Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 25 Mei 2012

Venus And Mars (9)



Kepalaku masih merasakan denyut kesakitan akibat hantaman benda perak yang dilemparkan oleh Gianna. Tapi sekarang semuanya seperti berubah begitu saja, dan sekarang aku berada di tengah keluarga Weingarden yang tengah menikmati kehangatan cinta keluarga dalam jamuan makan malam. Semuanya normal, dan segala yang terjadi hari ini lebih mirip mimpi.
“Kalian akan tinggal bersama?” tiba-tiba Marique melemparkan pertanyaan ke arahku, tak mempersiapkan diri, hanya ekspresi kosong yang bisa kuberikan. Emile menggenggam tanganku, lalu tersenyum pada semua orang.
“Segera setelah Violetta bersedia, kami melewatkan hampir banyak waktu bersama. Vi akan meninggalkan mansion-nya segera dan akan tinggal bersamaku, selanjutnya…”
“Maaf, tapi mungkin aku akan mempertimbangkan ide untuk tinggal di hotel, aku harus menjalankan tugasku” Aku ingin menunjukkan betapa antusiasnya aku pada semua orang di sini tentang masa depanku, bukan tentang drama percintaan yang aku sendiri tak mengerti. Emile dan aku? Aku bahkan belum sempat mengeja kata cinta dan tiba-tiba kusadari aku menghabiskan malam-malamku di tempat tidurnya.
“Yeah ide bagus” Theodore Weingarden, ayah Emile tersenyum padaku “kau mewarisi semangat kerja ayahmu, dear” katanya pelan sambil mengelap sudut bibirnya dengan serbet sebelum melanjutkan mengunyah lagi.
“Aku akan membantumu, baby” Emile tersenyum padaku. aku tak ingin Emile bersikap begitu baik dan memberikan senyum yang begitu menawan, aku tak ingin benar-benar jatuh cinta padanya.
“Aku tak sabar ingin segera menganggapmu saudara perempuan” kata-kata yang manis itu berasal dari bibir mungil Gianna, dia terlihat tak berbeda dari gadis-gadis seusianya sekarang. Tapi aku harus memecahkan segalanya, apa yang terjadi semuanya, Gianna harus memberitahukan padaku.
***
Segera setelah makan malam aku menyusul Gianna ke kamar tidurnya, dan akan mendesaknya untuk membicarakan segalanya. Yang kudapatkan di sana hanyalah Gianna yang sedang berbaring di tempat tidurnya sambil mewarnai buku My Wonderful World of Fashion-nya Nina Chakrabart, dia terlihat seperti gadis kecil yang sedang mewarnai buku mewarnai Disney, dia terlihat antusias dan…yeah terlalu normal, kupikir aku akan menemukannya tengah merapal mantra dari buku Wicca atau sedang menusukkan jarum pada boneka Voodoo.
 Dia menatapku yang seakan membeku di depan pintu, dia tersenyum malu-malu, bangkit dari tempat tidurnya, datang padaku, menggenggam kedua tanganku lalu menatap mataku.
“Aku tau kau akan menyusulku, aku melihatmu gelisah sepanjang makan malam, aku berterima kasih Vi” kebingungan terasa memelukku lagi.”Kau tau, sudah lama aku ingin terbebas dari entah anugerah atau bencana yang datang sebagai bakat padaku, mereka menyebutku indigo, tapi aku menyebutku sebagai si bodoh, dan sekarang, setelah trance mahadahsyat itu aku tak lagi melihat apapun, aku seolah  lupa pada semua yang pernah bisa kulihat atau bisa kuolah cepat dalam benak, sekarang menguap, dan walau payah, tapi aku suka menjadi normal.” Gianna mengecup pipiku cepat lalu berjalan menuju balkon sambil menyenandungkan sebuah lagu dalam nada gembira. Aku mengikuti langkahnya sambil berpikir.
Dan otakku memutar ulang rekaman percakapanku dengan Soraya “Aku adalah cenayang yang kini kehilangan kemampuan setelah melihatmu yang hidup di masa lalu” Aku sampai pada kesimpulan, misteri akan tetap sebuah misteri hingga aku yang akan membukanya dengan sebuah kunci, yaitu diriku sendiri.
“Vi, boleh minta satu hal darimu?”Gianna melemparkan pinta dan membuyarkan pikiranku.
“Yeah?” aku agak ragu
“Aku melihat, dari mata seorang adik perempuan, ada pria yang begitu mencintaimu. Aku melihat binar itu sejak pertama Emile menatapmu yang rapuh dan kebingungan saat pemakaman ayahmu, Emile seperti ingin selalu melindungimu, jangan hancurkan hati seseorang yang begitu menyayangimu .” Aku sungguh berharap tak mendengar permohonan seperti itu, tapi yang kulakukan hanyalah menatap mata identik Gianna dengan Emile, dan kurasakan bahwa ada hal yang tak bisa kutolak begitu saja di sana, namun separuh hatiku berkata, aku harus menyelesaikan kisah lainnya, kisah yang belum kutemukan jawabannya, entah bagaimana nantinya, kupikir memang ada hal yang harus lebih dulu kujalani, sesuatu yang pasti.

 bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar