(Rakendra)
Penjaga,
pelindung, atau pendamping? Sesuatu yang layak disebutkan untuk apa yang
kulakukan saat ini?
Sekarang aku tau pekerjaan macam apa
yang sedang kujalani, menjadi ayah, sopir, asisten pribadi dan nanny, sungguh luar biasa melelahkan,
lumayan menguras emosi dan perasaan .
“Raken, boleh temenin belanja lagi nggak?”
dia menatapku seperti mata seekor anak anjing tak berdosa, bagaimana aku bisa
menolaknya?
Setelah sekian banyak hal yang
dibelinya, ternyata masih belum memenuhi daftar keinginannya. Untunglah dia
punya alat pembayaran.
“Kamu suka warna merah atau ungu?” dia
memperlihatkan aku dua pasang sesuatu yang kusebut sepatu yang sangat
mengerikan, heel-nya yang tajam dapat
digunakan untuk membunuh.
“Ungu” jawabku asal.
“Tapi yang merah cantik…” dia
menimbang.
“Kalo gitu yang merah” aku mengubah
jawabanku.
“Tapi yang ungu juga unik” sungguh tak
kumengerti
“Kalo begitu beli aja dua-duanya” Dia
menggigiti bibirnya, sambil berpikir.
“Ide yang bagus, Raken, makasiiiiii yak” dia
tersenyum ceria. Astaga ada apa dengan si Gadis, itu cuma sepatu!
Aku tak mengikutinya, kuputuskan untuk
duduk-duduk di kursi khusus untuk mencoba sepatu. Sengaja tak mengikutinya, aku
tak ingin dimintai pendapat lagi mengenai sepatu. Tapi entah kenapa, mataku tak
ingin lepas dari sosoknya yang terlihat manis dengan balutan sundress halter (Itu yang dikatakan
mbak-mbak di butik sebelumnya, saat Gadis memutuskan membeli baju itu, untuk
mengganti seragam) berwarna campuran orange
dan abu-abu, bermotif bunga-bunga trofis, rambut panjang indahnya di ikat ekor
kuda. Langkah-langkahnya lebih bersemangat, dia terlihat bebas dan bahagia, aku
suka bagaimana caranya berbicara dengan orang-orang yang disukainya; pelayan
butik, pelayan café , dan tukang parkir, dan aku tau kadang dia memandang
dengan tatapan menjengkelkan kepada orang-orang yang tak diinginkan hatinya;
kepala sekolah, guru, siswa-siswa di sekolah, mas-mas dari EO, tapi aku tak tau
bagaimana mendeskripsikan pandangan matanya saat menatapku. Kadang matanya
berbinar kadang ingin menangis, seolah berbahagia dengan kehidupan yang
diinginkannya tapi juga merindukan ayahnya. Ah maksudku bukan pandangan yang
seperti itu.
Tiba-tiba saja dia duduk di sampingku,
membawakan sepasang sepatu dalam kotak. Mengeluarkan sepatu dari kotaknya,
mencopot sepatu dari kakiku, dan memakainkan aku sepetu basket berwarna putih
dan orange itu.
“Kamu suka basket kan?” dia tersenyum
Aku tak menjawab tapi hanya mengangguk,
terlalu terkejut dengan segala yang baru saja terjadi.
“Hurray…sepatunya
juga pas” dia kegirangan. “Sepatu ini hadiah buat kamu karena udah mau temani
aku seharian” dia tersenyum dan duduk di sampingku. Begitu mudahnya dia bahagia
dengan hal-hal yang sederhana. Aku ingin sepertinya. Dia gadis yang istimewa.
“Aku lihat ada baju basket di tas kamu
pas kebuka tadi, maaf ya ngintip” Dia terlihat malu-malu. “Boleh nggak yak,
kapan-kapan aku temani kamu latihan basket?”
“Yupz” aku tak menyangka pertanyannya.
“Hehehehehehehhehe” dia tertawa kecil,
terdengar manja, ingin sekali kuusapkan kepalanya, merasakan halus rambutnya.
“Pulang yuk!” Pintanya. “Oh ya, kamu
harus temenin aku dinner di rumah,
masakan chef-ku luar biasa lezat “ Wow,
dan tak perlu begitu terkejut, yeah dia punya chef pribadi, dan itu wajar.
“Ok” aku mengangguk.
***
Aku menemaninya makan malam, dan
bertanya-tanya bagaimana bisa dia menikmati makanan dengan cara makan yang
begitu kaku, teratur, sopan dan …kenapa dia terlihat begitu cantik saat
menyendokkan kuah sup krim jamur ke dalam mulutnya?
“Kok nggak dimakan?” dia melihat ke
piringku, lalu ke wajahku.
“Iya makan kok…” dia bangkit dari
kursinya menghampiriku memasangkan serbet di bajuku. Aku merasa seperti balita,
ingin marah, tapi senyum manisnya menghentikanku. Sejujurnya, aku tak suka
makan-makanan seperti ini. Baiklah, aku memang cowok dengan selera kampungan yang
akan puas dengan ikan asin dan sambel terasi, serta kaki yang diangkat sebelah
saat menyuapkan makanan ke dalam mulutku. Tapi lupakanlah, aku harus terbiasa
dengan makanan-makanan orang kaya. Bukankah sekarang aku cowok kaya dengan
warisan berlimpah ruah. Kutiru gaya makan Gadis, dan yeah dia benar, chef-nya memang memiliki masakan yang
lezat. Untunglah, karena jika tidak aku khawatir ketika aku meminta di masakin
menu kampungan seperti yang kuinginkan, chef-nya yang digaji mahal itu, mungkin
akan berpikir aku tengah menghinanya.
***
Aku bersiap-siap pulang, dan Gadis
ditemani nanny-nya mengantarkanku
sampai mobil.
Aku tak terbiasa, dengan sikap manis
dan juga menyebalkan, yang kudapatkan dari seseorang yang belum sampai 48 jam
kukenal, tapi entah kenapa…rasanya ini adalah sebuah pengalaman hebat dalam
tidurku. Mungkin aku akan mengucapkan selamat malam atau sampai jumpa atau
entah apa, minimal menunjukkan sikap manis. Hey…hey …hey…sepertinya aku bukan
seperti Rakendra yang biasanya. Ingin kutampar diriku sendiri sekarang juga.
Tapi takut si Gadis terkejut dan menganggapku gila. Jadi kuurungkan niatku. Aku
hendak mengucapkan selamat malam… tapi entah kenapa tatapan mata Gadis berubah
melankolis.
“Raken…boleh nggak jangan pergi dulu…”
dia memohon.
“Jam kerjaku sampai jam berapa nona
muda?” aku menanyainya dengan nada kesal, seharusnya tak kulakukan, tapi keluar
begitu saja.
“Anggap saja, kalo ini bukan jam
kerja, anggap saja kalo ini….karena…temani aku sebagai seorang teman.” Ah pandangan
matanya membuatku tak sanggup untuk menolak, dan sekarang dia malah mengajakku
menuju balkon yang menyuguhkan pemandangan malam yang menakjubkan.
“Kamu tau…kalo bintang-bintang itu
adalah celah, sebuah lubang di surga, tempat orang-orang yang sudah meninggal
mengintip orang-orang yang mereka sayangi yang masih ada di bumi.” Dia berbicara
seakan itu hal yang benar dan masuk akal. Aku nyaris saja mempercayai khayalan
anehnya.
Aku mengangguk, dan tersenyum
“Mamaku di sana…” katanya lagi lalu
menghela nafas.
“Kadang aku duduk di sini semalam dan
berbicara padanya, menceritakan apa saja, seolah-olah dia bisa mendengarku. “
air matanya menetes, dia tertawa kecil dan
mencoba menahan agar tangisannya tak pecah, aku tau itu benar-benar
menyiksa.
“Pernahkah kamu merindukan seseorang
yang tak pernah kamu miliki?” dia bertanya.
“Entahlah” aku mengangkat bahuku. Bukan
jawaban yang tepat.
“Aku selalu merindukan mamaku, walau
aku bahkan tak pernah tau bagaimana dia. Mama meninggal saat melahirkanku” Air
matanya tumpah lagi, kali ini dia membiarkannya. ”Maaf” dia mengusap air
matanya “tapi kadang memang setiap malam aku selalu berharap dia juga
mencintaiku.”
Aku tak bicara, walaupun aku sungguh
ingin mengatakan bahwa nasib kita nyaris sama, bedanya mamaku masih di dunia,
dan tak pantas dicinta.
“Heeheheheheheh” dia tertawa
malu-malu, sungguh tak bisa ditebak, dia menghapus air matanya lagi, dan mencoba tertawa.
“Maaf” ucapnya, walau tak ada yang
harusnya dimaafkan. Dia berlari menuju kamarnya, kupikir sudah saatnya aku
pergi. Tapi dia kembali, membawa sesuatu di tangannya. Sebuah boneka kayu
berbentuk prajurit dengan seragam merah dan topi biru tua.
“Ini boneka prajurit gagah berani
favoritku, Nutcracker….sekarang ini buat kamu…terima kasih karena telah menjadi
Nutcracker-ku” Dia berjinjit dan mencium pipiku. Selalu tak bisa ditebak sikap
Gadis satu ini. “Night Raken, sampai
ketemu besok” Diapun berlalu, meninggalkanku dengan penuh kebingungan serta rasa
hangat yang menyenangkan di pipiku, juga hatiku.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar