Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 11 Mei 2012

My Prom “Dad”



Papa mungkin bisa mengobati lukamu, tapi tidak patah hatimu
***
          Pintu itu terbuka, tiba-tiba dan mengagetkanku. Kurang dari satu nano detik lagi saat bibir Arden mendarat sempurna di bibirku, ciuman pertamaku gagal total.
          “Athya masuk sudah larut” kata Papa dalam suara datar yang terdengar menyebalkan, setelah itu aku hanya bisa menghempaskan kaki ke lantai dengan keras, lalu membanting pintu, Papa masih di luar, entah apa yang dikatakannya pada Arden. Aku enggan memikirkannya, seandainya seorang pria berumur empat puluhan tahun tau apa yang diinginkan anak gadisnya…tidakkah dia mengerti bahwa ciuman pertama itu adalah hal penting bagiku? Aku nyaris tujuh belas tahun dan belum pernah merasakan ciuman!

***
          “I’m not your little girl anymore dad!” aku menangis saat mengatakannya, aku membenamkan diri pada bantal, yang kini basah karena air mata. Akibat ulah papa aku menerima pesan yang menyakitkan dari Arden.
Kita putus
Aku nggak bisa pacaran
Sama cewek yang punya papa kolot
          “Sampai kapanpun kamu tetap gadis kecil Papa” Suaranya terdengar lembut, tangannya membelai rambut panjangku.  “Semua orang boleh punya pacar, kenapa aku nggak?” protesku cepat
          Lama papa terdiam…lalu dia mulai membuka suara “Anggap saja belum waktunya”
          “Memangnya kapan waktu yang tepat itu? saat aku berumur lima puluh tahun?” kataku dalam nada keras, aku sungguh kesal.
          Papa tertawa, terpaksa, tangannya masih membelai lembut kepalaku. “Pemuda itu terlihat tak layak bersamamu, pria yang baik akan menjaga miliknya, menghargainya”. Setelah itu terasa sebuah kecupan di puncak kepalaku, Papa mematikan lampu dan kamarku menjadi gelap,  lalu langkah papa terdengar menjauh dan hingga menghilang di balik pintu.
***
          Aku mengabaikan kata-kata papa aku tak ingin putus begitu saja dari Arden, jadi aku mencarinya dan mendatanginya, memperbaiki untuk mempertahankan hubungan yang ada diantara kita “Aku mau melakukan apapun asalkan kita nggak putus” aku mengatakan hal itu di depan Arden dan teman-temannya yang sedang berada di ruang ganti, mereka baru saja memenangkan pertandingan basket antar sekolah.
          Arden diam dan mengabaikanku.
          “Arden please…” pintaku. “Aku nggak bisa hidup tanpa kamu” aku memohon.
          Arden menarik tanganku keluar ruangan, suara tawa dari teman-temannya terdengar di belakang kami.
          “Apa yang bisa kamu lakukan buatku?” Arden menantang
          “Apapun”
          “Fine…kamu yang meminta” mata tajamnya menatapku. Setiap kali mata itu memandangku, jantung berdetak lebih kencang, dan saat wajahnya mendekati wajahku, lalu bibirnya menyentuh bibirku, yang kutau bahwa inilah ciuman pertamaku. “Jam tujuh di rumahku, aku tunggu”
***
               “Arden aku nggak bisa?” tolakku halus
               “Kamu sayang kan sama aku?” tanya Arden
               “Tapi bukan begini”
               “Terus bagaimana lagi?”
               “Nanti…bukan sekarang saat kita sudah menikah”
               “Kembalilah ke jaman purba Athya” Arden melepas pelukannya dan menjauh, dia marah, dan aku menjadi merasa bersalah.
               “Aku sayang kamu Den” Aku berjalan ke arahnya dan memeluknya.
               “Tapi nggak sesayang itu” dia menolak untuk memandangku. “Kalau kamu masih ingin ke prom nite minggu depan sama aku, ikuti mauku atau tinggalkan aku.”
               Aku menyayangi Arden, dan tak mungkin bagiku untuk melepaskannya begitu saja, aku jatuh cinta padanya sejak kami duduk di kelas sepuluh, dulu aku hanya memandangnya dari jauh, kupikir aku seperti pungguk merindukan bulan tapi segalanya berubah sejak tiga bulan lalu saat Arden tiba-tiba menyatakan cintanya padaku, ini seperti impianku yang menjadi kenyataan. Harapanku selanjutnya sederhana saja, di malam prom nite nanti, Arden lah yang menjadi prom date-ku. Jadi tak ada pilihan lain buatku untuk  menyelamatkan popularitasku di akhir masa sekolah nanti, tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti apa yang diinginkannya. Jadi aku menyerah, dan aku menyerahkan segalanya pada Arden, ini memang salah, tapi pada saat itu otakku membenarkannya.
***
               “Hanya gara-gara kamu mencintai aku dan telah menyerahkan segalanya kepadaku itu berarti bahwa aku harus terus bersamamu?” Arden tak mau melihatku, dia asyik mendribble bola di lapangan. “Sorry, aku punya cewek lain sekarang, dan satu-satunya alasan aku macarin kamu adalah …yang pertama, kamu cewek paling pinter sesekolah, yang kedua, paket soal ujian kita sama, yang ketiga dari dulu kamu menyukaiku, hey…don’t be stupid, cowok kayak gue nggak bakalan mau macarin kutu buku tanpa alasan” setelah itu Arden meninggalkanku, dan ada gadis kelas satu anggota cheer leader yang baru menunggunya di tepi lapangan, lalu mereka menertawai kebodohanku.
***
               Aku menangis seharian, menyesali kebodohanku, menyesali cintaku yang tak lebih sebuah obsesi palsu. Mengapa begitu mudahnya bagiku terlena topeng tampan rupawan monster tak beradab seorang Arden? Ada rasa berdosa ada rasa bersalah yang kini terasa sia-sia. Hingga aku mengambil langkah tak bijaksana, melakukan percobaan untuk pergi dari dunia…darah telah mengalir dan berwarna sangat merah, mataku terasa terbakar oleh perihnya air mata, di saat kesadaranku mulai menghilang aku melihat sosoknya di sana…pria yang paling mencintaiku, pria yang tak pernah meninggalkanku.
***
Lukamu tak mengenai nadimu, untung papa tepat waktu dan lukamu tak seberapa dalam…”Papa sedang membalut tanganku yang terluka “ kamu selalu takut darah kenapa memilih cara yang salah, kalau niat bunuh diri kenapa nggak sekalian bunuh diri di rel kereta?” lalu papa tertawa, pura-pura bercanda..itu hanya untuk membuatku tertawa… tapi aku tak kuat untuk pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja....
“Mau memaafkanku?” aku bertanya, takut dan ragu.
Papa terdiam
“Kesalahanku tak termaafkan” bisikku pelan
Papa masih saja terdiam
“Aku … maaf… aku salah karena telah…melakukan apa yang tak seharusnya aku lakukan”
Papa tersentak kurasa dia memahami maksudku, dia berhenti untuk membalut lukaku lalu menatapku lama, beberapa kali dia menggeleng seakan tak percaya, aku menangis, begitu pula dengan mata lelah yang kini memandangku.
“Sudahlah” seakan bicara pada diri sendiri, dia lalu merengkuhku ke dalam pelukannya, beberapa saat setelah dirasanya cukup menenangkan, dia melepaskan pelukanku “Tak mungkin bisa mengubahnya, nyaris tak mungkin untuk mengembalikan kekeadaan semula, satu-satunya cara untuk memperbaiki adalah dengan tak menyesali dan bersedih.”
Papa melanjutkan membalut lukaku dan setelah lukaku terbalut sempurna, seperti pada saat kecil dulu papa menciumi bekas lukaku itu. Selalu seperti itu, ciumannya akan menyembuhkanku dan aku percaya. “Papa mungkin bisa mengobati lukamu, tapi tidak patah hatimu” Saat mengatakan hal itu air mataku kembali tertumpah. Namun dalam hati aku tau, seorang ayah mampu melakukan apapun, aku percaya, jadi aku mengatakannya.
“Jika tak bisa memperbaiki… maukah papa membantuku mengurangi rasa pedihnya?” aku meminta dalam tangisku.
“Apapun jika aku mampu” jawab papa dan dia memberiku senyum yang menenangkan.
Malam ini cukup sudah kesedihan yang layak untuk kurasa, tak ingin Arden berbahagia karena membuatku menderita, jadi kuputuskan untuk tetap berada di sana untuk berpesta…inilah impian terbesarku sepanjang masa SMA tak ingin menjadikannya sia-sia.
 “Please…jadilah Prom Date-ku, karena papa satu-satunya pria yang mencintaiku apa adanya, yang akan selalu melindungiku yang tau apa yang terbaik buatku, satu-satunya pria takkan mungkin mencampakkan aku” kataku cepat dan serak
Papa mengangguk dan seperti biasa papa selalu bisa mengubah air mataku menjadi senyuman.
              
               Gambar : ourdreamweddingdance.com

4 komentar:

  1. Keingetan Ayah :')
    Sukaaa banget sama ceritanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku juga suka Cippa, makasiii ya Cippa udah membaca ceritaku hehehe :)

      Hapus
  2. ceritanya bagus nih :)
    jadi terharu bacanya..hehe

    BalasHapus