkan kesempatan
bicara akhirnya membuka kata “Nama saya Rakendra, senang berkenalan dengan
keluarga baru anda, ibu Zara” Kalimat itu sederhana, dan seharusnya mudah
dicerna, tapi aku terlalu lama mengolah kata perkata itu dalam otakku dan
setelah pemuda itu pergi, melangkah meninggalkan pintu, entah mengapa hatiku
mulai mengerti dan membaca apa yang terjadi, auranya mengingatkanku pada …
bukan siapa-siapa hanya diriku, tatapan mata itu tatapan mata yang sama yang
kumiliki dan juga putriku miliki…dan namanya adalah Rakendra, sebuah nama yang
sama yang pernah kusematkan pada anak laki-lakiku yang kubiarkan pergi dari
hidupku. Anak laki-laki yang hingga kini masih kucari. Setelah dia pergi, aku
tak tau harus bagaimana lagi segalanya terasa perih.
Seperti meteor yang menghantam bumi,
ledakan itu datang bertubi-tubi, membakar dan menghancurkan, meninggalkan
kepingan dan serpihan yang satu persatu harus kususun agar aku bisa mengerti
keadaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar