Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 25 Mei 2012

Venus And Mars (6)


Terlalu banyak cahaya matahari yang tertangkap oleh mataku yang baru saja terjaga. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk beradaptasi, dan di depanku sosok Emile tersenyum padaku, dalam balutan jubah tidur sutera bertali longgar berwarna biru tua, sebagian dadanya tersingkap, tapi ketertarikan yang tengah dipamerkannya berasal dari senyum menggodanya.
Good morning, sleepy head” sapanya hangat, kedua tangannya memegang nampan. Breakfast in bed. Good Idea. Sexy. Tapi satu pertanyaanku? Apakah kejadian semalam hanya mimpi ataukah…?

“Benar-benar terjadi” tak kusangka Emile menjawab pertanyaan yang bahkan belum selesai kupikirkan. “Kupikir sang putri tidur hanya terbangun oleh sebuah ciuman.” Sialan! Aku salah! “Tapi sang putri bangun karena kelaparan, aroma French Toast yang membangunkanmu, alih-alih diriku.” Dia memasang wajah menyesal gagalnya, karena dia terlalu tampan untuk berekspresi setolol itu.
Aku mengabaikannya juga sarapannya untuk mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Selamat! Aku tidak di kamar tidurku! Dasar gadis liar, aku memaki dalam hati.
Emile meletakkan nampan sarapan di pangkuanku dan memberi kecupan kecil di pipi lalu duduk di sisiku. Aku tak tertarik untuk merespon ciumannya karena aku lebih tertarik untuk meraih gelas tinggi berisi fruit juice dan minum, lidahku menginformasikan bahwa cairan itu adalah campuran yogurt, pisang, blueberry, strawberry, dan beberapa rasa buah tropis yang tak kukenali.
“Tidur nyenyak?” Emile bertanya dekat dengan telingaku, aku merasakan hembusan nafasnya.
“Aku butuh sarapan” dan aku memfokuskan diri pada apa yang tersaji, bukan dia yang sedang mencoba membuatku tertarik dengan bertingkah seksi.
***
“Bisakah kau berhenti bertingkah bak patung lilin dan menghargai keberadaanku di sisimu?” Emile berbicara cepat dan tak sabaran, entah topik atau dasinya yang bandel yang membuatnya seperti itu, berkali-kali dia mencoba memasang dasinya dengan benar. Aku bisa saja bangkit dari kemalasanku di tempat tidur dan memperbaikinya, tapi aku memang lebih suka bertindak seperti yang dituduhkannya.
“Apa arti keberadaanku di sisimu?” itu yang bisa kukatakan atau lebih tepatnya kutanyakan.
“Violetta…dewasalah!” dia tampak frustasi.
“Terlalu muda untuk bersikap seperti yang kau mau” aku membantahnya, dia melempar pandangan tak suka, terlihat dari kertan diantara alisnya.
“Kita melewati banyak waktu bersama dan kuharap…”
“Tolong jelaskan apa yang terjadi semalam?” aku menuntut jawaban atas apa yang samar-samar ada dalam ingatanku.
“Kau meninggalkan pesta dan aku menemukanmu dengan para gelandangan jalanan, kau ingin berpesta? Kita bisa berangkat ke Ibiza sekarang juga atau ke Paris, di La Balajo. Kau suka salsa? Menarilah sampai gila di sana!” dia menarik dasinya lalu menghempaskannya ke lantai, wajahnya terlihat marah tapi ditahannya dengan susah payah, dia menggosok dagunya dengan gelisah. Mungkin itu cara untuknya menenangkan diri.
“Aku hanya ingin menenggelamkan jasadmu di lautan berwarna tosca di Barbados” aku memaki dalam hati.
Aku ingin bertanya, tapi lidahku kelu atau juga ingatanku yang memudar karena ada percaya dan tak percaya bahwa yang sebenarnya terjadi entah mimpi atau hal yang nyata.
“Kau mabuk, semalam” Emile bicara lebih pelan, lebih lembut dan berhati-hati. Dia duduk di sampingku. “Aku hanya tak ingin terlambat dan menyesali kalau-kalau kau berakhir jadi daging cincang di tempat sampah pada pagi hari. Jalanan kota New York tidak seaman kamar tidurmu.” Dia menggenggam tanganku dan aku membiarkannya, sekarang dia menatapku, menembus jauh ke dalam mataku. “Aku hanya mengkhawatirkanmu, maaf jika terlalu”
Tak tau harus mengucapkan terima kasih atau memberinya sebuah pelukan, aku malah diam hingga dia menyerah…
“Mudahkan aku untuk memahamimu” dan dia berlalu, aku memandang punggungnya menjauh tapi otakku melayang jauh pada hal abu-abu tentang malam itu. Hari ini aku harus mencari tau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar