Date a girl who reads

Date a girl who reads

Senin, 13 Februari 2012

[KCV] Di Pasar itu, Sepuluh Tahun Lalu…


Oleh : Langit + Citra

          Dari balik kaca mobil, gadis itu menatap lurus ke depan. Tempat yang jauh dari kata indah, sebuah tempat kumuh dan kotor, bekas  bangunan pasar tradisional di sebuah kota kecil yang terbakar, yang kini terdapat plank bertuliskan; di tempat ini akan dibangun gedung serba guna, pasar penggantinya berada kurang lebih dua ratus meter dari sini. Tak ada yang istimewa dari tempat ini, kecuali sebuah kenangan yang hanya di mengerti oleh dirinya.

Namanya Dilla, wanita 28 tahunan yang baru saja tiba dari Jakarta. Di sebelahnya Adrian, kekasih hatinya.
Otak gadis itu kembali memutar sebuah memory lampau, seolah tempat kumuh di depannya terbangun kembali bersama tayangan yang lekat dalam ingatanya. Aroma khasnya; bau pagi yang sama sekali jauh dari kesan segar, seperti campuran bau tanah karena hujan yang bercampur dengan aroma ikan dan keringat, bau harapan dan kerja keras untuk menyemangati kaum kecil, seperti dirinya dulu.
Pemilik tangan hangat yang kini menghangatkan telapak tangannya, sekarang memberikan seulas senyum manisnya, dan senyum itu kini menghangatkan hatinya..
“Kita akan melanjutkan perjalanan, atau???” Sebuah tanya meluncur dari bibir sang pria.
“Wait..” Dilla menjawab singkat. Matanya masih nanar menatap ke depan. Berharap mendapatkan sebuah jawaban.
Sudah hampir satu jam keduanya terdiam di dalam mobil….
Ia baru menginjakan kaki kembali di sini setelah 10 tahun lamanya. Kerap kali kedua orang tuanya menyuruhnya kembali, namun Dilla hanya mau kembali setelah ia bisa mencati uang. Hanya dengan surat ia berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, hingga musibah kebakaran itu terjadi di pasar ini beberapa waktu lalu. Tak ada lagi kabar yang ia terima, bahkan ia telah bertanya ke sana kemari untuk mencari di mana ibu dan ayahnya berada, sayangnya tak ada satu orangpun yang tau. Dulu ayah dan ibunya tinggal di ruang sempit pinggir pasar, yang sekarang juga telah rata dengan tanah.

Seseorang yang ia temui tadi sempat mengatakan, 8 orang tewas dalam musibah kebakaran tersebut, namun tak di ketahui siapa saja yang meninggal.
Air mata Dilla perlahan menetes. Tak ada lagi ia bisa menemukan jejak ayah dan ibunya. Tak tau lagi ia harus mencari ke mana.
**
Sepuluh tahun lalu. Dalam seragam sekolah putuh abu-abu. Dengan coretan warna tinta merah dan biru. Seorang gadis tujuh belas tahunan berlari-lari kecil menelusuri lorong pasar. Bau keringat bercampur dengan bau amis ikan yang di jual tak jua menyurutkan langkah-langkah kakinya. Hari itu ia baru saja mendapatkan surat pemberitahuan akan kelulusan dirinya sekaligus ia menjadi seorang lulusan terbaik disekolahnya.
Ia mendatangi Ayah dan Ibunya yang mencari sesuap nasi di sana demi memberitahukan kabar gembira akan kelulusanya. Ayahnya hanyalah seorang tukang cukur yang mangkal di pasar, modalnya hanya gunting cukur, sisir, cermin, dan sikat kecil. Sementara sang Ibu adalah tukang jahit, bukan tukang jahit yang menjahitkan baju, tapi hanya tukang jahit yang akan menambal, mengganti risleting atau yang akan memasangkan kancing.  Bersama mesin jahit tuanya, sang Ibu berada tak jauh dari pedagang pakaian bekas.
Rasa bangga terpancar jelas diraut wajahnya.
          “Ibu, saya lulus
Hanya kata itu yang sanggup ia ucapkan. Sementara sang ibu hanya bisa memeluk haru. Banyak kata yang ingin ia ungkapkan, namun tenggorokanya serasa tercekat. Pun demikian dengan sang ayah yang berada tak jauh dari tempat ibunya. Kini menghampirinya dan memeluknya.
“Kami bangga nak”
Suara sang Ayah seolah mewakili kata yang juga ingin diucapkan sang ibu. Air mata meleleh di pipi tua sang ibu. Ada harap yang tersirat dari kedua pasang mata orang tuanya. Ia berharap sang anak bisa menuntut ilmu setinggi langit, memiliki nasib yang jauh lebih baik juga harapan dan masa depan yang lebih cerah. Sayangnya keuangan memang menjadi kendala….
Hanya sepasang cincin kawin, itulah harta satu-satunya yang berharga. Yang kemudian dijual demi bekal sang anak 10 tahun lalu.
***

Terik sang mentari siang ini membuat kebanyakan orang lebih memilih berteduh di dalam rumah atau warung-warung makan. Debu jalanan berterbangan di hempas angin. Dilla masih saja terpaku di dalam mobil. Kacamata hitamnya ia kenakan demi melindungi matanya dari silaunya panas di siang yang terik.
Perlahan ia menengok ke samping kanannya.
“Kita jalan sekarang”
Lelaki di sampingnya menjalankan mobil perlahan. Debu-debu jalanan berterbangan terhempas ke udara. Mobil melaju lebih cepat, hingga menghilang di tikungan.

**
Mobil itu terus melaju menyeruak jalanan aspal yang berkelok. Hari ini tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan tanggal ini sebagai hari Valentine. Saling berbagi kasih sayang dalam bentuk yang bemacam-macam. Berpasang insan turut merayakan dengan kegembriaan, sayangnya tak demikian dengan Dilla.
Pencarian akan kedua orang tuanya tak ia temukan.
Rencananya sang kekasih akan melamarnya hari ini, di hadapan kedua orang tuanya, namun perjalanan jauh dari Jakarta tak membuahkan hasil seperti harapannya. Kedua orang tuanya tak tau di mana rimbanya.
Adrian menghentikan mobil di sebuah rumah makan di sebuah kota kecil. Lapar menyergap perut keduanya setelah seharian berputar – putar demi sebuah pencarian.
“Selamat datang. Mau pesan apa? Di sini makanan favoritnya nasi gudeg. Ingin mencoba??”
Suara seorang perempuan yang membuat Dilla terhenyak. Ia yang sedang menunduk sontak menengadahkan wajahnya. Saat menyadari siapa yang ada di depannya ia langsung berdiri.
“Ibu!!!”
Ia spontan menghambur ke dalam pelukan wanita itu. Di susul seorang laki-laki tua yang berlari tergopoh dari dapur.
**
Sebuah acara pertunangan sederhana tengah berlangsung disebuah meja warung kecil itu. Dua cincin yang baru saja tersemat di masing-masing jari manis Adrian dan Dilla mereka lepas. Kemudian di berikan kepada kedua orang tua Dilla.

“Ibu dan ayah saja yang pakai. Untuk menggantikan sepasang cincin kawin yang dulu dijual untuk bekal aku menuntut ilmu”
Valentine kali ini serasa sempurna. Untuk Dilla, Adrian, dan kedua orangtuanya. Warung kecil ini dirintis dari uang yang setiap kali dikirimkan oleh Dilla. Perlahan namun pasti, kehidupan terus berubah.


Gambar : Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar