Date a girl who reads

Date a girl who reads

Sabtu, 25 Februari 2012

Ketika Papa di Balik Penjara


Aku menangis, ketika roda itu melindas, remuk hingga tak terbentuk. Yang terasa, sakit tak terkira, yang hilang, rasa percayaku padanya, seseorang yang mengajarkanku bahwa hidup tersusun atas cinta dan kebaikan, tapi ketika berita itu datang, yang kumengerti hanya satu hal, bagaimana bisa aku mempercayai seseorang yang membangun hidupnya selama ini, hanya dengan satu hal; kebohongan.

***
             Sebelumnya hidupku sempurna, segala kebahagiaan seakan tergenggam di tangan, tapi tak lagi saat tuduhan itu datang, dan Papaku ditahan, karena perbuatan kotornya, aku tak lagi bisa mempercayainya, takkan pernah. Papaku sang koruptor, seandainya bisa dia mendapat kecupan dari Dementor…
             “Mols…” Itu suara Mama, membujukku lagi dan lagi seakan tak menyerah, tapi seperti yang sudah-sudah seharusnya Mama menyerah, Mama tau aku membenci segala macam kecurangan dan kebohongan, apalagi, bila sang pembohongnya adalah orang yang kucinta, Papa.
             “Molly… honey?”
             “Papa, membutuhkanmu,dukunganmu, sayang…”
             “Aku tak membutuhkan seorang pembohong dalam hidupku” dan aku meninggalkan mamaku yang bermuka pucat, karena lelah dan segala perbuatan tercela Papa.

***
          Sebelum tidur, bahkan di kala usiaku tak lagi sebelia dulu, selelah apapun Papa sepulang kerja, aku tau dia akan memasuki kamarku, merapatkan selimutku, mengecup keningku, dan membisikkan kata, “Papa menyayangimu”Aku selalu pura-pura tertidur walau sebenarnya aku masih terjaga penuh.
          Aku merindukan Papaku, sekarang, di malam-malam insomniaku, karena marah, kecewa, dan benciku yang tak terkira, dan entah berapa lama aku harus terbiasa untuk melupakannya; rasa percaya yang ternoda seakan ingin memutuskan cinta karena ikatan darah.
          Ketika kamu dewasa dan mengerti benar-salah, itulah waktunya kamu mengetahui, bahwa hidup dimulai. Pesannya, dulu, bukankah seharusnya Papa tau, yang mana yang benar dan mana yang salah? Terlalu tua untuk keliru! Atau memang lebih mudah untuk pura-pura tak tau.
          Aku merindukan Papa, sebanyak aku membencinya, aku merindukan segala yang ada pada dirinya; tatapan teduhnya, peluk hangatnya, dan caranya mengungkap kata kala kita berdua berdiskusi bersama, tak pernah sekalipun dia memandangku sebagai gadis kecilnya ketika kita mulai membicarakan banyak hal penting yang terjadi di luar sana.
          Suatu saat kamu pasti akan merasakan perihnya luka, derita karena kecewa, perihnya air mata, tapi akan selalu ada yang menyembuhkannya, cinta dan rasa percaya.
          Aku menangis, ditengah kebingungan yang menyerang, tak tau apa yang harus kulakukan, percaya pada yang mana? Pemberitaan media ataukah Papa, yang jelas-jelas bersalah.
          Hanya satu tempatmu untuk bertanya dikala kamu kehilangan rasa percaya, hatimu, tempat segala fakta menunjukkan kebenarannya.
          Aku ragu, aku rindu, hatiku menyimpan rasa tak menentu, sudah terlalu lama untukku merasa terbelenggu.
***
                  Hari sudah senja, dan mama pulang dengan wajah lelahnya, tapi masih memberikannya senyuman manisnya padaku.
                  “Sampai kapan harus pura-pura tegar Ma?” ada apa denganku? Aku marah untuk hal yang menjadi masalahku.
                  “Masih marah pada Papa?” Mama menghela nafas, lalu duduk di sampingku, dan memelukku, pelukannya hangat, dan ada rasa menenangkan saat kulitnya menyentuh kulitku, dan aroma wanginya tercium di hidungku.
                  “Takkan pernah memaafkannya” aku ingin meneriakkan kata itu, tapi entah mengapa, air mataku mengalir begitu saja, tak tau mana yang benar dan mana yang nyata, karena selama ini, di saat otakku terlalu lelah untuk memikirkannya aku selalu melakukan penyangkalan-penyangkalan kekanak-kanakkan, ini semua hanyalah mimpi dan aku akan terbangun sebentar lagi.
                  “Ketika …banyak kata kejam keluar dari mulut mereka di luar sana, begitu banyak tuduhan, begitu banyak cacian dan makian, bisakah kamu membayangkan apa yang Papa rasakan?”
                  “Menyakitkan”
                  “Mama mengenal orang yang Mama cintai lebih baik daripada mereka, dan ketika lemparan kata-kata itu seolah menyudutkan Papa, Mama tau apa yang harusnya Mama lakukan untuk orang yang Mama sayangi, mendampinginya, karena…segala yang terjadi pasti ada alasannya, dan ketika hal tersebut menimpa Papa, akankah adil, bila Putri kecil yang sangat dicintainya, memvonisnya, bahkan sebelum Papa melakukan pembelaannya?” Ada getaran dan serak dalam suara Mama, aku tau Mama sebentar lagi akan menangis, tapi aku mengenal Mamaku dengan baik, alih-alih menangis, dia memilih tersenyum manis.
                  “Mols, ingat apa yang Papa lakukan ketika kamu terluka?” Mama memintaku mengingat hal yang ingin kulupakan, tapi aku tau tak mungkin terhapuskan, sadar aku takkan menjawabnya, Mama memilih menjawabnya sendiri “Papa akan mencium lukamu, mengajakmu bercanda agar rasa sakitmu teralihkan, mengubahnya menjadi tawa, tapi apa yang kamu lakukan pada saat Papa terluka?”
                  Tak bisa menjawabnya, hanya bisa melelehkan air mata, aku menyerah.
***

          Aku melihatnya di sana, berjalan diiringi seorang Polisi, Papaku masih sama, dengan wajah bijaknya, senyum manisnya, dan tatapan teduh matanya, dia tak terlihat menderita, hanya tersenyum bahagia.
          Ada ragu dan malu saat mendekatinya, tapi ketika dia memelukku dan mengucapkan “Terima kasih, karena telah mempercayai Papa, tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding tak bisa membuktikan kebenaran pada orang yang paling Papa sayang, terima kasih karena telah membuat Papa tak takut pada hukuman, karena ketakutan itu hanya milik mereka yang bersalah dan melanggar kejujuran.”
          Aku tak bisa berkata-kata hanya ingin merasakan pelukannya dalam penyesalan, aku hanya ingin minta dimaafkan karena ketidakpercayaanku pada orang yang tak pernah mengkhianatiku, juga mengkhianati mereka.

2 komentar:

  1. ini Fiktip atau nyata?? bagus ceritanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. fiktif dan jangan sampai jadi nyata, terima kasih udah membaca :D

      Hapus